Berdasarkan kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2018 menyebutkan bahwa adanya regulasi tumpang tindih dan ego sektoral institusi menjadi faktor penghambat terbesar lambatnya pertumbuhan ekonomi. Memandang hal itu, pemerintah berupaya melakukan upaya yang cepat dengan merampingkan atau menyederhanakan regulasi yang saat ini berbelit dan panjang. Adapun upaya pemerintah dengan memakai konsep yang baru dikenal di Indonesia yaitu dengan Omnibus Law. Secara harfiah, kata Omnibus berasal dari bahasa latin Omnis yang berarti banyak dan lazimnya dikaitkan dengan sebuah karya hasil penggabungan beragam genre. Di dalam Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A. Gerner disebutkan Omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once; inculding many thing of having varius purposes.
Menyesuaikan dengan defenisi tersebut, jika dikontekskan dengan UU maka dapat dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebgai kebijakan tertentu, tercantum dalam berbagai UU ke dalam satu UU payung. Omnibus Law adalah suatu konsep atau teknik sebagai tradisi yang dianut oleh negara-negara Common Law, seperti Amerika Serikat di tahun 1840. Awalnya istilah Omnibus Law digunakan oleh orang-orang sastra bukan orang hukum, sebagaimana orang-orang sastra menyebutkan dalam hal penyatuan karya sastra mereka menjadi satu seperti novel, cerpen dan karya sastra lainnya. Konsep Omnibus Law telah dipraktikkan di Amerika Serikat pada tahun 1840.
Apabila di analisis kembali bahwa Omnibus Law sebagai teknik atau konsep untuk menyederhanakan berbagai aturan dapat menjadi salah satu jalan keluar guna menghadirkan regulasi yang sederhana dan mudah. Tetapi nyatanya konsep Omnibus Law dijadikan sebagai jalan pintas pemerintah karena tidak mampu merevisi atau menyusun peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan lagi. Bukannya memberikan solusi, malah menimbulkan kontroversi atas hadirnya konsep tersebut. Menjadi persoalan jika berdasarkan teori hukum atau mahzab positivisme hukum konsep Omnibus Law merupakan sebuah pelanggaran terhadap UU Nomor 11 tahun 2012. Karena dalam positivisme, hukum disebutkan adanya mekanisme dalam peraturan perundang-undangan yaitu pencabutan dan perubahan.
Optimisme pemerintah guna menghadirkan investasi yang lebih besar ke Indonesia dengan menyederhanakan regulasi dianggap baik, tapi sayangnya menabrak segala aturan yang sudah ada. Baiknya jika memang menerapkan Omnibus Law terlebih dahulu melakukan revisi terhadap UU No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Apabila tidak direvisi, maka harus mengacu kepada isi ketentuan, apakah bersifat umum atau detail seperti UU biasa. Jika bersifat umum, maka tidak semua ketentuan yang dicabut melainkan hanya yang bertentangan saja. Tetapi jika ketentuannya umum, akan menjadi soal jika dibenturkan dengan asas lex spesialis de rogat legi generalis (aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum).
Perselingkuhan Penguasa dengan Kapitalis
Dilihat dari perjalanannya, penyederhanaan regulasi dengan teknik Omnibus Law juga menjadi persoalan sebagaimana terdapat pada RUU Cipta Kerja sebagai proyeksi daripada konsep tersebut. Apabila diperhatikan secara ekonomi-politik pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja, kepentingan ekonomi sangat mendominasi sehingga menimbulkan adanya penetrasi terhadap sub-sistem yang ada. Dominasi ekonomi yang ada merupakan wujud dari sistem kapitalisme yang ingin merambah ke sistem-sistem lainnya termasuk kepada sistem hukum. Adanya upaya untuk memasuki segala sub-sistem kehidupan masyarakat merupakan strategi baru kapitalisme atau new-kapitalisme untuk menguasai lini sentral yang paling dianggap memberi keuntungan sebesar-besarnya.
Fakta yang terjadi saat ini bahwa new-kapitalisme sangat terang-terangan memasuki sistem yang ada. Para kapitalis melihat bahwa untuk menguasai lini sentral dan objek vital diperlukan peran penting yang harus dirangkul, salah satunya adalah penguasa. Di samping itu juga, kaum kapitalis menilai bahwa dengan mendekatkan diri kepada penguasa, maka akan semakin memudahkan untuk menguasai segala sumber yang ada. Sehingga tak lagi menciptakan rasa keadilan yang selama ini ingin diwujudkan.
Pada proyeksinya bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan hasil dari perselingkuhan antara penguasa dengan kapitalis. Hal itu dapat dilihat dari perumusan yang hanya melibatkan kaum kapitalis, sementara dalam lingkaran penguasa sudah bercokol dan menyamar kaum kapitalis lainnya yang telah siap untuk mengobok-obok sumber-sumber vital bangsa Indonesia melalui regulasi atau aturan hukum. Regulasi yang seharusnya menghadirkan ruang kepastian dan keadilan bagi semua warga negara tanpa terkecuali kini hanya sebatas teori saja. Pada praktiknya aturan yang benar disalahkan dan aturan yang salah dibenarkan dengan merevisi peraturan perundang-undangan guna kepentingan kaum kapitalis.
Di sisi lain juga bahwa dengan RUU Cipta Kerja yang digagas oleh pemerintah tujuan utamanya untuk membuka kran investasi yang sebesar-besarnya guna peningkatan perekonomian Indonesia. Hal itu dapat dilihat pada konsideran RUU Cipta Kerja sebagai ruhnya. Namun pemerintah keliru, dengan lebih mengutamakan investasi yang besar sehingga menyampingkan aspek lainnya seperti kondisi lingkungan, HAM dan lainnya. Sebagaimana pernyataan Presiden Ir. Joko Widodo saat diwawancarai bahwa yang lebih diutamakan itu adalah terbukanya kran investasi untuk menuju ‘Indonesia Maju’ dan urusan HAM dapat diselesaikan nanti.
Sangat jelas bahwa dengan adanya perselingkuhan antara penguasa dengan kapitalis akan sangat membahayakan karena adanya peluang yang sangat besar untuk mengambil kesempatan dan keuntungan melalui penyederhanaan regulasi. Yang mesti harus diketahui bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja menyatukan 81 UU dan 1224 Pasal yang akan diubah, ditambah dan dihapuskan. Melihat fakta yang terjadi bahwa konsideran sebagai ruhnya UU sedemikian bagus tujuan dan sasarannya. Akan tetapi, jauh dari yang diharapkan bahwa konsideran yang terdapat di RUU Cipta Kerja sangat bertabrakan dan menimbulkan kontroversi. Dinilai bahwa RUU Cipta Kerja jauh dan tidak mencerminkan daripada nilai-nilai dasar pada Pancasila. Hanya karena ingin cepat selesai tapi menabrak segala aturan yang ada. Hal inilah yang menjadi dampak dari perselingkuhan penguasa dan kapitalis, yakni tidak terciptanya keadilan dan jauh dari cita-cita proklamasi 17 agustus 1945.
Hantu Bagi Rakyat
Pemerintah seakan-akan mengelabui masyarakat dengan membangun narasi-narasi melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja, jika masyarakat awam menilai bahwa itu adalah upaya pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja. Namun nyatanya tidak seperti itu, yang ada menjadi celaka bagi masyarakat dan menimbulkan persoalan yang lebih drastis dibandingkan sebelumnya. Tak dapat dipungkiri bahwa pembaharuan dan perbaikan hukum sangat diperlukan, namun apabila perbaikan hukum itu tidak mengacu pada keadilan, kepastian dan kemanfaatan lebih baik pembaharuan itu tidak perlu dilakukan. Justru semakin memperkeruh ketimpangan yang terjadi di masyarakat.
Kehadiran Omnibus Law RUU Cipta Kerja dinilai sangat mendominasi keuntungan terhadap kaum kapitalis, tapi menjadi hantu bagi rakyat yang akan memberikan rasa takut dan tidak ada jaminan kesejahteraan yang selama ini dicita-citakan. Banyaknya pasal-pasal yang diubah sangat berpotensi merugikan kepentingan rakyat. Narasi yang dibuat penguasa guna menghadirkan investasi dan menciptkan lapangan kerja baru hanyalah ilusi terhadap rakyat yang saat ini semakin melarat dan termarjinalkan. Peraturan perundang-undangan yang sebelumnya tidak memberikan solusi dan masih mencekik hajat hidup rakyat kini semakin parah melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut. Diprediksi akan semakin menambah ketimpangan dan diskriminasi terhadap rakyat terutama beberapa tahun terakhir ketimpangan dan sengketa antara masyarakat dengan penguasa dan elite kapitalis semakin meningkat.
Berdasarkan hal itu, maka dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja terdapat beberapa poin sentral yang menjadi momok perhatian sehingga dianggap menjadi hantu bagi masyarakat. Di antaranya persoalan lingkungan yang dihapuskannya izin lingkungan dan diganti dengan perizinan berusaha yang berbasis resiko. Perizinan berusaha tersebut diberikan berdasarkan tingkat resiko rendah, menengah dan tinggi serta ukuran resiko hanya dipandang berdasarkan kondisi kesehatan, ekonomi, dll. Kemudian partisipasi masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAL hanya terhadap masyarakat yang relevan terkena dampak langsung. Sehingga dalam hal ini terdapat pembatasan masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAL.
Selanjutnya, dokumen AMDAL tidak lagi menjadi dasar penetapan izin lingkungan, tetapi hanya dijadikan sebagai dasar pertimbangan UPL-UKL sehingga dinilai akan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yrang drastis. Lalu, penegakan hukum lingkungan lebih diutamakan sanksi administratif sedangkan sanksi pidana dikembalikan menjadi ultimum remedium, itupun sanksi pidana hanya berupa denda yang memiliki batasan maksimal. Seharusnya yang dibatasi itu adalah besaran denda minimalnya yang dinilai akan berpotensi akan melanggengkan para korporasi perusak lingkungan dengan mudahnya terlepas daripada sanksi yang membuat efek jera.
Kemudian dihapuskannya kewenangan gubernur, bupati/walikota dan diambil alih oleh Pemerintah Pusat akan mengembalikan sistem pemerintahan dari desentralisasi menjadi sentralisasi, atau dengan berkurangnya kewenangan pemerintah daerah/kabupaten kota seakan-akan menjadi sistem menjadi sentralisasi-desentralisasi di bawah kontrol sentralisasi. Hal tersebut akan memberi dampak buruk bagi rakyat, sehingga desa sebagai wilayah paling sentral akan dengan mudahnya diobrak-abrik oleh kaum kapiltalis (investor). Masyarakat desa akan dirugikan oleh Omnibus Law, yang tujuannya untuk mendorong investasi tapi malah menabrak segala hierarki dan aturan. Kemudian dengan kehadiran Omnibus Law ini diprediksi akan menimbulkan potensi kerusakan lahan gambut yang sangat tinggi, karena para kapitalis semakin longgar untuk membabat lahan gambut. Akibatnya upaya penyelamatan gambut hanya sebagai asumsi dan kesia-siaan.
Apabila diuraikan secara rinci banyak aturan pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang menjadi polemik karena tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Dengan demikian, pemerintah harus mengkaji ulang aturannya dan lebih membuka ruang yang besar terhadap kepentingan rakyat akan kesejahteraannya. Pemerintah seharusnya memberikan aturan yang memberikan kemanfaatan yang besar sebagai tujuan daripada aturan atau hukum. Mengacu pada mahzab utilitarianisme yang mendasarkan diri pada kemanfaatan sebagai tujuan hukum, karena kemanfaatan adalah suatu kebahagiaan. Baik-buruknya, adil atau tidak adilnya hukum itu bergantung kepada sejauh mana hukum memberikan kebahagiaan atau tidak. Jika merujuk pada mahzab tersebut, hadirnya Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak mampu memberikan kemanfaatan berupa kebahagiaan terhadap masyarakatnya. Justru sebaliknya menimbulkan rasa ketakutan atas setiap kebijakan dan regulasi yang memangkas hak-hak masyarakat dan mendiskrimasi dengan aturan-aturan yang dihadirkan.
Dengan segala dampak yang akan terjadi, dipastikan kehadiran Omnibus Law RUU Cipta Kerja bukanlah suatu bentuk keberpihakan kepada masyarakat, melainkan wujud nyata perselingkuhan antara penguasa dan kapitalis dengan mengambil peluang untuk menguasai objek vital dan sumber-sumber penghidupan masyarkat. Penindasan akan semakin terus terjadi, dan kondisi kehidupan masyarakat akan semakin menurun drastis hingga pada suatu masanya nanti rakyat akan kehilangan harapan hidup, bukannya menjadi tuan tapi malah menjadi budak di nya sendiri, sedangkan kapitalisme akan subur mengakar dan berjaya di tanah jajahannya. Karena sejatinya perselingkuhan antara penguasa dan kapitalis akan melahirkan anak haram bagaikan hantu yang menakutkan rakyatnya. Maka untuk mengantisipasi hal demikian diperlukan suatu antitesa baru untuk melawan kapitalisme agar tidak semakin mengakar dalam segala lini kehidupan masyarakat.
- Wakabid Politik, Hukum, dan HAM DPC GMNI Pekanbaru
- Putra Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan
Menyukai ini:
Suka Memuat...