Negara–negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) kini sedang membahas tentang tantangan dan strategi mencapai tujuan Pembangunan Berkelanjutan dalam Forum Politik Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan (The High-level Political Forum on Sustainable Development, selanjutnya disebut HLPF 2018). Perhelatan besar yang diselenggarakan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) di New York, dimulai pada 9 Juli 2018. Tak banyak pihak yang memperhatikan forum ini. Wartawan yang hadir meliput pun, tak sebanyak yang meliput piala dunia, atau prosesi penyelamatan Tim sepak bola remaja yang terjebak di Gua Tham Luang Thailand.
Padahal, HLPF 2018 yang mengambil tema: Transformasi menuju masyarakat yang berkelanjutan dan tangguh, ini akan membahas masalah yang sangat penting. Menyangkut hajat hidup orang banyak. Enam dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDG) dibahas dalam forum ini, yaitu: Akses air bersih dan sanitasi layak bagi semua ( Tujuan 6 SDG), Memastikan akses energi bersih, terjangkau, andal dan modern bagi semua (Tujuan 7), Menciptakan kota dan permukiman manusia aman, inklusif, tangguh dan berkelanjutan (Tujuan 11 SDG), memastikan Keseimbagan pola konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab (Tujuan 12), melindungkan dan memulihkan serta mempromosikan pemanfaatan ekosistem darat dan hutan secara lestari (Tujuan 15) dan Tujuan 17 tentang Memperkuat sarana implementasi dan merevitalisasi Kemitraan Global untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Diantara 6 tujuan SDG yang tengah dibahas itu, pembahasan tentang akses air bersih dan sanitasi layak bagi semua, menjadi topic paling menarik. Betapa tidak, air dan sanitasi berkait erat dengan kehidupan sehari-hari setiap orang. Tetapi krisis air bersih dan sanitasi terjadi di berbagai negara di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyajikan fakta, yang sangat memprihatinkan. Sekitar 89 % penduduk dunia (6,5 miliar orang) tidak memiliki sumber air di rumah dan membutuhkan waktu, setidaknya 30 menit untuk mengambil air di fasilitas air bersih di komunitasnya. Sebanyak 844 juta orang di dunia tidak memperoleh layanan air minum dasar, termasuk 159 juta orang yang bergantung pada air permukaan, seperti sungai dan danau. Setidaknya sekitar 2 miliar orang di dunia mengkonsumsi air yang tercemar oleh kotoran, termasuk kotoran manusia. Setiap tahun terjadi 502.000 kasus kematian, mayoritas anak-anak, akibat diare yang disebabkan oleh konsumsi air yang tercemar.
Masih menurut WHO, pada tahun 2015, hanya 39% penduduk di dunia (2,9 miliar orang) yang memiliki jamban keluarga dan hanya 27% atau 1,9 miliar orang yang memiliki jamban keluarga dengan saluran pembuangan yang dirawat. Masih ada 2,3 miliar orang di dunia yang tidak memiliki jamban keluarga dan 892 juta orang diantaranya, masih buang air besar di tempat terbuka, seperti di selokan jalan, di balik semak-semak, di sungai atau di danau.
Tantangan Terberat Indonesia
Dari 6 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang dibahas di HLPF 2018, tantangan terberat bagi Indonesia adalah mencapai Tujuan 6 yaitu akses air bersih dan sanitasi layak bagi semua warga. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per November 2017 menunjukkan rata-rata nasional Persentase Rumah Tangga yang memiliki akses sanitasi layak di tahun 2017 baru 67,89%, dari total 67.173,4 ribu rumah tangga. Persentasi akses terhadap sanitasi layak tidak mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 67,80%. Rata-rata nasional persentase rumah tangga yang memiliki akses air minum layak pada 2017 hanya 72,04%, sedikit meningkat dibandingkan tahun 2016 yang mencapai 71,14%.
Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya satu provinsi, yaitu Provinsi Bali yang lebih dari 90% rumah tangganya memiliki akses air minum layak dan sanitasi layak, dengan perincian 90, 85% rumah tangga memiliki akses air minum layak dan 90.51% rumah tangga memiliki sanitasi layak. DKI Jakarta 91.13 % rumah tangga memiliki akses sanitasi layak, namun hanya 88.99% rumah tangga yang memiliki akses air minum layak. Dari 34 provinsi, hanya 14 provinsi, termasuk Bali dan DKI Jakarta, yang persentase rumah tangga memiliki akses air minum layak melampaui 72 %. Tiga provinsi dengan akses air minum layak terendah adalah Bengkulu 43,83% rumah tangga, Lampung 53,79% rumah tangga dan Papua 59,09% rumah tangga.
