Serikatnews.com-Membaca dinamika pergerakan dan perjuangan buruh saat ini sedikit mengalami pergeseran proyeksi dan oreintasi, seperti yang terlihat dalam segenap tuntutan-tuntutan buruh ketika dalam melakukan aksi perlawanan, baik melalui bentuk gerakan litigasi maupun non-litigasi. Tuntutan-tuntutan yang diperjuangkan oleh buruh, kini tidak hanya sekedar berkutat pada persoalaan tentang hak berorganisasi ataupun hak untuk menyatakan pendapat di muka umum, melainkan justru lebih progresif dalam mengambil sebuah isu sebagai narasi perjuangannya.
Posisi gerakan buruh juga lebih kuat, karena organisasi-organisasi buruh sudah
tumbuh dengan subur, bahkan hampir dipastikan organisasi buruh ada di berbagai daerah atau
kota di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Pada saat ini jumlah organisasi buruh ada 15
yang berbentuk konfederasi, sedangkan yang berbentuk federasi ada 112 yang tersebar di
Indonesia.
Dengan banyaknya organisasi buruh tersebut, tentu menjadi sebuah jaringan strategis bagi kaum buruh untuk membangun dan melebarkan sayap aliansinya, serta mempermudah dalam mengkonsolidasikan massa untuk memperkokoh narasi gerakan buruh demi menjalankan misi perjuangannya. Sebab, gerakan buruh merupakan salah satu elemen yang fundamental dalam lapisan civil society yang memiliki tujuan untuk menciptakan narasi
perubahan dan kemajuan sosial di republik ini.
Semenjak reformasi bergulir, oreintasi dan proyeksitas gerakan buruh dengan segenap tuntutan-tuntutan perjuangannya memiliki motif yang sangat beragam, mulai didasari oleh motif ekonomi, sosial hingga politik. Berbagai motif orientasi gerakan buruh tersebut
berjalan secara berkelindan serta tumpang-tindih sesuai dengan kebutuhan internal gerakan
buruh itu sendiri, karena setiap organisasi buruh memiliki karakteristik, prospek dan tujuan
yang berbeda-beda.
Pada saat ini misalnya, apa yang diperjuangkan oleh Alinasi buruh Yogyakarta (ABY) menunjukkan salah satu potret bahwa narasi gerakan buruh beroreintasi pada hak ekonomis. Tuntutan perjuangannya pun sangat jelas yaitu adanya upah layak di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Mengingat upah merupakan tulang punggung kesejahteraan bagi kehidupan buruh dan keluarganya, sebagaimana amanah yang termaktuf dalam Undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat 2, yang menjelaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian.
Oleh sebab itu, Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) dengan gigih dan konsisten memperjuangkan upah layak untuk semua lapisan buruh, baik melalui jalan non-litigasi (seperti demontrasi, unjuk rasa, mobilisasi massa) maupun dengan cara litigasi yaitu berjuang
menempuh jalur hukum (pengadilan) dalam menghadapi setumpuh kebijakan yang
menyesengsarakan hidup buruh yang telah dikeluarkan oleh penguasa (pemerintah pusat
/daerah) selaku pihak yang memiliki otoritas dalam menentukan dan menetapkan nominal upah minimum bagi kaum buruh.
Di samping itu, pada tahun 2010 juga seluruh lapisan gerakan buruh turun ke jalan untuk memperjuangkan hak sosialnya. Tuntutan perjuangannya adalah untuk mendapatkan sebuah jaminan dan perlindungan sosial atas keberadaannya. Untuk merealisasikan tuntutan
tersebut seluruh lapisan gerakan buruh membentuk sebuah aliansi gerakan yaitu Komite Aksi
Jaminan Sosial (KAJS), yang tugasnya untuk mengadvokasi dan mendesak pemerintah
supaya menerapkan amanah Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Tahun 2004
(UU SJSN) terhadap kaum buruh, serta memaksa pemerintah untuk Mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (RUU BPJS).
Sebab, jaminan dan
perlindungan sosial merupakan salah satu hak yang harus didapatkankan oleh kaum buruh,
termasuk Kesehatan Dan Keselamatan Kerjanya (K3).
Namun, pada saat ini, menurut penulis perjuangan gerakan buruh perlu memasuki arena baru; yaitu gelanggang politik praktis. Dalam artian bahwa gerakan buruh harus
menjelma menjadi sebuah kekuatan partai politik revolusioner serta meninggalkan pola gerakan klasik yang hanya berkutat pada arena ekonomi dan sosial yang seringkali tidak menghasilkan suatu perubahan yang signifikan terhadap nasib kaum buruh di Indonesia.
