Laporan Serikat News
Selasa, 31 Oktober 2017 - 18:04 WIB
Ilustrasi
Oleh: Rohmatul Izad
Dalam masyarakat kita, kebaikan dan keburukan telah sedemikian terpisah oleh kebiasaan-kebiasaan yang disebut tradisi. Agama sering memiliki peranan yang jauh lebih penting ketimbang yang lainnya, tetapi harus diakui apa yang disebut agama tak lain adalah rangkaian aktifitas dari tindakan masyarakat yang terliput secara sistematis dalam koridor tradisi. Tidak ada yang lebih penting daripada melestarikan dan menjaga tradisi itu dalam kurun waktu yang begitu lama, terwariskan, dan harus bersifat tetap. Masyarakat pada umumnya tidak pernah mengira bahwa sesuatu yang baru itu selalu buruk, tapi dalam ruang lingkup yang lebih sempit apa yang dianggap baru banyak dirasa tidak cocok dengan sistem yang begitu terjaga ini, bahkan pada soal-soal ilmu pengetahuan dan perkembangannya. Nilai-nilai pragmatis sering membatu masyarakat dalam memahami betapa pentingnya hal baru itu, meski yang mereka maksud adalah bahwa ini bukanlah sesuatu yang mereka kira perlu dicurigai dari sisi gelap pengetahuan.
Masyarakat memahami perilaku baik bukan karena ia memang baik, tetapi ada semacam dimensi yang mengendalikan cara kerja tindakan-tindakan moral, mereka sering merujuk pada hal-hal abstrak yang sama sekali tidak terlihat. Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa kebaikan dan keburukan tidak pernah bisa dipertukarkan, ini sama halnya dengan kebenaran yang tidak pernah sekaligus mengandung kesalahan. Tetapi pada taraf yang lebih intens dan hati-hati, relativisme sering menghantui kedua dimensi itu hingga hanya menyisakan jejak-jejak kesalahan yang membuat berpikir kembali tentang nilai pijakan yang seharusnya diterima atau ditolak. Fakta ini lantas tidak serta merta menciderai posisi tradisi itu sendiri, tetapi justru berpikir kembali tentang bagimana nilai penghayatan itu sebegitu melesat dan tidak stabil. Manusia perlu melihat dari berbagai posisi dari keragaman masyarakat di dalam sekaligus diluar dirinya.
Keburukan selalu dipahami sebagai sesuatu yang tidak memiliki kesesuaian dengan realitas, prinsip moralitas mengandaikan bahwa ekspresi penghayatan terhadap hidup menegaskan kecenderungan-kecenderungan yang secara abstrak namun jelas dapat ditetapkan secara tegas bahwa tidak ada jenis keburukan apapun yang dapat mengekspresikan bentuk penghayatan yang seimbang terhadap hidup. Manusia selalu sadar bahwa sikap keburukan selalu saja tidak mengenakkan untuk dirasakan, dasar moralitas ini lahir dari perasaan kolektif terhadap tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang sejak dulu bahkan tidak tau asal usulnya.
Problem mendasar dari asal usul moralitas menjadi topik penting bagi Kant dalam merumusan formulasi tindakan dan bersikap terhadap hidup. Ia benar sejauh pendasaran moral lahir dari formula alamiah manusia dari segala struktur kediriannya. Namun prinsip Kant tidak berhasil dalam menghadapi persoalan hidup yang lebih kompleks ketika ia tidak melulu berkaitan dengan fakta kejujuran dan tanggung jawab yang primordial bagi setiap kewajiban yang harus dipenuhi. Kepedulian terhadap sesama merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki dalam moralitas manusia, ia hadir sebagai cara bagaimana individualitas dapat disatukan dalam satu komunikasi kebudayaan yang intens, Kant bahkan keluar dari mekanisme penghayatan ini. Itu terjadi barangkali karena Kant terlalu banyak memberi wilayah pada aspek-aspek formal dari manusia, tanpa melibatkan secara intrinsik aspek-aspek non-formal yang justru lebih banyak mempengaruhi alam bawah sadar dari sisi moralitas.
