Sudah tiga tahun jalan rezim politik Jokowi memimpin republik ini. Geliat upaya penyelesaian dan penuntasan masalah Hak Asasi Manusia (HAM) masih belum jelas. Karena arah kebijakannya tidak pernah menyentuh dan mengungkit soal pelanggaran berat hak asasi manusia, terutama mengenai masa lalu bangsa ini yang pernah mengalami berbagai tragedi kemanusian yang telah menyebabkan banyak korban.
Peristiwa seperti kekerasan, penculikan, pemenjaraan hingga pembunuhan telah melekat dalam diri bangsa ini. Sehingga tidak dapat dipungkiri, bahwa bangsa ini dibangun diatas penderitaan dan tangisan rakyatnya sendiri. Karena korban pelanggaraan hak asasi manusia belum juga mendapatkan keadilan sampai saat ini.
Maka wajar, jika sebagian masyarakat—terutama korban atau keluarga korban terus menuntut dan menagih janji politik rezim Jokowi akan adanya suatu penyelesaian masalah hak asasi manusia. Mengingat pada tiga tahun silam, salah satu kunci kesusksesan dan kemenangan Jokowi adalah karena menjual dan sekaligus menjajakkan isu hak asasi manusia ke hadapan publik. Sehingga Jokowi mampu mencitrakan diriya sebagai sosok yang populistik dan dianggap memiliki jiwa yang merakyat.
Keberhasilannya dalam mempromosikan isu hak asasi manusia ini, kemudian dituangkan dalam Nawacita. Dimana, salah satu poinnya adalah bahwa ia berkomitmen untuk menyelesaikan segala bentuk pelanggaraan berat hak asasi manusia yang terjadi pada masa lalu, sekaligus menghapus adanya impunitas (kebal hukum). Serta memasukkannya dalam rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2016 dalam pemerintahannya.
Namun pada kenyataannya janji politik tersebut hingga hari ini belum juga direalisasikan. Bahkan, gagasan rekonsiliasi yang diusung oleh rezim Jokowi sebagai langkah upaya penyelesaian hak asasi manusia terlihat sangat problematis.
Setidaknya ada dua alasan yang melatar belakanginya; pertama, karena pelaku pelanggaraan hak asasi manusia berada dalam lingkaran kekuasaannya. Lembaga Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, ada tiga Jenderal yang bermasalah soal kasus hak asasi manusia yang saat ini berada dalam pusaran rezim politik Jokowi, yaitu Jenderal Wiranto (sekarang menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan) terjerat dalam kasus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, dan Timor Leste. Kemudian Jenderal AM. Hendropriyono (Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia yang menjadi koalisi PDIP) terlibat dalam kasus Talangsari dan pembununan Munir Said Thalib, serta Jenderal Ryamizard Ryacudu (sekarang menjabat Menteri Pertahanan), yang bertanggung jawab atas kasus pembunuhan pemimpin Papua yaitu Theys Hilo Eluay.
Oleh karena itu, menurut penulis, serasa tidak mungkin, rezim Jokowi berani menyeret tiga Jenderal tersebut ke dalam meja pengadilan, untuk dimintai sebuah keterangan dan pertanggung jawaban terhadap kasus pelanggaraan hak asasi manusia yang telah melilitnya. Apalagi, hal itu secara nyata akan berimplikasi negatif pada kekuatan politiknya. Sehingga menyampingkan upaya penyelesaian hak asasi manusia adalah langkah yang dipilih oleh rezim Jokowi demi menjaga kemapanan kekuasaan politiknya.
Kedua, dalam perjalanan rezim politik Jokowi, upaya rekonsiliasi atau penyelesaian hak asasi manusia tidak seagresif pembangunan infrastruktur. Hal ini karena tidak adanya iktikat baik serta komitmen yang kuat dari pemerintahannya dalam menyelesaikan masalah hak asasi manusia. Janji yang pernah diikrarkan oleh Jokowi dan partai pengusungnya, hanyalah sebatas retorika dan buaian semata. Sebab, rezim politik Jokowi hanya mengedepankan perihal benda-benda mati seperti jalan tol, pelabuhan, bandara dan lain-lainnya dari pada mengurusi nyawa bangsanya sendiri, sehingga bangsa ini tidak akan bisa berdamai dengan masa lalunya yang penuh dengan lumuran darah itu.
Sebagai akibatnya, bangsa ini akan terus menyisakan luka yang menganga disepanjang perjalanannya. Sebab pelanggran hak asasi manusia tidak pernah diselesaikannya. Ia dibiarkan begitu saja hingga setiap orang akan selalu bertanya-tanya, misalnya, siapa pelaku pembantaian umat manusia (genosida) pada tahun 1965, atau siapa yang mendalangi penembakan dan penculikan mahasiswa tahun 1998, atau apa motif pembunuhan yang menimpa Munir Said Thalib tahun 2004. Dan tentu hal itu tidak mungkin ada jawabanya, karena bangsa ini sama sekali tidak pernah menghormati dan menghargai nilai-nilai kemanusian.
Menyukai ini:
Suka Memuat...