Selain di Provinsi Bali dan DKI Jakarta, berhasil mencapai lebih dari 90% rumah tangganya memiliki sanitasi layak, ada 3 provinsi yang lebih dari 80% rumah tangganya memiliki sanitasi layak, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (89,40%), Kepulauan Riau (86,33%) dan Kepulauan Bangka Belitung (83,56%). Lima Provinsi dengan akses sanitasi layaknya sangat rendah yaitu: Papua (33, 06%), Bengkulu (42,71%), Nusa Tenggara Timur (45,31%), Kalimantan Tengah (45,46%) dan Kalimantan Barat (49,65%).
Meskipun secara nasional, terjadi peningkatan akses sanitasi layak, namun hanya 12 provinsi yang mengalami peningkatan sekitar 1% -2% persentase rumah tangga yang memiliki sanitasi layak. Selebihnya, 22 provinsi lainnya mengalami justru mengalami penurunan 1% -5 % rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak. Provinsi yang mengalami perbaikan akses sanitasi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur , DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Papua dan Papua Barat.
Lima Tujuan, terancam gagal dicapai
Pencapaian keberhasilan mewujudkan akses air minum layak dan sanitasi layak, akan berkontribusi pada 5 tujuan Pembangunan Berkelanjutan lainnya, yaitu Tujuan 1 ( tidak ada kemiskinan), Tujuan 2 (tidak ada kelaparan), Tujuan 3 (Kesehatan yang baik dan merata), Tujuan 4 (Pendidikan berkualitas) dan Tujuan 5 (Kesetaraan Gender).
Selama ini, keluarga miskinlah yang tidak memiliki akses air minum dan sanitasi layak. Untuk memenuhi kebutuhan air minum, mereka menghabiskan lebih dari setengah pendapatannya untuk membeli air. Mereka juga terpaksa mengobankan pemenuhan kebutuhan pokok lainnya, seperti pangan dan pendidikan, demi mencukupi kebutuhan air. Akses air minum layak bagi Rumah Tangga miskin akan menghindarkan mereka dari kekurangan pangan dan putus sekolah. Karena dana untuk membeli air, dapat dialihkan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan pendidikan.
Akses terhadap air minum dan sanitasi layak, juga akan menyumbang pada perbaikan status kesehatan, terutama kesehatan perempuan dan anak. Ketersediaan air minum dan sanitasi layak mengurangi tingginya Angka Kematian Bayi dan Balita, yang umumnya meninggal karena penyakit yang ditimbulkan oleh air dan sanitasi yang buruk, seperti diare, disentri, kolera, hepatitis A akut Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan tifus.
Selama ini, perempuan dan anak perempuan lah yang harus menempuh jarak yang cukup jauh dan beban berat membawa air untuk keperluan rumah tangga. Akibatnya, perempuan dan anak-anak perempuan hanya memiliki sedikit kesempatan beristirahat dan melakukan kegiatan kemasyarakatan atau kegiatan ekonomi. Akses terhadap air minum dan sanitasi layak akan berkontribusi mengurangi beban kerja perempuan dan anak perempuan, termasuk beban perempuan melakukan kerja perawatan dan pengasuhan, karena anak-anak tidak mudah sakit akibat kekurangan air minum atau mengkonsumsi air minum yang tercemar. Sehingga perempuan dan anak perempuan memperoleh cukup waktu istirahat dan terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan dan pemberdayaan.
Sebagian besar rumah tangga miskin tidak memiliki saluran pembuangan limbah. Mereka membuang limbah rumah tangganya di sekitar rumah. Akibatnya, lingkungan rumah tangga dipenuhi sampah dan air limbah, yang mengakibatkan penyakit dan kerusakan lingkungan. Dalam kondisi lingkungan yang demikian buruk, perempuan, anak-anak, lanjut usia dan penyandang disabilitas, menjadi kelompok yang paling rentan terserang penyakit. Karena kelompok inilah yang paling banyak menghabiskan waktunya berada di lingkungan rumah. Perempuan dan anak perempuan juga menjadi lebih rentan mengalami kekerasan, terutama kekerasan seksual, manakala rumah tangga yang tidak memiliki jamban keluarga sendiri. Umumnya mereka mengandalkan jamban umum, sungai atau semak-semak untuk buang air besar, rentan menjadi korban kekerasan.
