Rocky Gerung pengajar filsafat Fakultas Ilmu Budaya memang cukup cerdik memainkan ide. Maklum, orang filsafat. Namun, ingat filsafat saja tidak cukup .
Perspektif ekonomi politik, analisis wacana, yang hari ini banyak dioperasionalkan oleh ilmu” sosial-politik (tentu dengan basis filsafat) harus dipakai. Kombinasi keduanya, bukan hanya filsafat.
Rocky memang berangkat dari arti literer, gramatikal suatu kata, Fiksi. Merupakan pembelaannya terhadap kelompok intoleransi dengan menjelaskan kata Fiksi dan Fiktif .
Menurut saya, seharusnya justru Prabowo yang harus bertanggung jawab karena dia telah terus-menerus secara tersirat mendorong kaum intoleransi melakukan aksi radikalis sehingga berdampak membelah hancurkan kesatuan negeri ini, semata dorongan berkuasa.
Seorang pemimpin yang benar, bukan orang yang menakut-nakuti rakyat dengan prediksi bubarnya negara dimasa mendatang tanpa ada kejelasan dan hanya berlandaskan fiksi novel Ghost Fleet.
Seorang pemimpin haruslah sebagaimana Jokowi katakan, yaitu membangun optimis dan menebarkan harapan serta keyakinan, bahwa bangsa kita bisa lebih baik dari sekarang tentu dengan kerja, kerja, kerja. Dimana untuk hidup, orang butuh semangat, diperlukan pikiran positif, serta kepercayaan diri.
Ibarat seorang anak. Dia tidak akan pernah bisa menjadi kuat, dewasa, berani ambil tantangan kalau dia setiap saat terus ditakut-takuti.
Tapi dia akan kuat kalau dia ditanamkan rasa percaya diriyang tinggi, optimis, pikiran positif, semangat, harapan, keyakinan, cinta dan iman. Seorang pemimpin mesti menunjukkan ini kepada rakyatnya. Tipikal Prabowo jelas bukan tipikal pemimpin yang baik.
Kembali kepada Rocky Gerung dengan gaya berfilsafat dalam menyingkapi persoalan politik kebangsaan, walau ide cemerlang melalui paradigma fiksi harus tetap memperhatikan dampak daripada letupan yang dipicunya.
Jangan sampai Rocky Gerung selaku cendikiawan “MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN” Secara keseluruhan materi yang paparkan, dia sedang tidak berfilsafat, melainkan sedang berpolitik dengan bola liar, entah apa juga sudah menghitung reaksi balik terhadap bangsa dan negara.
Cendikiawan itu harus netral
Memahami pemikiran Rocky Gerung selama ini, terlihat buat dirinya menjadi netral itu sama saja crypto-feudalism.
Rocky Gerung seperti sudah Tidak Perduli seberapa besar kerusakan yang akan terjadi jika dia terus menerus manuver melacurkan keilmuwanan dirinya.
Harus dipahami bahwa:
Filsafat tidak sama dengan Kitab suci. Filsafat hanya alat untuk memahami Kitab suci. Mengapa?
Karena Kitab Suci sebagai sumber ajaran Iman perlu dipahami secara rasional. Filosofia ancila Theologia (Filsafat adalah pelayan Teologi). Sebaliknya, iman (keutamaan teologi) mesti dijelaskan secara rasional (Fides quaerens intelectum).
Ada banyak pengetahuan. Ada pengetahuan yang bersifat Apriori (mendahului pengalaman). Dia lebih merupakan prinsip” rasio mendasar sebagai syarat mutlak untuk penarikan kesimpulan pengetahuan yang lain.
Ada pengetahuan aposteriori: melalui pengalaman. Ini biasa dalam ilmu pengetahuan dan sains. Ada pengetahuan yang bersifat intuisi. Ini dekat dengan Wahyu (penerangan ilahi). Semuanya terjadi melalui imajinasi. Imajinasi terjadi melalui pengalaman hidup seperti konteks sosio-kultural dan geografis. Tetapi juga ada yang melampaui semua itu. Itu yg terjadi dgn kitab” apokaliptik – eskatologis.
