Oleh: Toifur Ali Wafa (Pimred Media Nusainsider sekaligus Mantan Aktivis PMII Sumenep)
BELAKANGAN ini, akun TikTok @MulutNetizen ramai dibicarakan. Konten-konten yang diunggah menyoroti kepemimpinan Bupati Sumenep, Dr. H. Achmad Fauzi Wongsojudo, dengan nada kritik tajam yang terkesan politis dan menggiring opini publik secara sepihak.
Salah satu isu yang disorot adalah kemiskinan di Kabupaten Sumenep. Dalam kontennya, akun tersebut menyampaikan seolah-olah kemiskinan adalah kegagalan total dari kepemimpinan Bupati Fauzi. Padahal, ini adalah cara pandang yang keliru dan menyesatkan publik.
Perlu diketahui, Kabupaten Sumenep telah berada di posisi ketiga termiskin se-Jawa Timur sejak tahun 2011. Fakta ini jarang diangkat dalam perbincangan publik atau media sosial, sehingga menciptakan persepsi seolah kemiskinan baru muncul di masa Bupati Fauzi.
Menilai kemiskinan hanya dari satu periode kepemimpinan tanpa melihat konteks historis adalah upaya framing yang menyesatkan. Padahal, akar permasalahan kemiskinan sudah ada jauh sebelum Fauzi menjabat sebagai bupati.
Jika kita mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun 2022, angka kemiskinan di Kabupaten Sumenep terus menunjukkan tren penurunan. Ini adalah pencapaian yang seharusnya mendapat apresiasi, bukan cemoohan.
Pada tahun 2022, angka kemiskinan di Sumenep tercatat sebesar 18,76 persen. Tahun berikutnya turun menjadi 18,7 persen. Dan pada 2024, angka itu kembali turun menjadi 17,78 persen. Secara keseluruhan, terjadi penurunan sebesar 0,92 persen dalam tiga tahun.
Angka ini mungkin tidak terlihat spektakuler di atas kertas, namun untuk wilayah dengan problem struktural yang sudah bertahun-tahun seperti Sumenep, capaian tersebut adalah bukti bahwa ada upaya sistematis dari pemerintah daerah untuk mengurangi kemiskinan.
Sayangnya, upaya dan kerja keras ini tidak mendapat tempat dalam konten-konten viral seperti yang disajikan oleh akun @MulutNetizen. Alih-alih mendukung dengan kritik membangun, akun ini justru memilih untuk memancing emosi dan menyudutkan.
Yang lebih mengherankan lagi, isu mobil dinas (mobdin) Bupati Fauzi juga turut diangkat dan dijadikan bahan kritik. Padahal, menurut penjelasan dari staf Pemkab Sumenep, Suharjono, hanya dua dari empat mobil dinas yang digunakan saat ini berasal dari masa kepemimpinan Fauzi.
Dua mobil lainnya adalah warisan dari pemimpin sebelumnya. Fakta ini memperjelas bahwa framing terhadap isu mobil dinas hanyalah akal-akalan untuk memperkeruh suasana dan menyerang secara personal tanpa dasar logika yang objektif.
Bupati Fauzi sendiri juga telah menyampaikan bahwa fokus utama pemerintahannya adalah rakyat, bukan urusan fasilitas pribadi. Ia bahkan menegaskan bahwa penggunaan anggaran dilakukan seefisien mungkin demi kebutuhan masyarakat.
Sayangnya, dalam era digital seperti sekarang, klarifikasi seperti ini sering kali tenggelam oleh narasi sensasional yang diulang-ulang di media sosial. Apalagi jika narasi tersebut dibalut dengan nada sarkas dan sentimen politik.
Salah satu komentar netizen di akun TikTok tersebut bahkan menuding bahwa selama Fauzi menjabat, tidak ada peningkatan apa pun.
Komentar ini jelas lahir dari ketidaktahuan atau bisa jadi merupakan bagian dari upaya sistematis untuk menyebarkan kebencian.
Ada pula komentar dari akun @IG:Aizzatul_maufiroh_ yang menyinggung tim kampanye Fauzi-Imam pada Pilkada 2024, seolah mengaitkan konten tersebut dengan narasi politik menjelang pilkada. Ini memperkuat dugaan bahwa konten semacam itu punya muatan politis.
Framing yang dilakukan akun @MulutNetizen bukan hanya membelokkan fakta, tetapi juga membunuh objektivitas publik. Konten seperti ini menciptakan ilusi kebenaran tunggal, padahal realitas di lapangan jauh lebih kompleks dan butuh analisis menyeluruh.
Kemiskinan bukanlah persoalan yang bisa dihapus dalam hitungan tahun. Ia adalah akumulasi dari berbagai faktor: struktur ekonomi, kualitas pendidikan, akses terhadap layanan dasar, dan kebijakan pemerintah dari masa ke masa.
Oleh karena itu, menyalahkan satu periode kepemimpinan dan mengabaikan rekam jejak sebelumnya bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak mencerminkan itikad baik dalam berdemokrasi. Ini adalah bentuk manipulasi publik dengan dalih kebebasan berekspresi.
Kritik tentu dibutuhkan dalam pemerintahan. Tapi kritik harus berbasis data, bukan emosi atau kepentingan politik. Jika kritik hanya dilandasi kebencian, maka yang terjadi bukan perbaikan, melainkan kekacauan informasi dan polarisasi masyarakat.
Apa jadinya jika seluruh masyarakat membentuk opini berdasarkan konten viral tanpa mengecek kebenarannya? Maka yang terjadi adalah rusaknya kepercayaan terhadap institusi publik dan lahirnya sikap sinis yang merusak tatanan demokrasi.
Sebagai mantan aktivis, saya merasa terpanggil untuk meluruskan pandangan yang salah dan membela kebenaran yang mulai kabur. Jangan sampai hanya karena urusan politik, fakta dikaburkan, dan kinerja baik justru dianggap buruk.
Sumenep butuh pemikiran jernih dan solusi konkret, bukan kebisingan politik di media sosial. Apalagi usai tahun politik, kita harus lebih waspada terhadap narasi-narasi yang menyesatkan dan bernuansa provokatif.
Saya mengajak semua elemen masyarakat, khususnya generasi muda, untuk lebih kritis dan cerdas dalam menerima informasi. Jangan biarkan algoritma media sosial menentukan kebenaran. Cek data, pahami konteks, dan lihat dari berbagai sudut pandang.
Kita bisa berbeda pendapat, tapi jangan sampai perbedaan itu membuat kita buta terhadap fakta. Perdebatan sehat harus dibangun di atas fondasi informasi yang valid dan niat yang tulus untuk memperbaiki, bukan menjatuhkan.
Bupati Fauzi mungkin tidak sempurna, tapi setidaknya ia sudah berupaya menurunkan angka kemiskinan dengan langkah-langkah yang terukur. Fakta ini harus diakui, dan jika ada kekurangan, mari kita sampaikan dengan cara yang konstruktif.
Jika terus-menerus kita memelihara budaya nyinyir tanpa solusi, maka kemajuan yang kita harapkan hanya akan jadi angan-angan. Mari kita sudahi tradisi mencela tanpa data, dan mulai membangun narasi yang mencerahkan.
Akhir kata, media sosial harus menjadi ruang edukasi, bukan tempat adu dendam. Kritik itu sehat, tapi harus disampaikan dengan cara yang sehat pula. Jangan korbankan kebenaran demi likes dan views.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...