“A key characteristic of a democracy is the continued responsiveness of government to the preferences of its citizens”. (Robert Dahl).
Ungkapan diatas sejalan dengan niat baik pilkada serentak Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pilkada serentak dilakukan secara bertahap. Yakni tahap Pertama, pada 9 Desember 2015, Kedua, Februari 2017, Ketiga, pada Juni 2018, Keempat, tahun 2020, Kelima, tahun 2022, dan tahap Keenam, tahun 2023 di Indonesia. Ketika semua tahapan itu terlaksana tanpa ada hambatan, Pilkada serentak secara nasional baru bisa dilaksanakan pada tahun 2027.
Negara kita yang sudah menjatuhkan pilihan pada model demokrasi perwakilan (Representative Democracy) tidak bisa mengelak dari substansi sistem tersebut, yakni budaya partisipatoris. Celakanya, Republik ini masih mengalami masalah di sektor preferensi politik dan pemahaman masyarakat akan prosedur demokrasi, misal pemilihan umum. Bagaimanapun juga, demokrasi tidak bisa dilepaskan dengan pilkada ataupun pemilu, bahkan Joseph Schumpter, ilmuwan penganut demokrasi perwakilan, menegaskan bahwa peran dari politik warga negara ada pada pilkada serentak, walaupun Huntington menyatakan bahwa pemilu merupakan elemen terkecil dari demokrasi.
Pandangan yang mentok memaknai demokrasi hanya sebatas pemilihan mengakibatkan tidak adanya usaha untuk membumikan nilai demokrasi yang sebenarnya. Nilai demokrasi yang dimaksud disini adalah budaya politik di masyarakat harus benar-benar menuju kearah partisipatoris, tidak lagi parokial dan subjektif (Almond dan Verba; 1963). Tuntutan menuju budaya partisipan bertambah kuat ketika dibenturkan dengan realita demokrasi saat ini yang menghasilkan para wakil dengan tanpa menjalankan fungsi-fungsinya. Artinya, jika keterlibatan warga dikerdilkan hanya sebatas tahap pemilihan, tidak mencakup proses perumusan kebijakan, maka yang terjadi adalah anarki. Para pemimpin tidak lagi mempertimbangkan mekanisme public policy yang benar. Sebab tidak ada lagi yang mengontrol mereka. Alih-alih menyebut bahwa niat baik pilkada adalah untuk menghasilkan pemimpin berdasarkan keinginan rakyat. Sedangkan realita menunjukkan bahwa pilkada menghasilkan raja-raja tiran, khususnya di daerah-daerah. Dilain sisi, para pemilih juga sudah benar benar kehilangan kepercayaan (Disillusionment) terhadap tetek-mbengek pilkada, mulai dari kampanye, hasil pilkada, perjalanan roda pemerintahan, dan sebagainya.
Melihat kemelut pesta demokrasi yang semakin pelik, penting kiranya menata kembali unsur-unsur yang berkaitan erat dengan demokrasi yang berserak tak karuan lagi. Dalam masalah ini, Penulis melihat ada tiga bahasan penting yang bisa dijadikan rujukan bagi masyarakat umum, terlebih bertepatan dengan momentum Pilkada Serentak 2018 yang akan segera dijalankan, untuk membenahi sistem politik demokrasi di Republik ini. Pertama, Model Kampanye. Dalam urusan politik praksis, kampanye tidak bisa dilepaskan saat mendekati proses Pilkada serentak. Kampanye merupakan proses mengkomunikasikan dan mensosialisasikan visi dan misi berikut program-program seorang calon kepada khalayak umum. Disini mungkin tidak ada yang salah, namun ketika hal itu dibenturkan dengan pengalaman disconnect electoral oleh para pemimpin hasil pikada serentak, maka akan terlihat jelas dimana letak kesalahannya. Kampanye yang selama ini dijalankan membuka ruang kepada pihak berkepentingan untuk melontarkan segala hal yang dipikirkan, dengan konsekuensi kebanyakan mengesampingkan kepercayaan masyarakat. Bagaimana tidak, ketika para calon mulai menyebarkan pamflet, brosur, merchandise, bahkan membuat panggung untuk berorasi, maka disitulah ada logika hitung-hitungan untung-rugi dan feed back “timbal balik” yang harus didapatkan kemudian. Ketika ambisi mereka tak terkontrol dan tidak ada yang mengontrol, maka disitulah lahirnya kecurangan-kecurangan, misal money politics. Ketika masyarakat sudah sangat percaya kepada calon dan kemudian dikhianati, maka itulah awal kehancuran budaya aktif politik. Padahal yang menjadi syarat lancarnya sistem kenegaraan. Mekanisme kampanye seperti itu jelas tidak efektif dan efisien, terlebih berimplikasi kepada anggaran baik partai maupun negara. Oleh sebab itu, model kampanye, utamanya yang bersinggungan dengan bahan anggaran, harus benar-benar dikontrol oleh lembaga yang berwenang, dalam hal ini KPU serta badan yang terkait.
