Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi besar Nahdatul Ulama yang pada bulan November diadakan pada tanggal 23 sampai 25 November 2017 itu melahirkan banyak rekomendasi bagi pemerintah hari ini. Sebagai ormas yang mengusung kehidupan beragama dalam bingkai ke-Indonesiaan itu tidak saja mendiskusikan atau dalam bahasa santri dan ulama NU adalah Batshul Masail, akan tetapi juga turut membahas persoalan kebangsaan. Diantara pembahasan itu ada hal yang menarik untuk kita bicarakan yaitu persoalan ekonomi nasional.
Bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini menghadapi berbagai ujian seperti lunturnya jiwa nasionalisme, maraknya penggunakan sentiment SARA, korupsi yang merugikan keuangan Negara, terorisme yang akhir-akhir ini juga telah menghantui masyarakat Mesir, kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan ekonomi yang kian nyata terjadi.
Ancaman nyata ini dibahas di Munas-Konbes NU, menyoal ketimpangan ekonomi bisa kita lihat dari penguasaan kekayaan yang hanya berkutat dibeberapa orang saja dari total seluruh masyarakat Indonesia, monopoli penguasaan lahan, jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan dan obligasi pemerintah. Pada tahun 2015 saja dari data World Bank, Indonesia adalah Negara rangking ketiga ketimpangan ekonomi setelah Rusisa dan Thailand. Rasio mencapai 0,39 persen dan indeks penguasaan lahan tanah mencapai 0,64 persen, 1 Persen orang terkaya menguasai setidaknya 50,3 persen kekayaan nasional. Cukup jauh ketimpangan yang terjadi jika mengacu pada data diatas.
Selain itu, menyoal sekitar 16 juta hektar tanah dikuasai 2.178 perusahaan perkebunan, 5,1 juta hektar di antaranya dikuasai 25 perusahaan sawit . sehingga penguasaan lahan yang hanya dimiliki oleh perusahaan besar yang telah berdiri di Indonesia ini menyumbang turunnya jumlah petani dari 31 juta keluarga tani menjadi 26 juta, ini disebabkan atas penguasaan lahan atau perampasan lahan dibeberapa daerah yang ada di Indonesia sehingga lahan pertanian berkurang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik mencatat per Agustus 2017 jumlah petani berkurang sebanyak 2,95 juta orang dalam kurun waktu lima tahun terhitung dari tahun 2012 jumlah petani sebanyak 38,88 juta sedangkan di tahun 2017 menjadi 35,93 juta orang. Dari data ini jelas menjadi ancaman serius bagi Indonesia yang dikenal sebagai negara Agraria. Apapun tumbuh di Indonesia, tanah dengan kesuburan yang telah mendapat pengakuan dunia ini, mulai terancam dengan penyusutan petani di tahun 2017.
Agenda Pembaruan Agraria
Pemerintah dituntut untuk tidak saja berwacana dan tidak saja selesai ditataran program sertifikasi tanah saja, akan tetapi perlu redistribusi tanah untuk rakyat dan lahan untuk petani. Ini juga berkaitan dengan agenda pembangunan infrastuktur dan pembebasan lahan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihak swasta. Agenda pembebasan lahan menjadi masalah ketika agenda itu turut menyumbang penyusutan lahan pertanian. Jelas adanya ini mempengaruhi jumlah petani yang kian menyusut. Rasa-rasanya bangsa agraris dan maritim ini, mulai kehilangan karakternya. Sebagai salah satu Negara agraris dengan tingkat lahan pertanian yang subur yang kita miliki, kini mulai berkurang dengan berbagai agenda pembangunan infrastruktur.
Tanah menjadi penting sebab bagi umat Islam sendiri tanah adalah hal yang paling saktral bagi masyarakat Indonesia dengan berbagai suku yang ada. Tidak lain itu semua dalam doktrin Islam bahwa manusia dibuat dari tanah, maka kehilangan tanah seperti kehingan diri, kehilangan esensi manusia itu sendiri. Maka wajar jika persoalan tanah adalah hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup petani. KH. Hasyim Asy’ari pun sebagai pendiri ormas NU, selain beliau sebagai ulama, beliau juga berprofesi sebagai petani untuk menghidupi keluarga dan santri-santrinya. Sehingga mbah Hasyim sapaan akrabnya itu pernah berstatemen bahwa “Petani adalah penolong negeri“
Selain itu, petani menjadi profesi yang kian menyusut jika dibandingkan profesi lain. Anak-anak muda sekarang telah dihancurkan minatnya untuk bertani, menjadi petani. Sebab petani adalah profesi yang seakan-akan tidak memiliki masa depan yang jelas. Ini juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang mengesampingkan petani. Bagaimana bisa petani menjalani profesinya jika tidak memiliki tanah garapan, tentu ia tidak bisa menjadi petani jika lahannya tidak ada atau dirampas.
Melihat persoalan ini Nahdiyyin melalu Munas-Konbes mengusulkan bebarapa hal seperti perlu diterapkan aturan atau kebijakan tentang pembatasan pengasaan lahan atau tanah baik oleh pihak pemerintah sendiri maupun pihak swasta, pembatasan kepemilikan tanah atau lahan, pembatasan masa pengelolaan lahan atau tanah. Serta perlu redistribusi tanah atau lahan terlantar. Tanah terlantar perlu diserahkan kepada rakyat untuk dikelola.
Kebijakan pemerintah tentang tanah objek agraria yang minim peran serta partisipasi masyarakat sendiri, sehingga masyarakat tak berdaya atas kebijakan lahan, pemerintah perlu mengikutsertakan masyarakat dan tidak bersifat top-down.
Banyak hal yang diusulkan oleh ulama kepada pemerintah terkait menjawab beberapa persoalan ketimpangan ekonomi yang terjadi saat ini. Perhatian lebih bagi pembangunan pertanian adalah hal penting yang harus langkah-langkah seperti pembagian lahan pertanian dan pencetakan sawah baru, meningkatkan produktivitas lahan, perbaikan dan revitalisasi infrastruktur irigasi, proteksi harga pasca-panen. Pemerintah juga perlu membatasi impor pangan, teruntuk yang dihasilkan didalam negeri. Pemerintah harus benar-benar pro pada petani dengan meningkatkan taraf kehidupan petani dalam negeri.
Persoalan lain adalah liberalisasi perdagangan dengan mengendalikan perkembangan bisnis ditingkatan yang paling bawah seperti kecamatan dan desa sebab berpotensi besar merampas lahan ekonomi rakyat. Kebijakan penguatan dan perlindungan kegiatan perekonomian sektor informal agar tidak terjadi lagi penertiban, penggusuran terhadap lahan masyarakat kecil yang hidup dengan menggantungkan nasib pada sepetak tanah yang dimilikinya.
Penertiban serta penggusuran acap kali terjadi dan tidak terlalu manusiawi dalam eksekusi dilapangan. Rakyat kecil dihadapkan dengan petugas yang hanya juga melaksanakan perintah atas untuk menggusur lahan serta tempat kediaman masyarakat, sampai terjadi pembunuhan disebabkan oleh perebutan lahan yang sempat terjadi salah satu daerah di Jawa Timur. Kita memang menginginkan kemajuan bangsa tanpa harus menindas yang lain, tanpa harus pula mengorbankan rakyat kecil dinegeri ini. Sudah saatnya bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju serta berperadaban tinggi.
*Penulis Adalah Wakit Ketua Lakpesdam PCNU Kota Jogja.
Wakil Ketua Lakspesdam NU Kota Yogyakarta, Kader PMII Jogja
Menyukai ini:
Suka Memuat...