SERIKATNEWS.COM – Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Aceh Tenggara menyebutkan bahwa wacana referendum yang terlontar dari seorang Muzakir Manaf selaku Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) hanya sebuah bentuk yang bersifat politis.
Muzakir Manaf melontarkan kata Referendum Aceh pada saat memperingati Haul Wali Nanggroe Alm. Tgk Muhammad Hasan Ditiro ke-IX di Amel Convetion Hall Banda Aceh beberapa waktu lalu. Lantas pernyataan pria yang akrab disapa dengan Mualem ini pun menjadi perbincangan hangat di setiap kalangan masyarakat Aceh, khususnya Aceh Tenggara.
Wacana referendum tersebut ialah keinginan untuk memisahkan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan dalih bahwa Indonesia sudah tidak aman lagi karena menguatnya kisruh isu politik, sehingga ditakutkan akan dijajah oleh asing.
Reza Eka Patra, Ketua DPC GMNI Aceh Tenggara menganggap bahwa ungkapan Mualem tersebut tampak tidak beralasan. Pasalnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kesatuan yang kuat, dan mustahil rasanya dijajah kembali oleh pihak asing.
“Rasanya Mualem hanya membual,” ujar Reza saat dikonfirmasi serikatnews.com, Kamis (30/5/2019).
Dalam hal ini, Reza mengatakan tidak sepakat kalau referendum itu disuarakan karena mengacu kepada UU Nomor 11 Tahun 2006 dan tentang ke Otonomi Khususan Aceh. Aceh sudah didesentralisasikan untuk mengurus daerahnya sendiri.
Untuk lebih detailnya bisa dilihat di dalam UU No. 11 tahun 2006 pada pasal 7 ayat (1) dan pada pasal 15 Ayat (1)-(13), di sini dapat disimpulkan bahwa kewenangan pemerintahan Aceh sepenuhnya sudah diserahkan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintahan Aceh sendiri.
Selain itu, Reza juga melihat dengan diangkatnya isu referendum ini seakan-akan adalah manuver politik Mualem saja mengingat dia adalah Penasehat Badan Pemenangan (BPN) Pasangan Capres dan cawapres Prabowo-Sandi.
Di sisi lain, Reza juga mengaitkan isu referendum Aceh dengan Dana Otsus yang sudah dialokasikan oleh Pemerintah Pusat Kepada Provinsi Aceh dari Tahun 2008 hingga 2018 dengan jumlah sekitar Rp66, 5 Triliun. Meskipun begitu dari data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 Provinsi Aceh tetap menjadi Negara termiskin nomor satu di pulau Sumatera dan berada pada urutan ke enam di seluruh Indonesia.
Reza mempertanyakan apakah dengan dilakukannya referendum ini akan mampu menekan angka kemiskinan yang ada di Aceh? Berdasarkan data BPS Aceh tahun 2018, angka kemiskinan di Aceh masih berada pada 16,9 persen. Selain itu, jumlah penduduk miskin bertambah dari 829 jiwa pada tahun 2017 meningkat menjadi 839 jiwa pada tahun 2018.
Dari data tersebut dia mengungkapkan bahwa jumlah penduduk miskin di Aceh bertambah 10 ribu jiwa setiap tahunnya.
“Meskipun sudah dapat Otsus dari pusat tapi Aceh tetap tidak mampu mengurangi angka pertumbuhan kemiskinan yang kian terus meningkat,” terangnya.
Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor utama, yaitu banyaknya pejabat eksekutif dan legislatif yang secara berjamaah melakukan tindakan korupsi. Kedua, ialah banyaknya program pemerintahan yang tidak tepat sasaran.
Bahkan sejak tahun 2008, tidak ada alokasi Otonomi khusus yang jelas. Bahkan rencana induk pemanfaatan dana Otsus Aceh baru dibuat pada tahun 2015 silam. Dalam hal in, Reza menyebutkan bahwa dana Otsus tidak menyentuh sektor riil masyarakat.
Kemudian, Reza mengajak para elite dan tokoh KPA/GAM dan Pemuda/Mahasiswa yang ada di Aceh memberikan pemikiran ide dan gagasannya mengingat dana-dana Otsus akan berakhir pada tahun 2027.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...