Kedua, Citra Pemimpin. Setiap pemimpin mempunyai cara sendiri untuk memperkenalkan dirinya kepada khalayak umum. Walaupun begitu, tidak serta merta masyarakat mudah tergiur oleh omongan dan janji-janji. Penulis yakin bahwa, hati nurani masyarakat pada dasarnya menginginkan pemimpin yang kafabilitas, akuntabilitas, dan integritasnya sudah teruji. Kalau toh ada masyarakat yang memilih calon tidak berdasar kepada integritas, maka cenderung ada permainan politik uang. Selama ini, calon cenderung memilih memanipulasi citranya diranah publik, daripada harus membenahi niat dan gerak sosialnya terlebih dahulu.Secara empirik, yang paling sering ditemui adalah calon yang mencitrakan dirinya dengan basis aliran keagamaan, walaupun dalam pilkada serentak pada 9 Desember 2015, dan Februari 2017 usaha pencitraan seperti itu tidaklah cukup berhasil. Pencitraan diri seorang calon tidak bisa dilepaskan dari unsur media dan budaya politik masyarakat. Jika media cerdas mengemas berita untuk mendukung atau menolak seorang calon, dan masyarakat belum memiliki kesadaran untuk berpartisipasi secara aktif baik lewat informasi atau lain sebagainya, maka disitulah awal lahirnya Ironi Demokrasi seperti yang disebut Giddens (2000). Memang sekilas hal tersebut terkesan lumrah, namun jika demokrasi dimaknai sebagai nilai luhur kedaulatan rakyat, maka calon yang memutarbalikkan dirinya secara tidak langsung sudah melakukan pembodohan publik. Usaha untuk meminimalisir manipulasi citra pemimpin dalam sistem elektoral seperti di Indonesia ini, sangatlah susah. Walaupun demikian, kita bisa mengantisipasi lahirnya pemimpin korup dengan cara mengajarkan kepada masyarakat yang berkaitan untuk membuat nota kesepakatan (MoU) dengan para calon apabila memenangi pilkada serentak.
Ketiga, Pemilih Pemula. Puncak dari kajian politik adalah marketing politik, memasarkan partai dan calon yang diusung kepada publik. Sedangkan esensi dari marketing politik adalah segmentasinya, yakni memilah dan memilih objek pemasaran politik. Disinilah peran pemilih pemula (Swing voters) sangat diperhitungkan. Sebab bagaimanapun juga, jumlah pemilih pemula, mereka yang berusia 17-20 tahun, dari pilkada ke pilkada sangat signifikan, terutama didorong oleh bonus demografi diberbagai daerah. Permasalahan yang sering kali muncul adalah kesadaran swing voters untuk turut serta terlibat dalam proses pilkada. Disinilah dorongan untuk menggalakkan pendidikan politik kepada pemilih pemula tidak bisa disepelekan. Sebab, meskipun pemilih pemula berdasar segmennya mempunyai jumlah paling besar. Namun tanpa partisipasi politik dibenaknya, mereka akan menjadi penyakit demokrasi. Sebagaimana yang dikhawatirkan oleh banyak ilmuwan politik bahwa mereka juga bisa menjatuhkan pilihannya kepada golput (Setiajud; 2011). Oleh karenanya, semua lembaga baik swasta maupun negeri harus ikut mengurus pendidikan politik untuk mengkomunikasikan pengetahuan politik, sikap politik, dan perilaku politik yang aktif-partisipatif kepada para pemilih pemula. Penulis berkeyakinan bahwa jikalau logika pendidikan politik sudah bisa dipahami dan dijalankan oleh semua elemen masyarakat yang berkaitan, maka ungkapan ironi demokrasi oleh Giddens tidak akan pernah terwujud d NKRI. Bahkan bukan tidak mungkin budaya politik partisipan akan lahir dan dipelopori oleh kaum muda Indonesia
*Penulis adalah Ketua IKPM (Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa) Jawabarat-Yogyakarta. Kuliah di Universitas Sunan Kalijaga.
Menyukai ini:
Suka Memuat...