Masyarakat kita bahkan tidak banyak peduli terhadap unsur-unsur teoritis dalam aspek moral, mereka menganggap moralitas bukanlah sesuatu yang harus dipikirkan, ia adalah tindakan praktis yang tidak akan pernah menjadi prinsip moral yang tetap ketika ia belum mewujud dalam tindakan. Ciri ini terjadi dalam seluruh kebudayaan manusia di dunia, sebelum pada akhirnya agama dan rasionalitas merevolusi kriteria-kriteria tindakan yang lebih fleksibel dan relevan bagi segala zaman. Dari seluruh potensi kehidupan kita, moralitaslah yang sebenarnya tetap dan tidak banyak mengalami perkembangan.
Di masa akhir sejarah dari kehidupa ini, moralitas justru banyak mengalami kemunduran bukan karena hilangnya posisi nilai dalam dirinya sendiri, tetapi telah sebegitu banyak lahir nilai-nilai baru yang seringkali disejajarkan dengan dasar moralitas. Kepentingan terhadap diri sendiri dalam mengakses proses kehidupan telah mengalihkan dimensi primordial kebaikan menjadi hal remeh temeh yang siap diperjual belikan. Pola hidup hedonis dan konsumeristik banyak mengabaikan kebutuhan di atas gaya hidup yang sama sekali tidak rasioanal. Betapa banyak hal yang tidak kita butuhkan, tetapi ini justru melemahkan insting kepekaan terhadap hidup.
Eksploitasi kepentingan di atas segalanya mencerminkan dekadensi moral dalam masyarakat kita, ini bukanlah satu-satunya kecenderungan masyarakat dalam mengalami peralihan mendasar moralitas mereka. Sisi yang paling gelap dari rasa dekaden ini adalah bahwa masyarakat kita tampaknya telah dan akan menuju pada situasi zaman yang sampai detik ini dapat diprediksi kemungkinan-kemungkinan di masa mendatang. Secara keseluruhan boleh dikata bahwa agama banyak mengalami kebangkitan yang universal, setelah sebelumnya hanya menjadi fenomena pinggiran yang cenderung tertutup dan menjaga jarak dari tradisi modernitas. Tetapi faktanya, kebangkitan agama ini sama sekali tidak memberikan inspirasi yang meyakinkan ketika pada saat yang sama modernitas mulai banyak mengikis dasar-dasar tradisi, justru yang lahir adalah fanatisme brutal yang bahkan tidak menemukan pembenaran historisnya terhadap misi kebenaran yang mereka perjuangkan.
Moralitas kaum dekaden tampaknya lebih banyak diwarnai kaum fanatis ini, meski sebenarnya ini adalah misi suci dari pencapain kedaulatan Tuhan, tapi Tuhan yang mana, perjuangan keras terhadapnya justru tidak menemukan kesesuaian dari nilai-nilai kekinian yang mulai menjadi pegangan. Tuhan sering kali tidak mendapat tempat bagi perjuangan moralitas yang begitu intens dari kaum-kaum tertentu, moralitas pada akhirnya bukanlah sesuatu yang dapat ditentukan secara tegas tentang aspek kepastiannya dalam tindakan. Kebaikan dan keburukan bukanlah sesuatu yang tegas terbedakan sebagaimana anggapan kaum moralis, ia begitu partikular dan betapa banyak kedua hal ini saling dipertukarkan di atas kepentingan dan rasa suka yang berlebih-lebihan.
*Penulis Adalah Magister Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada & Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitu Hikmah Krapyak Yogyakarta
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan
Penulis: Gloria Rigel Bunga (Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia) KITA pasti suka bertanya-tanya, untuk apa ya sebuah perusahaan atau organisasi sering