Laporan Serikat News
Selasa, 9 Mei 2017 - 17:46 WIB
Oleh Ristadi*
Persoalan buruh dari dulu sampai sekarang, soal isu-isu klasik saya kira sudah biasa diekspose, seperti Jamsos, PP 78 Pengupahan, Outsorsing, dan Union Busting. Ada yang lebih serius dalam membahayakan eksistensi gerakan serikat pekerja, yaitu soal gerakan anti serikat pekerja. Data Buruh/Pekerja Indonesia sampai Februari 2017 skitar 47,42 juta orang (BPS), ini harus menjadi perhatian khusus bagi Serikat Buruh di Indonesia.
Selain itu, pendataan anggota serikat pekerja di Kemenaker tahun 2016 sekitar 2,7 juta, terlepas akurat tidaknya data tersebut, tapi data inilah yang sekarang menjadi acuan. Dengan demikian hanya sekitar 5% saja pekerja/buruh berserikat tahun 2012. Sedangkan data berserikat masih sekitar 3,8 jt pekerja. Artinya menurun 1,1 juta dalam waktu 3 tahun kalau kondisinya seperti ini terus, bisa dikhawatirkan 15 tahun yang akan datang akan habis pekerja yang berserikat.
Gerakan serikat pekerja akan tinggal dongeng saja,menurunya buruh berserikat karena ada beberapa faktor : pertama masih ditakut-takuti oleh pengusaha/manajemennya. Yang kedua Penyebaran berita bahwa gerakan serikat pekerja adalah melawan pemerintah dan dicap sebagai pemberontak. Ketiga Kesadaran buruh masih rendah tentang pentingnya berorganisasi. Keempat gerakan serikat dijauhkan dari ring politik, sehingga selalu terpinggirkan, dan terdiskriminasi. Kelima tampilan serikat pekerja atau pimpinan serikat yang dianggap monoton dan mengecewakan. Keenam adanya kekecewaan buruh antara harapan dan kenyataan berbeda saat jadi anggota serikat.
Point trakhir cukup menarik, karena buruh berharap serikat seperti Parpol/Pejabat, yang mampu putuskan kebijakan Politik (UU/PP/Kepmen) atau pejabat yang memutuskan upah minimum yang lebih menarik tapi aneh lagi adalah, buruh berharap serikat mampu berfungsi politis bagai Parpol, tapi ketika serikat bersikap politik, buruh berkomentar ‘serikat jangan berpolitik lah’ kan aneh. Sementara buruh sendiri saat Pemilu masuk bilik suara dan memilih Parpol tertentu untuk diberikan mandat hak politik.
Tapi pernahkan buruh menanyakan kepada Parpol yang dipilihnya dibilik suara sejauh mana perjuangan politik Parpol tersebut untuk buruh. Buruh lebih suka menanyakan kepada serikat pekerja Kenapa Undang2 ini, PP. itu kok merugikan buruh?? dimana perjuangan serikat?? Padahal itu semua kebijakan Parpol melalui anggota DPR nya atau pejabatnya.
Tapi itulah kondisinya sekarang. Akhirnya, buruh menuding serikat pekerjalah yang tidak becus berjuang. Buruh lupa dengan parpol yang mempunyai kekuasaan politik yang menentukan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka buruh akan terus menerus enggan dan keluar dari serikat pekerja. Maka habis dan rontoklah eksistensi gerakan serikat pekerja kedepan Sekarang, dengan peta jumlah seperti tsb diatas, 47,42 juta dibanding 2,7 juta, secara politis dan legitimasi gerakan akan diremehkan lawan-lawan serikat pekerja.
Maka dari itu, pantas serikat pekerja dipusat sering demo tidak digubris, atau ancam mogok nasional cuma ditertawakan. Inilah yang menjadi konsen saya untuk pembenahan kedepan. Gerakan selanjutnya saat keanggotaan meningkat adalah gerakan politik dengan kondisi jumlah anggota seperti sekarang ditambah dengan ego masing-masing, rasanya masih sulit untuk memajukan gerakan menjadi gerakan politik.
*Penulis adalah Ketua Umum DPN/Vice President KSPN.
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan