Semalam, Kamis 9 Agustus 2018 adalah hari yang paling dramatis dalam dunia perpolitikan Indonesia. Setelah sekian lama menebak-nebak dan menjodoh-jodohkan, pilihan Joko Widodo jatuh pada Kyai Ma’ruf Amin. Sebuah keputusan yang jauh dari prediksi masyarakat awam.
Bagaimana tidak, sejak berbulan-bulan, bahkan setahun sebelumnya, nama Cawapres Joko Widodo malah berasal dari Ketua Partai. Beberapa saat menjelang, muncul nama dari mantan militer yang kini berkiprah dalam mengedukasi masyarakat.
Tapi, yang kemudian terpilih adalah seorang Kyai dari Nadhlatul Ulama, yang sempat santer namanya dalam permasalahan dugaan penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Apa yang mendasari keputusan ini, mungkin hanya Tuhan, Joko Widodo dan elit partai yang tahu.
Meski kekecewaan dan kekagetan muncul sejenak pada wajah dan pernyataan pendukung, kita semua seharusnya sadar, dan mungkin bisa sedikit mengutip tweet Bapak Mahfud MD, “…Keberlangsungan NKRI jauh lebih penting daripada sekadar nama Mahfud MD atau Ma’ruf Amin.” Benar demikian adanya, bahwa perihal nama Cawapres bukanlah sesuatu yang harus dipolemikkan berbulan-bulan.
Yang demikian itu akhirnya membuat masyarakat Indonesia menjadi kontra produktif. Bukannya mengembalikan keputusan dan menaruh kepercayaan, kita malah terjebak pada kata “mengapa” dan/atau sibuk merasa-rasa. Hal ini tak boleh terjadi dalam sebuah langkah maju bersama pemimpin dan masyarakat.
Bila dalam kelompok masyarakat Islam ada sebuah jargon yang diambil dari ayat Al Quran, “sami’na wa atho’na“, maka sebaiknya kita mulai memahami kaidah ini dalam perspektif nasionalis. Dulu, meskipun banyak pertengkaran dan ketidakstabilan antar pendiri negara, mereka tetap menghormati dan menyepakati bahwa keputusan bersama adalah keputusan dengan porsi lebih besar milik pemimpin.
Ini berarti, mereka tidak mau melangkahi dan menyalahi keputusan dari pemimpin yang sudah mereka tunjuk sendiri. Tidak pantas bila seseorang sudah diamanahkan untuk mengemban tanggung jawab, tetapi orang-orang yang mengamanahkan malah ikut menunjukkan kuasa dalam pengambilan keputusan. Ini seperti tidak percaya pada pilihan pemimpinnya sendiri.
Sami’na wa atho’na dalam konteks nasionalisme berarti kita mempercayai keputusan Joko Widodo adalah dengan segala pertimbangan baik dan buruk. Sikap ini pun juga akan berdampak baik bagi Indonesia bila kita saling mendengarkan dan melakukan apa yang secara musyawarah telah diputuskan untuk menjadi yang terbaik untuk Indonesia.
Bila Joko Widodo dan Ma’ruf Amin adalah pemimpin yang kompeten untuk melanjutan pembangunan berkesinambungan di periode 2019-2024, maka tentu saja harus didengar dan diwujudkan menjadi nyata, tanpa perlu banyak asumsi dan prediksi. Pada kenyataannya Joko Widodo memang sudah menunjukkan kinerja beliau untuk Indonesia berkeadilan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Untuk Kyai Ma’ruf Amin sendiri, terlepas dari masalah label penistaan agama untuk Basuki Tjahaja Purnama, beliau adalah seorang ulama terhormat dari Nadhlatul Ulama. Ulama yang sebenar-benarnya, bukan sekadar ulama kaget yang belajar agama dari YouTube. Beliau memahami aturan agama dengan baik, dan sangat paham mengenai perekonomian, terutama yang berbasis pada ekonomi syariah.
Bila perekonomian Indonesia sudah berada di tangan ahli ekonomi syariah, tentu ini berarti titik terang untuk perbaikan keadaan ekonomi Indonesia yang terkena imbas pelemahan ekonomi dunia. Perekonomian syariah yang berbasis pada kemaslahatan masyarakat diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan masyarakat untuk dapat bekerjasama membangun ketahanan ekonomi Indonesia.
Maka, apa yang telah diputuskan oleh Presiden Joko Widodo selaku Calon Presiden periode 2019-2024 adalah sebuah keputusan yang baik. Segala asumsi bahwa keputusan ini adalah kemunduran dan kekalahan melawan radikalisme adalah asumsi yang salah dan cenderung emosional.
Kaum radikalisme-intoleran malah terpatahkan langkahnya ketika seorang Kyai dipilih untuk mendampingi Joko Widodo. Seharusnya tidak ada lagi rumor-rumor “Joko Widodo anti-Islam“. Jangan ada lagi rumor-rumor yang disebarkan hanya untuk diskriminasi personal dan SARA, tanpa mengindahkan segala usaha untuk kemajuan Indonesia.
Sebagai masyarakat berpikir kita seyogyanya ikut dalam ritme kerjasama, dan tidak berhenti hanya untuk meributkan hal-hal remeh yang sengaja dipermasalahkan oleh orang-orang yang tak senang pada Joko Widodo.
Mereka yang menebarkan isu-isu tentang Joko Widodo adalah mereka yang tidak pernah susah karena hidup dalam kemudahan dalam melakukan korupsi. Mereka juga orang-orang yang terusik “lahan basahnya” sehingga kini mulai merasa “kekeringan.” Mereka juga orang-orang bayaran yang menjual kedamaian negeri agar para pencoleng asing dapat tetap bercokol di Indonesia dengan menciptakan situasi gawat darurat.