Semua itu merupakan ungkapan simbolis tentang realitas hidup. Kiranya realitas hidup dipahami tidak bersifat duniawi saja, tetapi sekaligus juga ilahi.
Tidak ada keterpisahan yang tegas antara dimensi imanen dan transendental kehidupan manusia.
Maka, Kitab Suci misalnya bukan hanya karya manusia (yang membudaya, mengambil setting sosio-kultural), tetapi juga karya Allah yg menciptakan dan menyelenggarakan kehidupan. Kitab Suci sungguh berpijak daripada realita yang terjadi bukan fiktif.
Disinilah tampak Rocky Gerung tidak paham keragaman teks-teks dalam kitab suci. Fiksi yang disodorkan Rocky Gerung bukan dusta atau omong kosong dari sebuah novel fiksi, sebab ada kebenaran intuisi dalam fiksi. Walau sekelas kisah karya Kho Ping Ho tetap fiksi walau seakan pernah terjadi di Tiongkok tetap kejadian fiktif, tentu tidak bisa menjadi atau disamakan sejajar dengan Kitab Suci. Hello
Dan saya tidak sependapat dengan pemikirannya RG
Sebagian isi kitab mungkin berkarakter fiksi, lalu menggebyah semua, berarti itu semata-mata khayalan (non-realita) manusia, tetapi dimana fiksi tersebut bekerja lebih merupakan bentuk dari cara mengungkapkan simbolis tentang kehidupan manusia.
Realitas hidup begitu kaya, bermakna dan dalam. Ungkapan-ungkapan simbolis bahasa berupaya agar kehidupan bisa bermakna, dihayati, dan tentu saja pemaknaan atasnya tidak akan pernah selesai.
Dunia kita penuh dgn bahasa simbolis, bisa berupa metafora/fiksi. Mengapa demikian, karena realitas itu terlalu kaya dan komplek.
Bahasa melalui metafora/fiksi memberinya wujud sehingga bisa dipahami. Akan tetapi, bahasa itu sendiri tidak selalu sempurna dalam mengungkapkan realitas.
Mengutip Derrida, bahasa hadir sebagai “jejak” dari realitas yang ada. Sifat bahasa yang seperti ini menjadikan bahasa sebagai ungkapan tentang sesuatu yang tidak akan pernah selesai atau dengan kata lain akan menuju pada tujuan tertentu (telos).
Hakikat bahasa yang seperti ini juga memungkinkan dinamisitas atau perkembangan bahasa.
Konsekuensinya, makna kata tidak bersifat tunggal atau fix. Konteks sosio kultural menentukan pemaknaannya. Akan tetapi, pemaknaan awali suatu kata juga tidak hilang.
Rocky Gerung telah menjadi bagian alat politik, dengan menyembunyikan kebenaran untuk menjelaskan kontroversi dalam mendukung penggunaan karya Novel Fiksi yang disebut oleh Prabowo dalam orasinya tahun 2030 Indonesia tidak ada lagi.
Dia membela Prabowo dalam konteks pidatonya itu. Dan Rocky Gerung sedang berpolitik, melakukan manuver dengan kebebasan seolah sedang berfilsafat melalui penjelasannya.
Dari sudut pandang ini saya berbeda dengan Rocky Gerung, karena terus melacurkan keilmuan dirinya lewat gaya pemikiran filsafat dengan menggunakan istilah sastra dalam membungkus manuver politiknya memihak kepada gerakan intoleransi.
Saya tidak mendukung intoleransi, seperti yang dilakukan oleh Rocky Gerung, dan saya juga tidak mendukung kedangkalan berpikir yang berbuah pada tindakan destruktif. Apalagi mendukung sebuah skenario crypto-feudalism, yang merupakan agenda tersembunyi dirinya.
Menyukai ini:
Suka Memuat...