Tulisan ini dipersembahkan untuk jiwa para pahlawan korban kediadaban Teroris di Mako Brimob dan korban bom di Gereja Katolik Surabaya pada pagi ini.
Radikalisme, berakar kata radic, yang berarti “akar”=dasar. Secara epistemologi (teori pengetahuan), berpikir radikal berarti berpikir secara mendalam, tentang dasar” dari segala sesuatu, termasuk pengetahuan.
Tetapi, dalam konteks politik dan sosiologi, radikalisme merujuk pada gerakan sosial politik yang mengklaim diri sebagai pemikiran yang kebenaran prinsip”nya tidak boleh dibantah, menjadi doktrin/dogma, dan harus diperjuangkan secara radikal, revolusioner. Terutama dalam kaitan dengan pemikiran agama, radikalisme ini mendapat tempat.
Konsekuensinya adalah sangat sulit membangun dialog antaragama berlandaskan pemikiran ini. Paham radikalisme, juga sulit berdialog dengan paham manapun, termasuk filosofi negara-bangsa. Karena: bagi mereka, tidak ada kebenaran selain milik mereka, dan karena itu semua orang harus mengikuti paham kebenaran yang mereka ajarkan.
Akan tetapi, secara sosiologis, terutama sosiologi pengetahuan, radikalisme tidak dapat dibenarkan, karena pengetahuan pada dasarnya mengalami perkembangan.
Kebenaran bisa ditemukan pada banyak ilmu, entah itu alam, sosial, humaniora, maupun teologi. Kebenaran tidak bersifat fix, tetapi selalu terbuka untuk dikoreksi kembali. Karl Popper mengatakan, sesuatu bisa dikatakan benar dan ilmiah kalau dia terbuka untuk dibuktikan salah.
Sedangkan Terorisme, merupakan perwujudan dari radikalisme. Radikalisme yang menggunakan teror atau kekerasan, itulah terorisme. Terorisme adalah konsekuensi logis dan praktis dari radikalisme.
Soekarno memahami dengan benar cara menghadapi radikalisme juga terorisme, dalam mempertahankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Soekarno kenal betul siapa Kartosuwiryo, maklum keduanya adalah alumni ‘kawah candradimuka’ bareng kost di rumah HOS Tjokroaminoto, sekitar tahun 1920. Dalam perjalanan keduanya berseberangan.Pada tahun 1950 Kartosuwiryo memproklamirkan negara Islam indonesia di Cisayong Tasikmalaya. Gerakannya kemudian dikenal sebagai DI/TII (darul Islam – tentara Islam indonesia), Soekarno jeli, gerombolan DI/TII itu didukung parpol Masyumi, parpol kedua terbesar setelah PNI.
Soekarno bertindak tegas, Masyumi dibubarkan, pemimpin dan elitnya dijebloskan kepenjara dengan dalil, mendukung gerakan pemberontakan.
Tahun 1962, setelah 12 tahun memberontak gerombolan DI/TII ditumpas. Kartosuwiryo di eksekusi setelah diadili melalui pengadilan MAHADPER, Mahkamah Darurat Perang, gegeduk- gegeduk di dikenakan wajib lapor sebulan sekali ke KODAM Siliwangi, cecere- cecerenya dikenakan wajib lapor sebulan sekali ke KODIM.
Mereka bisa dikatakan sudah ‘tiarap’, namun sekitar 1966 – 1967, ketika Soekarno digulingkan, kelompok yang sudah tiarap itu dibangunkan dan diundang berkumpul di jalan situ aksan bandung oleh ‘opsus’, ditawari untuk ‘berpartisipasi’ melakukan pembersihan sisa- sisa kekuatan G30S.
Inilah momentum yang dijadikan step stone kebangkitan harapan kembali mendirikan negara Islam, apalagi saat itu ada janji akan menghidupkan kembali Masyumi.
Selama pemerintahan Suharto, semangat bangkit kembali itu ‘dipatahkan’ dengan kebijakan ‘coercent’ tindakan represive militer. Setiap embrio gerakan ‘dilenyapkan’ tanpa pengadilan.
Setelah Suharto tumbang, memasukki era reformasi semangat mendirikan Neo DI/TII, kembali dimunculkan meski masih secara tersamar, ketika fenomena ISIS lah, dengan istilah membangun negara ‘khilafah’. Neo DI/TII mulai berani terang-terangan muncul dan mengibarkan bendera keberadaannya.
Situasi yang dihadapi Soekarno pada era penghujung tahun 50’an sampai pertengahan 60’an, mirip, serupa dan sama dengan Jokowi.. ’terjepit’ antara tekanan Jenderal-Jenderal ambisius, dan gerakan separatis Islam radikal. Situasi yang dimanfaatkan PKI untuk ‘mendekati’ Soekarno, dan membesarkan partai kiri tersebut.
Secara kasat mata, kita bisa melihat bagaimana saat ini terlihat adanya ‘samen werken’ yang dilakukan secara terang-terangan antara ‘Neo Generale ambisius’ berkonspirasi dengan kebangkitan kelompok yang terang-terangan ingin mengganti ideologi negara, dan membentuk negara khilafah, terang- terangan memakai simbol bulan bintang, simbol DI/TII gerombolan Kartosuwiryo.
Soekarno tidak mempergunakan ‘pengadilan biasa’ guna mengadili Kartosuwiryo. Soekarno membentuk MAHADPER. MAHADPER ini dibentuk dan dibubarkan hanya untuk memberikan hukuman bagi Kartosoewirjo, tidak lebih dari itu.
Menarik untuk disimak sebuah kejadian di akhir-akhir persidangan dimana MAHADPER memutuskan eksekusi mati terhadap diri Kartosoewirjo, adalah upaya dari pihak keluarga Kartosoewirjo dalam hal ini diwakili oleh anak-anaknya, meminta kepada pihak pengadilan untuk menyaksikan eksekusi.
Namun dari pihak MAHADPER setelah berkonsultasi dengan Presiden Soekarno tidak mengabulkan permintaan tersebut. Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusuma telah memerintahkan untuk melaksanakan keputusan MAHADPER dan menyusun regu tembak yang terdiri dari keempat angkatan.
Menurut pengadilan MAHADPER dalam sidang ke 3 pada tanggal 16 Agustus 1962 telah terbukti, bahwa segala daya usaha yang telah dilakukan selama kurang lebih 13 tahun oleh Kartosoewirjo dengan mendirikan dan memperjuangkan Negara Islam Indonesia (DI/TII) itu adalah rencana makar yang bertujuan akan menggulingkan pemerintahan RI yang syah.
Dan pengadilan menyatakan, bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah “pemberontakan”. Disamping itu, bahwa dia telah memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengadakan aksi pembunuhan terhadap diri Presiden Soekarno. Oleh karena itu ketua sidang mengumumkan keputusan Mahkamah, yaitu hukuman mati atas terdakwa Kartosoewirjo.
Ketika Kartosoewirjo ditawarkan untuk mendapatkan “pengampunan” (amnesti) kepada Presiden Soekarno, dengan tegas dan tenang ia mengatakan: “Saya tidak akan pernah meminta ma’af kepada Soekarno. Secepatnya laksanakan hukuman yang sudah Bapak Hakim Terhormat putuskan.
Tidak urung konflik bathin dan pesan moral yang tinggi menyelimuti ‘peperangan’ melawan teman satu ‘kost’ itu. Bagaimana ketika seorang putra harus tega menghabisi nyawa pamannya. Bagaimana ketika seorang adik harus tega menghabisi nyawa kakaknya. Wejangan-wejangan Bathara Kresna kepada Arjuna agar menegakkan dharma kesatria, bahkan diabadikan dalam Kitab Bhagawad Gita.
Tak terkecuali ketika Bung Karno harus membunuh sahabat karibnya sendiri, saudara seperguruan, teman seperjuangan, Kartosoewirjo. Sebab, pengadilan memang memutuskan hukuman mati baginya. Bung Karno selaku Presiden harus menandatangani berkas vonis mati bagi kawannya.
Keesokan hari, manakala di antara berkas yang harus ditandatangani bertumpuk di atas meja kerja, dan ia dapati kembali berkas vonis mati bagi Kartosoewirjo, ia pun menyingkirkannya.
Begitu berulang-ulang, hingga klimaksnya Bung Karno begitu frustrasi dan ia lempar berkas vonis tadi ke udara dan bercecer di lantai ruang kerjanya.
Adalah Megawati sang putri, yang secara khusus dipanggil pulang dari Bandung. Kepada sang ayah, Megawati bertutur laksana Kresna kepada Arjuna. Ia menggambarkan luhurnya hakikat pertemanan sejati. Megawati pula yang menyadarkan sang ayah, agar menepati dharmanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan serta tidak mencampur-adukkan antara hakikat persahabatan dengan tugas dan fungsinya sebagai kepala negara.
