Dalam konteks agama, faedah dan fungsi utama niqob (cadar) adalah sebagai penyempurna “satrul aurot” sebagaimana pendapat dari qoul yang menyepakati bahwa wajah wanita adalah salah satu pemicu bangkitnya syahwat laki-laki sehingga menjadi fitnah bagi perempuan. Sebagian ulama dari madzaib arba’ah (madzhab 4) menganjurkan bahkan beberapa mewajibkan wanita mengenakan niqob jika dikhawatirkan menimbulkan madhorot apabila wajah wanita tampak.
Namun di sisi lain, kontekstualisasi hukum syari’at ternyata tidak bisa lepas begitu saja dari intervensi budaya yang meliputi kondisi geografis, norma, tradisi dan karakter masyarakat di mana hukum syari’at itu dilahirkan. Beberapa pendapat tokoh Islam moderat bahkan mengatakan bahwa hukum syari’at merupakan produk yang lahir dari pabrik budaya setempat di mana hukum itu dilahirkan, sehingga ia bisa saja menjadi berbeda ketika diputuskan di tempat atau daerah yang berbeda dengan kearifan lokal yang berbeda.
Seperti halnya pelaksanaan pembayaran “zakat” yang mana di negara Arab zakat dibayar menggunakan kurma dan gandum sesuai hadis “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi hamba dan yang merdeka, bagi laki-laki dan perempuan, bagi anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar zakat tersebut ditunaikan sebelum manusia berangkat menuju salat ‘ied,” Muttafaqun ‘alaih (HR. Bukhari No. 1503 dan Muslim No. 984). Namun ternyata hal tersebut tidak bisa dipraktikkan di semua negara, di Indonesia misalnya, tidak mungkin membayar zakat dengan kurma lantaran kurma bukanlah makanan yang tumbuh di Indonesia. Di Indonesia zakat dibayar menggunakan beras, berdasarkan pada pengambilan hukum melalui metode Qiyas atau penyatuan perkara dengan mengambil “makanan pokok” sebagai illat hukum, yang mana makanan pokok di Indonesia adalah Beras.
Jika perumpamaan itu ditarik dalam konteks hukum berpakaian, dalil umumnya adalah “perintah wajibnya menutup aurat”, sementara ulama berbeda pendapat (ikhtilaf) berkaitan dengan definisi dan batasan aurat itu sendiri. Syafi’iyyah membatasi aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, menurut Hanabilah adalah seluruh tubuh kecuali muka, sementara Malikiyah masih memberi klasifikasi terhadap aurat yakni berat dan ringan, adapun aurat yang berat adalah seluruh badan kecuali tepi kepala, kedua tangan dan kedua kaki. Sementara menurut pendapat yang paling rajih dari Hanafiyah, aurat wanita adalah di seluruh anggota tubuh hingga sampai rambutnya yang terurai, kecuali muka, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki. Semua pendapat mengecualikan “wajah” sebagai aurat. Maka mayoritas ulama terkait penggunaan cadar/niqob pada wanita hanya sebatas “dianjurkan”. Adapun hukum ini masih terus diperinci sampai dalam kondisi apa perempuan dianjurkan tertutup dan dalam kondisi apa diwajibkan terbuka. Artinya hukum penggunaan cadar sangat fleksibel dan bergantung pada fungsi dan tujuannya.
Sementara jika dilihat dari sisi sosio-budaya, “anjuran” itu bisa saja disebabkan karena wanita-wanita di negara saudi, middle east memiliki wajah yang sangat menarik dengan kontur hidung dan bibir yang proporsional sehingga kecantikanya sangat berpotensi menjadi fitnah, ditambah kondisi geografis dan iklim yang panas berdebu, juga pandangan sosial kaum wanita di mata laki-laki yang berkaitan dengan norma yang berlaku menjadi serangkaian alasan mengapa para ulama terdahulu menganjurkan wanita menggunakan niqob.
Poin-poin tersebut di atas mungkin tidak begitu menjadi alasan kuat jika dibawa ke negara dengan kondisi kultur dan geografis yang extreme-less seperti di Indonesia. Sebab secara sosio-kukltur yang berlaku wajah wanita bukan sesuatu yang tabu untuk dilihat dan tidak identik sebagai sesuatu yang mengganggu atau melanggar norma. Atau dengan kata lain boleh jadi fungsi niqob tidak begitu berlaku di Indonesia. Bahkan niqob kerap kali identik dengan kelompok-kelompok tertentu yang cenderung simbolis, eksklusif bahkan ekstrimis sehingga fungsi niqob justru terdegradasi dari tujuan agama yang sebenarnya.
Yang jelas, tidak ada kewajiban mutlak bagi wanita untuk menggunakan niqob, dalam beberapa kondisi berniqob boleh jadi lebih baik, atau bahkan tidak lebih baik, tergantung sejauh mana fungsi dan tujuan utama niqob itu berlaku. Sebab pada akhirnya diskursus panjang tentang agama dan budaya tidak akan pernah habis, karena budaya tidak pernah bisa disebut agama namun beragama tidak mungkin tidak melibatkan budaya.