JAKARTA,SERIKATNEWS.COM-Generasi muda Indonesia harus menyadari saat ini terjadi ‘proxy war’. Sebuah perang besar yang digerakkan oleh tangan-tangan raksasa tak kelihatan, dengan memakai rakyat kecil sebagai pion-pionnya. Salah satu media perang proksi itu yakni pertarungan di dunia digital, melalui fenomena media sosial.
“Untuk itu, kita sebagai pengguna aktif media sosial harus sadar bahayanya perang di dunia digital ini. Biasakan ‘saring sebelum sharing’,” kata Tenaga Ahli Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden Agustinus ‘Jojo’ Rahardjo, dalam Seminar Nasional Universitas Tarumanagara bertema ‘Proxy War dan Ancamannya untuk Kebhinekaan’, Senin, 15 Mei 2017/
Selain dari Kantor Staf Presiden, pembicara lain acara ini yakni Staf Ahli Menko Polhukam bidang Kedaulatan Wilayah dan Kemaritiman Laksamana Muda TNI Dr. Surya Wiranto.
Selain menjelaskan langkah konkret pemerintah menghadapi perang proksi, jenderal TNI AL bintang dua ini diserbu pertanyaan terkait langkah strategis pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia. “Keputusan Menko Polhukam diambil dengan pertimbangan matang, terutama terkait menjaga agar jangan ada pihak lain yang ingin mengganti Pancasila sebagai ideologi bangsa,” kata Surya.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Tarumanagara Sylvester Reyningga Mozes menyampaikan pentingnya menjaga semangat kebangsaan di lingkungan pendidikan yang sejak lama dikenal sebagai kampus pluralis itu. “Kami di sini boleh beda agama, beda suku, beda etnis, dan beda latar belakang, tapi kami satu jiwa, Indonesia,” kata Mozes.
Kepala Sekretariat Universitas Tarumanagara Rasji juga menggarisbawahi pentingnya Pancasila untuk menjaga kebhinekaan Indonesia tetap ‘eka’. “Tantangan besar Indonesia adalah ideologi yang masuk melalui berbagai macam kegiatan atau informasi,” paparnya. Ditekankan kita boleh hidup dalam keragaman, tapi harus tetap dalam NKRI. “Jangan membuat kelompok-kelompok yang membuat kita terpecah-pecah,” ungkap Rasji.
Sekretaris Yayasan Universitas Tarumanagara Ariawan Gunadi menjelaskan, sejak berdiri pada 18 Juni 1959, Untar menegaskan posisinya bukan sebagai kampus eksklusif untuk suku, agama, etnis dan golongan tertentu. Visi Yayasan Tarumanagara untuk mencerdaskan dan menyejahterakan bangsa lewat pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi masayarakat Indonesia tanpa membedakan suku bangsa. “Itu sudah ada dalam konstitusi Yayasan Tarumanagara. Tugas kita menjaga itu,” ungkap Ariawan Gunadi.
Rektor Universitas Tarumanagara, Agustinus Purna Irawan menyatakan, Universitas Tarumanagara merupakan contoh Indonesia mini. Mahasiswa Untar berasal dari Aceh sampai Papua, multi etnik, semua agama dan semua suku serta latar belakang apapun mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri, tanpa diskriminasi. “Nilai-nilai integritas, profesionalisme dan entrepreneurship dalam kerangka keindonesiaan dan kebhinekaan menjadi salah satu benteng untuk menghadapi ancaman dari dalam dan luar negeri,” urai Agustinus Purna Irawan.