Perlakuan kontroversial pemerintah China terhadap Muslim Uighur, kelompok minoritas yang menghuni provinsi Xinjiang, ujung barat negeri Tirai Bambu itu telah menjadi sorotan dunia. Sejak awal 2018 lalu otoritas setempat telah mengesahkan kebijakan represif yang berdalih untuk memerangi ekstremisme agama. Kebijakan ini melahirkan sejumlah aturan kontroversial mulai dari pelarangan atribut agama, kampanye anti produk halal, batas minimal usia memasuki masjid, kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidato sebelum dibacakan di muka umum, hingga yang paling masif yaitu program ‘re-edukasi’ di kamp-kamp khusus.
Pemerintah setempat menyatakan bahwa kamp-kamp tersebut merupakan pusat pendidikan dan pelatihan untuk memerangi ekstremisme agama. Namun, dalam praktiknya kamp tersebut menerapkan pendidikan ideologis, rehabilitasi psikologis, dan koreksi perilaku dengan menggunakan metode yang kerap tak manusiawi, baik secara fisik maupun mental. Menurut laporan Amnesty International, jumlah muslim Uighur yang ditahan otoritas China di kamp-kamp itu mencapai satu juta orang. Kamp-kamp itu dijaga oleh petugas bersenjata, dibentengi kawat berduri dan diawasi ratusan kamera tersembunyi.
Komunitas Uighur bukanlah satu-satunya yang mendapat perilaku represif dari pemerintah RRC. Umat agama maupun komunitas lain juga kerap mendapat perlakuan serupa. Menjelang natal 2018 lalu, sejumlah gereja di Chengdu dan Guangzhou ditutup paksa, bersamaan itu dilakukan penyitaan alkitab serta penahanan terhadap pendeta dan jemaat gereja.
Di provinsi Jiangxi, pemerintah desa setempat memerintahkan pencopotan salib dan gambar Yesus untuk diganti dengan foto Presiden Xi Jinping. Yang paling legendaris tentu saja perlakuan diskriminatif terhadap penganut gerakan spiritual Falun Gong. Sejak dilarang pemerintah pada 1999 lalu, sudah tidak terhitung persekusi terhadap pengikut Falun Gong, dan tidak sedikit yang berujung pada penahanan, penyiksaan, hingga kematian.
Dalam sebuah negara otoriter seperti China, komunitas agama dan kepercayaan menghadapi tantangan berat ketika ajaran dan perilaku penganutnya dikategorikan subversif, sehingga dianggap menjadi potensi ancaman bagi stabilitas negara. Jika berkaca pada perkembangan situasi yang terjadi di China, rasanya kita harus bersyukur bahwa secara umum praktik kebebasan dan toleransi beragama di Indonesia masih jauh lebih baik.
Meski ada sejumlah kasus di lapangan yang menunjukkan bahwa intoleransi juga terjadi, namun secara garis besar peristiwa tersebut merupakan indikasi minor. Tiap umat agama di Indonesia, baik mayoritas maupun minoritas dengan bebas dan nyaman menjalankan ritual peribadatan. Pemerintah juga mengakui hari raya utama agama resmi dengan menjadikannya hari libur nasional. Tidak kita temukan diskriminasi maupun persekusi negara terhadap penganut agama yang menghiasi tajuk utama berita. Para pendiri bangsa ini telah bersepakat bahwa dasar negara kita adalah Pancasila, bukan agama tertentu.
Dalam konstitusi kita, negara menjamin hak atas kebebasan beragama bagi tiap warga negara Indonesia dengan landasan hukum Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Tak hanya itu, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga mengakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia, maka penindasan terhadap kebebasan beragama merupakan pelanggaran terhadap HAM itu sendiri. Penegasan peran negara agar tiap penduduk leluasa dalam menjalankan agamanya juga tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya”.
Sementara itu, pengakuan terhadap kebebasan beragama dalam instrumen hukum internasional tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 1966 yang telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. ICCPR merupakan perjanjian internasional dan oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat secara hukum terhadap negara-negara pesertanya.
Ketentuan Pasal 18 ICCPR yang terdiri dari empat (4) ayat tersebut menegaskan kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama sebagai hak setiap manusia. Ayat (2) dari pasal tersebut menegaskan hak setiap orang untuk bebas dari paksaan yang dapat merusak kebebasan untuk menganut agama dan kepercayaan.
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, dan baru-baru ini resmi menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia seyogyanya dapat menjembatani persoalan yang dialami komunitas beragama di RRC tersebut. Berlandaskan politik luar negeri bebas dan aktif, kita bisa mengupayakan solusi melalui pendekatan soft-diplomacy tanpa mengganggu hubungan bilateral yang terjalin cukup baik dengan China.
Indonesia harus menggunakan pengaruhnya di forum internasional, mengajak komunitas global lain untuk bersuara agar pemerintah China memberikan perlindungan terhadap warganya untuk lebih leluasa dalam memeluk dan menjalankan agamanya. Meski demikian, kita harus cermat dan hati-hati, karena isu Uighur ini tidak berkaitan dengan unsur agama semata. Ada variabel lain yang ‘bermain’ dan saling terkait.
Perlu kita cermati bahwa Uighur adalah sekelompok etnis minoritas di China yang secara kultural lebih dekat dengan bangsa Turki di Asia Tengah dibanding mayoritas bangsa Han. Dengan populasi sekitar 11 juta orang, sebagian besar mereka bermukim di bagian barat negeri itu. Pemerintah China yang tengah gencar melakukan pembangunan infrastruktur di Xinjiang termasuk Jalur Sutra Baru berusaha meredam aksi-aksi pemberontakan menjurus separatisme oleh etnis Uighur demi menjaga kestabilan ekonominya. Sangat disayangkan jika dalam prosesnya hak-hak warga menjadi terenggut.
Tentu saja kita tak ingin mencampuri urusan kedaulatan negara lain, tetapi sebagai bagian dari komunitas antar-bangsa, ada semacam obligasi moral dan semangat solidaritas untuk turut berkontribusi dalam mewujudkan ketertiban dunia. Hak atas kebebasan beragama adalah hak yang teramat mendasar. Jika mengacu pada ICCPR, hak ini merupakan salah satu hak yang terbilang sebagai non-derogable rights, yakni hak yang tak dapat dikurangi maupun ditunda dalam keadaan apapun, termasuk oleh dalih negara sekalipun.
Penulis Anggota Komisi Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI )