Ada semangat dan paradigma baru dalam ideologi kebijakan luar negeri China setelah berhasil meletakkan pondasinya menjadi pilar baru dunia. Data 10 tahun terakhir mengindikasikan bahwa China telah unggul secara global dalam berbagai lini. Data keunggulan ini bahkan diajarkan kepada generasi muda China di sekolah-sekolah, lengkap dengan kebijakan luar negeri yang ditempuh.
Sejak 2009, China menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global yang menjadi jawara dunia dalam bidang manufaktur (sejak 2011), perdagangan (2012), jumlah GDP (2014) dan kelas menengah (2015), sampai pada jumlah triliuner, riset Artificial Intelligence (AI), serta kapasitas energi surya terpasang (2016).
Dominasi China dalam berbagai bidang ini akan menekan negara-negara mitranya agar selalu selaras dengan kebijakan luar negeri China. Kasus yang paling menonjol terjadi di benua hitam, Afrika. China tercatat sebagai pemodal terbesar di Afrika yang menyalurkan dana secara bilateral, melampaui lembaga keuangan maupun negara dunia manapun. Merujuk data China-Africa Research Initiative di John Hopkins University School of Advanced International Studies, sejak tahun 2000 hingga 2016, China telah menyalurkan pinjaman sekitar $125 miliar (Rp1.740 triliun) ke Afrika.
Malangnya, beberapa negara gagal dalam melunasi hutangnya kepada China. Zimbabwe, misalnya, tidak mampu membayar utang senilai $40 juta yang jatuh tempo pada akhir 2015. Akibatnya, pemerintah Zimbabwe menjadikan Yuan sebagai mata uang nasional resmi sebagai kompensasi penghapusan utang.
Di Asia, kisah serupa dialami oleh Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka terpaksa harus membayar mahal utang yang tidak mampu diselesaikan sesuai jatuh tempo kepada China. Akibatnya, Sri Lanka harus menyerahkan pelabuhan yang menjadi jalur strategis perdagangan ke India kepada China.
Berkaca ke masa lalu, kebijakan China ini dapat disebut sebagai aid diplomacy yang masif dilakukan pada masa Perang Dingin. Kebijakan ini dapat disandingkan dengan kebijakan Marshall Plan (Amerika Serikat) dan Molotov Plan (Uni Soviet) yang menancapkan pengaruh politik di negara-negara sekutu masing-masing blok melalui pembangunan ekonomi.
Perangkap utang yang dilakukan oleh China ini telah menjadi preseden nyata yang patut kita waspadai. Sebuah langkah tegas telah dilakukan oleh tetangga kita, Malaysia yang telah memutuskan untuk membatalkan proyek jalur kereta api bernilai US$20 miliar (sekitar 280 triliun rupiah) yang diongkosi China. Untuk itu, pemerintah Republik Indonesia perlu mengkalkulasi ulang kapasitas, urgensi, serta benefit sharing dalam setiap bentuk kerja sama dengan China, terlebih investasi yang menggunakan skema utang.
Polarisasi Kekuatan Politik Global
Untuk memperkuat tentakel kekuasannya yang agresif, China menggandeng kekuatan besar lainnya. China menjalin aliansi dengan seteru lama AS, Rusia dan mengambil sikap berseberangan dengan kebijakan luar negeri AS dan sekutunya. Yang terbaru, kedua raksasa tersebut kompak mengecam AS atas kecamuk politik yang menimpa Venezuela dan sama-sama mendukung pemerintahan Nicolas Maduro. Sementara AS dan negara lain meng-endorse pemimpin oposisi Majelis Nasional Venezuela, Juan Guaido.
Sikap China yang tampak makin terbuka dan berterus terang dalam konflik berskala internasional ini dapat dilakukan seiring dengan semakin melemahnya hegemoni politik dan ekonomi AS dan Uni Eropa. Professor Graham Allison dari Harvard Kennedy School mempopulerkan istilah ‘Thucydides’ Trap’, untuk menjelaskan sebuah fenomena, yaitu di saat kekuatan yang sedang berkembang mencoba untuk menggeser kekuatan hegemonik dalam politik internasional, konflik besar seringkali tidak terelakkan.
Graham Allison mencatat terdapat 16 (enam belas) kali momen historis di mana terjadi kasus ‘Thucydides’ Trap’, mulai dari konflik kerajaan Spanyol dengan Portugal pada akhir abad 15, sampai dengan perang dingin antara AS versus Uni Soviet. Dua belas kasus di antaranya berakhir dengan perang (termasuk perang dunia I dan II). Kini dengan dua aktor utama yang berbeda yaitu China dan AS, skenario sejarah bisa saja terulang.
Ekspansi China Melalui Teknologi Informasi
Tampaknya, China secara ambisius ingin menjadi pemimpin global di bawah inisiatif ‘Made In China’ yang digagas Presiden Xi Jinping. Termasuk di dalamnya adalah teknologi informasi, dirgantara, kendaraan listrik dan bioteknologi. Guna mencapai targetnya, China tak segan menggunakan segala rupa siasatnya.
Beberapa pekan lalu, Polandia mengumumkan telah menahan seorang eksekutif telekomunikasi yang dituduh menjadi mata-mata China. Media lokal setempat mengidentifikasi pria tersebut sebagai direktur Huawei cabang Polandia. Melalui investigasi yang dilakukan melalui surat elektronik yang diperoleh dalam penyelidikan federal AS, raksasa teknologi andalan China itu diduga menawarkan bonus kepada karyawannya jika berhasil mencuri informasi rahasia dari perusahaan luar.
Meneruskan kecurigaan tersebut, pemerintah Amerika Serikat dan Uni Eropa berencana membatasi investasi perusahaan-perusahaan China, dan kini tengah mempertimbangkan untuk melarang pengembangan perangkat 5G oleh Huawei maupun perusahaan teknologi China lainnya.
Adanya indikasi pencurian data rahasia negara melalui ekspansi perusahaan teknologi informasi China ini tentu perlu kita cermati sebagai upaya yang tidak main-main yang dilakukan oleh pemerintah AS dan Uni Eropa. Pertimbangan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memproteksi penggunaan perangkat komunikasi dari China yang berpotensi dapat membuka kesempatan intelijen China masuk ke dalam jaringan komunikasi intelijen dan komunikasi yang menyangkut rahasia negara lainnya.
Di tengah dinamika bangsa yang jatuh bangun berjuang untuk menggapai cita-citanya, sesuatu yang besar sedang terjadi dalam percaturan politik global. Tidak banyak dari kita yang menyadari dan mengikuti perkembangan ini. Eskalasi konflik antara China dan AS menuju konflik terbuka kemungkinan akan terjadi lebih cepat dari yang kita bayangkan.
Medan pertempuran dan tarikan kepentingan para raksasa politik global bisa jadi dimulai di Indonesia pada tahun politik 2019 ini. Saat perhatian dan energi bangsa kita terpusat pada hajatan pemilu legislatif dan pemilu presiden yang digelar serentak, kita tak boleh lengah dan terseret dalam pusaran kepentingan negara adidaya. Justru sebaliknya, Indonesia harus mengambil momentum ini untuk mengukuhkan posisinya sebagai pemain aktif dalam dinamika geopolitik global dan kawasan.
Dengan tetap menjalankan doktrin politik luar negeri bebas aktif yang diselaraskan dengan semangat zaman baru, Indonesia harus terus berperan menjadi negara di Asia Tenggara yang aktif dan berani untuk menginterupsi apabila kebijakan luar negeri China berpotensi mengancam stabilitas keamanan regional maupun internasional.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga perlu untuk terus berupaya dan mencermati setiap bentuk kerjasama antarnegara, khususnya dalam bidang teknologi informasi, sehingga tidak menyisakan celah untuk dimasuki unsur asing yang dapat mengancam kedaulatan dan keamanan negara. Dan, yang paling penting adalah bagaimana segenap komponen bangsa harus dididik untuk memiliki jiwa patriotisme dan nasionalisme yang dibekali wawasan geopolitik yang mumpuni, termasuk geostrategi dan geoekonomi agar tidak mudah terperangkap dalam skema kolonialisme gaya baru.
Penulis Anggota Komisi Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI )
Menyukai ini:
Suka Memuat...