Oleh: Resnumurti Ritandea Harjana
Mencuatnya peristiwa kekerasan atas nama agama menyelimuti Negeri ini, perdamaian hanya tinggal nama. Semua mengaku cinta perdamaian, tapi disela-sela giginya masih terselip ujaran kebencian yang memancing kekerasan. Hal ini membuat wajah agama yang teduh menjadi kelihatan sangat beringas.
Dialog agama tidak mampu mewadahi -apalagi- menumbuhkan perdamaian dan kerukunan, lantaran tidak sedikit tokoh agama yang tidak mampu berdialog dan mendialogkan agamanya. Beragama secara formal belaka dapat menyebabkan dialog menjadi sebuah ajang perdebatan, padahal tujuan dialog adalah saling memahami sehingga tumbuh rasa empati, paling tidak mampu memandang orang lain dari dalam agama yang dianutnya secara objektif.
Dalam Kompas (5/6/17) Mun’im Sirri telah memaparkan pedoman berdialog antar agama. Hal ini sangat penting untuk bangsa yang sangat majemuk ini, tapi yang harus didahulukan dari hal itu adalah menyiapkan bangsa untuk berdialog, memberi pemahaman tentang arti dan tujuan dialog agar tidak menjadi sumber dari kekerasan itu sendiri. Mun’im Sirri juga telah memberi pemahaman penting mengenai dialog agama. Tulisan ini memiliki tujuan yang sama, tapi dengan sudut pandang yang berbeda.
Memahami Dialog
Dalam metode studi agama, dialog memiliki dua sifat; dialektis dan dialogis. Dialog dialektis adalah sebuah dialog tentang objek-objek pokok pembahasan. Sedangkan yang bersifat dialogis merupakan sebuah dialog antara subjek-subjek yang memang bertujuan menjadi sebuah dialog mengenai subjek-subjek (Pannikar, 2000: 198). Menempatkan keduanya secara tepat akan menuai peradaban yang sempurna, tapi jika salah menempatkan maka akan menimbulkan kekacauan yang juga sempurna.
Dialog dialektis syarat dengan rasionalitas. Manusia sebagai binatang yang berpikir tidak bisa terlepas dan menghindari rasionalitas itu sendiri. Disamping itu, dialektika mengedepankan kekritisan berpikir. Dialog seperti ini sangat baik untuk perkembangan dan kemajuan segala bentuk peradaban. Kemajuan dalam bidang keilmuan karena adanya dialektika yang tajam antara pendahulu dan penerusnya. Bahkan pemikiran agama -secara internal- pun akan mengalami stagnasi jika tanpa dialektika. Tetapi hal ini tidak sesuai jika dipakai dalam dialog antar agama, sebab yang harus didahulukan dalam memahami agama di luar agama yang kita anut adalah objektivitas.
Ketika seorang mempertahankan pendapat bahwa eksistensi tergantung kepada esensi dalam perspektif agama tertentu, dialog yang dialektis sangat penting demi perkembangan pembahasan tersebut. Namun, dalam dialog lintas agama yang bertujuan saling memahami dan menerima kebenaran walaupun dalam wadah agama yang berbeda membutuhkan sikap objektif dan toleransi yang tinggi. Sedangkan kedua sikap ini sulit ditemukan dalam dialektika.
Adapun dialog dialogis merupakan upaya memahami bukan mengenai sesuatu, melainkan mengenai diri sendiri. Dialog yang demikian menganggap pendapat-pendapat tidak terlalu penting daripada ungkapan tentang diri sendiri. Jika ingin memahami agama Buddha maka yang harus dijadikan sumber pemahaman adalah agama Buddha itu sendiri, bukan agama lain. Pendapat orang yang tidak beragama Buddha harus dijadikan referensi sekunder. Ketika dua agama atau lebih tidak bisa bertemu atau berdialog langsung, maka berarti dialog itu membutuhkan sebuah perantara sesuatu yang lain. Namun sesuatu ini harus dianggap sebagai sekadar mediator yang menyampaikan kepada masing-masing partisipan bukan hanya sekadar pemahaman yang diobjektifkan, melainkan secara tematis merupakan bagian dari diri mereka (Pannikar, 2000: 208).
