Namanya revolusi mental, ya pasti mentalnya lah yang direvolusi. Kenapa mental harus direvolusi?
Bukan mental yang harus di revolusi tapi kebiasaan buruk yang sudah membudaya yang kemudian menjadi ciri khas bangsa ini yang harus direvolusi. Makanya disebut “mental”, misalnya “Ah, dia itu punya mental kacung!” Artinya, orang yang dibicarakan tidak pernah bisa bersikap seperti atau untuk menjadi atasan, pemimpin atau boss. Dia selalu merengkuh dan patuh dan sudah puas dan nyaman menjadi pesuruh. Nah, kepribadian dia yang rengkuh, patuh dan tidak bisa geser dari jadi pesuruh ini, karena mungkin dulu orangtuanya bekerja sebagai pesuruh yang pekerjaan itu diwariskan dan orangtuanya juga.
Ada lagi contoh lain, misalnya “Hah, orang itu memang mentalnya maling, kalau ada celah sedikit saja, pasti dicuri!” terdengar kasar bukan? Tapi kalimat itu tidak salah. Kenapa tidak salah? Karena banyak orang yang bekerja, terutama yang menjadi pejabat, mereka tidak bisa lagi membedakan mana yang harusnya menjadi hak rakyat dan mana yang harusnya menjadi haknya dia. Kata “komisi” sudah sangat akrab diantara mereka. Setiap proyek pemerintah yang ada, tidak lepas dari “komisi” untuk para pejabat yang terkait pada proyek tersebut. Kenapa harus demikian? Bukankah jabatan mereka menerangkan apa pekerjaan yang harus dilakukan? Kenapa mereka harus menarik komisi atas kelangsungan dan kelancaran proyek yang diadakan untuk rakyat? Itu yang selalu menjadi pertanyaan kita, pertanyaan rakyat biasa.
Jawaban yang sederhananya adalah, “Karena menarik komisi atas proyek pemerintah yang sedianya untuk rakyat sudah menjadi bagian dari MENTAL mereka. Bagian dari BUDAYA kerja mereka”. Kan itu parah, bukan?
Kalau mereka bilang itu “Komisi”, rakyat bilang itu “Korupsi”.
Dan ketika kita bicara soal KORUPSI artinya kita sedang membicarakan aksi penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk mengambil uang negara atau perusahaan untuk kepentingan atau kantong pribadinya atau kantong orang lain.
Nah, apakah para pejabat itu “merasa” bahwa mereka sedang melakukan tindakan “maling”? Tentu tidak! Padahal menurut ajaran agama mereka, maling itu dosa. Tapi karena maling sudah menjadi bagian dari budaya dan mental mereka, tindakan dosa menurut agamapun, menjadi sebuah tindakan yang dibenarkan. Itu sebabnya, mengaku mereka beragama tapi tidak bisa membedakan mana tindakan dosa dan pahala.
Karena alasan “budaya” inilah, maka Presiden Jokowi merasa harus mencanangkan Gerakan Revolusi Mental. Tujuannya untuk apa sih? Ya untuk merubah mental yang dulu ditumbuh suburkan dan sangat bobrok sekali diganti dengan mental baru.
Mental yang berpikir bahwa rejeki dan pahala itu akan datang ketika kita jujur dan rajin bekerja. Mental yang memahami arti agama dan tahu bahwa maling atau mencuri itu salah dan dosa. Apalagi maling uang negara yang notabene adalah uang rakyat juga. Dosanya bisa dua kali, karena selain dosa mencuri, juga dosa menyengsarakan orang banyak. Apa kita mau uang yang kita bayarkan pada negara diambil untuk membiayai kehidupan mewah mereka? Tentu tidak, bukan?
Makanya, adalah kewajiban kita, rakyat biasa untuk bisa mendukung dan menegakkan gerakan revolusi mental ini. Supaya uang yang kita bayarkan pada negara bisa dikembalikan oleh negara pada kita dalam bentuk pembangunan. Dan uang yang kita bayarkan pada negara itu disebut “Pajak”.
Ingat, sekarang ini kita sudah berada dijaman perubahan. Jaman Jokowi, dimana peraturan sudah lebih tegak dibanding jaman sebelumnya.
Menyukai ini:
Suka Memuat...