Sama dengan perkiraan saya, mantan Ketua MK, Prof. Mahfud MD, juga memprediksi bahwa Jenderal TNI (pur) Gatot Nurmantyo (GN) akan bertanding melawan Jokowi (PJ) dalam Pilpres tahun depan. Posisi Prabowo Subianto (PS), hemat saya, tidak cukup “menjanjikan” sebagai lawan kuat PJ, sang petahana, kendati partai Gerindra keukeuh mengusung dan, bahkan, telah mendeklarasikan pencapresan beliau.
Perhitungan saya, siapapun capres-cawapres pada 2019 tak akan bisa menghindari dua faktor berikut ini. Pertama, aturan yang telah digariskan dalam konstitusi dan UU terkait, yakni mereka harus diajukan oleh parpol dan, atau gabungan parpol. Lebih spesifik lagi, menurut UU Pemilu, parpol dan /atau gabungan parpol tersebut mesti punya minimum 20% kursi di DPR. Implikasi dari kedua aturan tersebut adalah, hanya koalisi yang mampu memenuhi ambang batas kursi DPR sajabyg bisa mengusung capres-cawapres.
Selain itu, faktor kedua, adalah keniscayaan politik yang mesti dipahami oleh para pengusung capres-cawapres, yaitu elektabilitas para calon mereka. Ihwal yang satu ini memang tak mudah untuk mengukurnya karena ia terkait dengan perubahan dalam opini publik. Namun di dalam masyarakat terbuka seperti Indonesia hal itu bisa dijawab dengan menggunakan laporan-laporan survei yang secara berkala dilakukan oleh berbagai lembaga yang bergerak di bidang itu, baik milik negara maupun swasta. Walaupun tingkat kualitas dan kredibilitas mereka berbeda-beda tetapi jika hasil-hasil survei mengenai elektabilitas para paslon tidak jauh berbeda, maka kita bisa lebih confidence dalam menilai dan memperbandingkan elektabilitas mereka.
Berdasarkan kedua faktor di atas, mudah diperkirakan bahwa Pilpres 2019 tidak akan diikuti lebih dari dua pasangan. Memang ada spekulasi bahwa poros ketiga masih terbuka, tetapi ini lebih bersifat “akademis“, bukan hal yang realistis secara politik. Poros ketiga hanya akan menjadi perusak suara atau spoiler kalau memang terbentuk dan hanya buang-buang biaya dan energi yang besar.
Walhasil, pada akhirnya probabilitas tertinggi adalah pertarungan antara petahana, PJ & pasangannya, dengan satu lagi pasangan penantang (contender). Sampai saat ini wacana tentang siapa penantang tersebut masih didominasi oleh PS & pasangan beliau. Namun seiring berjalannya waktu, fakta politik menunjukkan bahwa elektabilitas PS cenderung stagnan alias mandeg dan, bahkan, menurun . Mengapa menurun?
Pertama, ketidakjelasan PS sendiri serta elite parpol parpol di luar Gerindra yg berpotensi menjadi pendukungnya, yakni PKS dan PAN. Keengganan elite kedua partai utk secara firm mendukung pencapresan PS, merupakan pwrtanda bahwa mereka masih mempunyai opsi capres lain. Bisa saja dari kalangan mereka berdua sendiri, tetapi bisa juga dr luar ketiganya.
Di situlah nama GN menjadi alternatif. Bukan saja beliau memiliki latar belakang militer yang masih menjadi idola sebagian masyarakat, tetapi juga secara politik mampu merekatkan ketiga parpol dan basis massa mereka, khususnya kelompok Islam politik. GN juga memiliki relasi yg baik dengan para pemilik modal nasional serta kelompok strategis dalm masyarakat sipil lainnya.
Alasan kedua adalah kecenderungan naiknya elektabilitas GN dalam berbagai survei, walaupun masih dalam batas sebagi cawapres. Namun hal ini akan berubah jika beliau menjadi capres parpol koalisi oposisi dan jika mesin partai mereka mulai bekerja.
Untuk sampai kepada skenario tsb tentu bukan kerja yang mudah: bagaimana bisa meyakinkan PS bahwa pencapresan GN adalah alternatif terbaik dan paling punya prospek untuk bisa menandingi sang petahana. Selain itu, bagaimana meyakinkan beliau dan Gerindra bahwa alternatif tersebut tidak merugikan keduanya dalam distribusi kekuasaan. Mungkin PKS & PAN harus bersedia memberikan hak penuh kpd PS utk menentukan cawapres GN. Atau konsesi politik lain yang signifikan dan sepadan dengan “pengorbanan” PS dan Gerindra.
Alternatif lain adalah merayu parpol yang selama ini mendukung PJ seperti PKB. Potensi ini bisa jadi cukup kuat mengingat Ketum PKB, Muhaimin Iskandar (Imin), sangat berambisi untuk menjadi RI-2. Memang sampai saat ini dirinya masih mendambakan berpasangan dengan PJ. Tetapi jika ada peluang lain rasanya bukan hil yang mustahal baginya untuk berpindah haluan.
Koalisi PKS-PAN-PKB mungkin tak sesolid trio Gerindra-PKS-PAN, tetapi akan cukup untuk menjadi perahu bagi GN maju dalam Pilpres 2019. Adanya dua alternatif yang bisa dipakai utk pengusungan GN inilah yang membuat saya cenderung memperkirakan bahwa PS sulit bisa maju sebagai capres penantang PJ.
Politik memang sangat dinamis tetapi, pada saat yang sama, ia juga dibatasi oleh aturan-aturan baku dan keniscayaan-keniscayaan politik. Dan dengan semakin dekatnya waktu, opsi-opsi pun menjadi semakin berkurang. Jika parpol-parpol oposisi tidak bertindak cepat dan efektif, maka akan menghadapi kemungkinan paling pahit yaitu tidak munculnya pasangan penantang PJ yang berarti. Dengan kata lain, upaya keras mereka akan muspro alias sia-sia belaka.
Atau bahkan bisa jadi PJ dan pasangannya jadi calon tunggal dalam Pilpres 2019. Jika ini terjadi maka yang paling bertanggungjawab di hadapan mahkamah sejarah dan rakyat adalah parpol oposisi dan para pendukungnya!
Pengamat Politik, Dosen di President University.
Menyukai ini:
Suka Memuat...