Dalam berbangsa dan bernegara, khususnya di Indonesia yang sangat majemuk, antara pemeluk agama satu dengan yang lain harus menjadi patner -yang benar-benar patner- demi menjaga keutuhan NKRI. Dalam dialog yang dialogis patner bukanlah objek dan juga bukan subjek yang hanya sekadar mengajukan pemikiran untuk didiskusikan, tapi patner adalah sebuah patner yang nyata dan bukan sekadar sesuatu.
Ramundo Pannikar juga telah menegaskan dalam beberapa essainya bahwa dialog dialogis bukanlah cinta yang membisu, melainkan perjumpaan manusia secara total, dengan demikian memiliki komponen intelektual yang penting. Nilai penting inti pokok bahasan dialog adalah menyingkapkan masing-masing personalitas dan mengarah kepada dialog dialogis yang sesuai.
Berdialog Untuk Persatuan
Saat ini banyak umat beragama yang tidak mampu berdialog dan mendialogkan agamanya, karena hanya beragama secara formal belaka. Buya Syafi’i Ma’arif (2009: 178) mengungkapkan bahwa dalam sebuah masyarakat (saat ini) yang belum dewasa secara psiko-emosional, perbedaan terlalu sering dianggap sebagai permusuhan, padahal kekuatan yang pernah melahirkan peradaban-peradaban besar justru didorong oleh perbedaan pandangan dalam melihat sesuatu.
Dalam psikologi agama, menggunakan dua istilah untuk menyebut agama; faith dan cumulative tradisi (Pasiak, 2012:185). Faith menunjukkan aspek substansi yang sulit diamati karena berbeda antara satu orang dengan orang lain. Sedangkan istilah cumulative tradion menunjuk kepada segala sesuatu yang dapat diamati dan merupakan seperangkat aturan yang dibuat, seperti ritual, mitos-mitos, dan yang lain. Pemaknaan dengan istilah yang kedua ini mencerminkan agama sebagai sesuatu yang sangat sulit menumbuhkan rasa toleransi dan dapat mempersempit keluasan makna agama yang sebenarnya.
Awalnya agama (Islam) diartikan sebagai kata kerja yang sering dimaknai tindak moral, oleh karena itu Fazlurrahman (1992: 2) mengatakan bahwa sifat utama umat Islam adalah mencerminkan kualitas moral yang luhur dan spiritual agamanya melalui dukungan lembaga pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Komaruddin Hidayat (26/01/1994), pemaknaan seperti ini bergeser menjadi hal yang sangat formal, bukan sebagai kata kerja, melainkan semacam kata benda, yiatu kumpulan doktrin, ajaran, dan hukum-hukum yang telah baku, yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia. Dalam pandangan Fazlurrahman, hal ini seharusnya tidak dipahami sebagai sebuah penggeseran makna melainkan suatu hal yang memang bermakna ganda. Ia mengatakan bahwa bersamaan dengan Islam yang dipahami seperti di atas, dalam seluruh kemajemukan, masyarakat tetap merupakan sesuatu yang lebih mendasar daripada lembaga kepemerintahan, bahkan lembaga-lembaga masyarakat itu sendiri.
Beragama secara formal belaka disebabkan oleh literatur-literatur yang memahami agama sebagai seperangkat kepercayaan, praktik-praktik, dan bahasa yang menjadi ciri khas sebuah komunitas yang berusaha mencari makna transendental dengan suatu cara tertentu yang diyakini benar. Pemahaman seperti ini, agama dan kebenarannya menjadi berbeda menurut komunitasnya. Padahal spiritualitas lebih menekankan substansi nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung berpaling dari bentuk formal keagamaan. Yang menekankan dimensi spiritualitas biasanya cenderung bersikap apresiatif terhadap kebenaran meskipun dalam wadah agama yang berbeda. Dimensi spiritual melampaui makna formal agama. Sedangkan yang menekankan agama hanya secara formal cenderung bersikap eksklusif dan subjektif terhadap kebenaran yang berada dalam agama lain.
Untuk mampu berdialog dan mendialogkan sebuah agama dengan agama lain, seorang, terutama tokoh agama, dituntut beragama secara utuh; menjaga keseimbangan antara spiritulitas agama dan formalitas agama. Marcel A. Boisard mengungkapkan, bahwa agama (Islam) bukan hanya suatu kepercayaan, tetapi suatu kehidupan yang perlu dihayati. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya dimensi spiritualitas dalam kehidupan beragama.
*Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial UIN Sunan kalijaga Yogyakarta.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...