September 1962, terpekur lama Bung Karno di meja kerjanya. Ia melambungkan memori masa muda di Surabaya, saat berasyik-ceria menebar canda bersama Kartosoewirjo. Ia mengingat hari-hari pergerakan menentang penjajahan Belanda maupun Jepang bersama-sama. Ia terngiang diskusi-diskusi politik, agama, kebangsaan dan apa saja yang begitu hangat.
Hari itu, ia harus menggoreskan tanda tangan di atas berkas vonis. Coretan tanda tangannya, sama arti dengan akhir dari kehidupan Kartosoewirjo. Ia pandangi kembali selembar foto Kartosoewirjo. Ia tatap berlama-lama, sambil berlinangan air mata. Dan benar adanya, ketika ia menerima laporan ihwal tertangkapnya Kartosoewirjo beberapa bulan sebelumnya, satu pertanyaan Bung Karno adalah, “Bagaimana matanya?” Aku berharap masih memancarkan jiwa seorang pejuang.
Soekarno menegarkan hatinya untuk menandatangani berkas vonis mati bagi rekan seperguruan sesama murid Oemar Sahid Tjokroaminoto sang Mentor sang Guru semua Pejuang.
Keberanian ketegasan tanpa kompromi juga terhadap gejolak batin sendiri.
Bila hal demikian ini oleh pemimpin bangsa tidak dapat dilakukan, maka akan membuat perjalanan perjuangan bangsa menjadi tersendat-sendat hingga akhirnya tidak lagi memiliki kewibawaan sehingga muncul berbagai hoax sampai aksi-aksi pengerahan massa.
Catatan mengenai HAM, Dimana harus mampu memisahkan dan memilah segala bentuk penilaian maupun kebijakan demi keutuhan bangsa dan negara .
HAM lahir karena perang dunia I dan II. Itu konteks historis dan politiknya. Tujuannya perlindungan terhadap hak” dasar sebagai manusia yaitu Hak hidup, hak sipil politik, hak ekonomi, hak budaya, hak beragama.
Maka,semua tindakan yang menghilangkan HAM tanpa alasan mendasar adalah pelanggaran HAM.
Terorisme itu melanggar HAM. Karena itu, pembelaan terhadap terorisme itu adalah pelanggaran HAM. Dalam kerangka membela diri dari terorisme, dan dalam perlindungan terhadap HAM, maka hukuman mati terhadap teroris bukan pelanggaran HAM.
Semoga Presiden Jokowi tegas seperti Sukarno. Pemerintah yang sah bisa jatuh kalau tidak tegas. Negara bisa hancur! No excuse for khilafah! No compromise for terorism and radicalism!
Kita tidak membela doktrin/dogma. Kita membela kebenaran, pengetahuan yang selalu terbuka untuk berdialog dan dikoreksi oleh kebenaran yang lain, yang baru. Dan kebenaran mengabdi kepada kemanusiaan.
Oleh karena itu, setiap aliran yang anti kebenaran seperti radikalisme/terorisme tidak menghargai HAM/kemanusiaan, karena penyangkalannya terhadap kemanusiaan, maka ia tidak pantas dan tidak layak untuk dihidupi, apalagi dalam konteks negara Indonesia yang plural.
Pancasila bukan doktrin/dogma: bukan ajaran Teologi. Pancasila adalah filosofi negara-bangsa Indonesia. Pancasila semacam panduan hidup bernegara sesuai konteks Indonesia. Pancasila sebagai ideologi terbuka, artinya nilai”nya perlu dan harus dikontekstualkan dalam situasi lokal di berbagai daerah di Indonesia.
Negara tidak boleh kalah terhadap radikalisme/terorisme karena negara ada untuk kemanusiaan, untuk kehidupan, dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya.
Tentunya juga dalam perang melawan teror yang tiada hentinya. Peran serta lembaga intelijen pemerintah baik BIN, BAIS serta lembaga terkaitnya sangat diperlukan dalam mendeteksi serta pencegahan terhadap kelompok radikalis sebelum menjadi tindakan berbahaya bagi keamanan rakyat dan negara khususnya. Mengingat bahwa selama ini menjadi pertanyaan besar akan peran intelijen dalam situasi asimetris yang semakin transparan geraknya.
Menyukai ini:
Suka Memuat...