Oleh sebab itu, membentuk partai politik revolusioner bagi gerakan buruh adalah sebuah keharusan demi tercapainya kondisi kesejahteraan dan perubahan nasib kaum buruh yang lebih baik. Mengingat sistem ketenagakerjaan di Indonesia sudah tercengkram oleh gurita neo-liberalisme, yaitu terjadinya fleksibelitas pasar kerja yang memudahkan pihak pengusaha (pemilik modal) untuk melakukan pola pergantian rekrutmen pekerja (buruh) dengan sistem kontrak kerja jangka pendek dan outsourcing yang notebene menindas dan mengeksploitasi kaum buruh.
Ada beberapa argumentasi penulis mengenai pentingnya gerakan buruh untuk menjadi sebuah kekuatan partai politik revolusioner, di antaranya: Pertama, karena banyaknya jumlah organisasi-organisasi gerakan buruh yang ada di Indonesia. Sehingga, hal tersebut menjadi sebuah peluang yang cukup besar bagi gerakan buruh untuk ikut terlibat dalam gelanggang kontestasi politik elektoral atau politik praktis.
Kedua, jumlah kaum buruh (pekerja) di Indonesia cukup lumayan besar. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 jumlah buruh (pekerja) sebanyak 120,65 juta orang. Dengan persentase di sektor formal 41,72% dan sektor informal 58,28%. Maka dengan
jumlah demikian, gerakan buruh mempunyai daya tarik yang sangat tinggi. Kekuatan massa
buruh bisa menjadi basis massa konstituen bagi partai politik buruh nantinya.
Ketiga, dengan adanya partai politik yang refresentatif dari gerakan buruh, maka
kaum buruh tidak perlu lagi mengandalkan basis massa untuk memperjuangkan hak-hak
dasarnya baik hak ekonomis maupun hak sosialnya. Melainkan harus mengandalkan basis
pengetahuan dan gagasan untuk berdebat di arena politik dalam merencanakan dan merumusankan perundang-undangan serta segala kebijakan yang pro terhadap kepentingan
dan kemaslahatan kaum buruh. Sehingga, implikasinya tidak ada upah murah bagi kaum buruh kedepannya.
Keempat, adanya partai politik buruh ini akan menjadi sebuah alternatif terhadap partai politik mainstream saat ini yang notabene sangat miskin orientasi keberpihakan kepada rakyat kecil dan hanya mengejar kursi kekuasaan saja, sehingga muatan ideologisnya menjadi absurd karena kuatnya arus negoisasi kekuasaan, yang kemudian melahirkan lingkaran setan
oligarkis yang dibungkus atas nama “koalisi”.
Kelima, kaum buruh melalui kekuatan partai politik revolusionernya, seyogianya
adalah meminjam sekaligus menggunakan negara atau pemerintah sebagai “instrumen” untuk memukul mundur dan menghantam tembok neoliberalisme dan supremasi pasar bebas yang telah lama membelenggu nasib kaum buruh selama ini. Dalam artian, bahwa eksistensi negara atau pemerintah bisa berfungsi sebagai senjata perlawanan yang ampuh bagi kaum buruh untuk membebaskan diri dari jebakan dan cengkraman neoliberalisme.
Dengan demikian, tugas utama dari gerakan buruh untuk menjadi partai politik revolusioner harus melakukan pembenahan dan penataan ke-organisasian buruh secara rapi, mulai dari tingkat nasional (pusat) hingga tingkat regional (daerah). Sekaligus memperluas jaringan konsolidasi lintas gerakan buruh, serta perlu membuka ruang dialog untuk
membangun dan merumuskan manifesto perjuangan politik buruh yang sifatnya jangka panjang dan sistematis.
Sehingga, masa depan kaum buruh akan menjadi lebih cerah dan tidak lagi menggantungkan nasibnya kepada kaum pemilik modal (kapitalis). Sekaligus tidak perlu lagi meminta belas kasihan kepada negara atau pemerintah dengan segenap otoritas yang
dimilikinya.
Jika pada abad 18 yang lalu, Karl Marx pernah mengkhotbahkan pentingnya kaum buruh untuk bersatu sebagaimana yang tertuang dalam manifesto partai komunisnya. Maka momen May Day saat ini, barangkali waktu yang sangat tepat untuk mengkhotbahkan dan menyuarakan kembali bahwa gerakan buruh harus menjadi partai politik revolusioner.
Karena sudah saatnya kelas buruh untuk memimpin dunia dan merebut negara. Supaya kelas
borjuis gemetar melihat gelombang revolusi sosialis ada dihadapannya.
*Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial UIN Sunan Kalijaga
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan
Penulis: Gloria Rigel Bunga (Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia) KITA pasti suka bertanya-tanya, untuk apa ya sebuah perusahaan atau organisasi sering