Singkatnya, keberhasilan penyediaan air minum dan sanitasi layak bagi semua orang, akan berkontribusi pada pengurangan kemiskinan, perbaikan gizi dan pemenuhan pangan, peningkatan derajat kesehatan, peningkatan kesempatan pendidikan, pengurangan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan serta mendukung terwujudnya kesetaraan gender. Sebaliknya, kegagalan mencapai akses air bersih dan sanitasi layak, akan melanggengkan kemiskinan, kekurangan pangan dan gizi. Serta merintangi upaya meningkatkan derajat kesehatan dan partisipasi sekolah. Kegagalan menyediakan air minum dan sanitasi layak, juga akan berakibat pada semakin sulitnya mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan bagi perempuan dan anak perempuan, yang merupakan Tujuan dan target Pembangunan Berkelanjutan (SDG), tujuan ke 1 hingga tujuan ke 5, akan semakin berat.
2019, Air Minum dan Sanitasi bagi semua
Konferensi Air Minum dan Sanitasi Nasional 2017 di Jakarta pada November 2017 mentargetkan akses universal air minum dan sanitasi layak pada 2019. Tak ada satu pun keluarga dan penduduk Indonesia yang tidak memperoleh akses terhadap air minum dan sanitasi layak. Artinya, pemerintah harus mampu menjangkau 21,5 juta rumah tangga yang belum memiliki sanitasi layak dan 18,8 juta rumah tangga yang belum memiliki akses air minum layak, hingga akhir 2019. Target ambisius ini, membutuhkan kerja keras, sumber daya manusia yang memadai, alokasi anggaran yang cukup, komitmen politik kepala desa, kepala daerah hingga presiden serta partisipasi semua pemangku kepentingan. Mengingat dalam 10 tahun terakhir rata-rata peningkatan rumah tangga yang memiliki akses air minum dan sanitasi layak, setiap tahunnya sebesar 1 % – 2 %.
Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 185 Tahun 2014 Tentang Percepatan penyediaan Air Minum dan Sanitasi, serta pencanangan Program andalan yaitu Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas), sesungguhnya merupakan salah satu bukti komitmen pemerintah untuk mewujudkan akses universal air minum dan sanitasi layak.
Sayangnya, belum semua daerah dan desa mampu mengatasi persoalan mendasar rendahnya akses air minum dan sanitasi layak, yaitu minimnya infrastruktur air minum dan infrastruktur sanitasi, mahalnya biaya untuk membangun infrastruktur tersebut dan cara pandang serta perilaku masyarakat.
Dalam Perencanaan Nasional (RPJMN 2015-2019), pembangunan infrastruktur air minum 100% saja, membutuhkan dana Rp. 275 trilun. Biaya tersebut direncanakan bersumber dari APBN sebesar Rp74,8 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik sebesar Rp 25,3 triliun, APBD sebesar Rp121,6 triliun, PDAM Rp 30,3 triliun, serta Kemitraan Pemerintah dengan Swasta (KPS) Rp 23,1 triliun. Namun target ini, nampaknya sulit dicapai.
Di tingkat rumah tangga, dibutuhkan sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000- 7.000.000 ( lima hingga tujuh juta rupiah) untuk membangun jamban keluarga dengan septic tank, saluran pembuangan limbah dan pemasangan saluran ledeng PDAM. Bergantung tariff dan harga di masing-masing daerah. Tentu, jumlah sebesar itu, tak dapat dijangkau oleh rumah tangga miskin. Maka, dibutuhkan skema bantuan untuk meringankan rumah tangga miskin, agar memiliki air minum dan sanitasi layak.
Oleh karenanya, Pemerintah perlu memanfaatkan HLPF 2018 untuk membahas dan mengatasi kendala-kendala yang dihadapi oleh Indonesia dalam mewujudkan akses universal air bersih dan sanitasi layak. Terlebih dalam HLPF 2018 tersebut akan dibahas Tujuan ke 17 yaitu Memperkuat sarana implementasi dan merevitalisasi Kemitraan Global untuk Pembangunan Berkelanjutan.
The High-level Political Forum on Sustainable Development (HLPF 2018) yang akan berakhir pada 18 Juli 2018 nanti, merupakan forum sangat strategis dan harus dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia untuk mendukung target 100% akses air bersih dan sanitasi layak. Dengan tenggat waktu 530 hari lagi. Semoga berhasil
Sekretaris Jenderal
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)