Oleh: Robiatil Hurriyah (Mahasiswi PAI STIT Al-Ibrohimy)
Di era digitalisasi yang sudah sangat canggih, teknologi komunikasi dan informasi sudah berkembang begitu pesat. Namun, logika mistika atau pemikiran yang berbau hal-hal ghaib, supranatural, dan takhayul masih membelenggu pola berpikir manusia.
Logika mistika dikenal sebagai cara atau proses berpikir yang terkungkung pada hal-hal mistis saja. Seseorang menganggap segala sesuatu terjadi karena pengaruh roh atau hal-hal gaib. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Tan Malaka yang merupakan bapak Republik Indonesia dalam bukunya yang berjudul Madilog, pada tahun 1943.
Tidak bisa dipungkiri, kepercayaan akan hal mistis dapat menutup pintu kemerdekaan berpikir seseorang. Mereka tidak berusaha berpikir logis dan terus membiarkan nalar kritisnya terpenjara tanpa mencari kebenarannya. Tak ayal, hal itu menjadi batu hambatan terbentuknya ide-ide kreatif dan terciptanya sebuah solusi dari suatu masalah.
Walau demikian, faktanya kita begitu naif akan hal tersebut, tidak bisa dipungkiri mau dijajah oleh sempitnya sistem berpikir kita sendiri. Ini yang Benjamin Samuel Bloom sebut sebagai kerangka berpikir yang salah. Karena sering kali, kita melewatkan beberapa trik atau proses berpikir yang benar, sesuai dengan teorinya yang dinamakan Taksonomi Bloom 1950.
Sejatinya, adanya logika mistika yang mendarah daging membuat kebanyakan masyarakat sampai saat ini masih percaya pada takhayul, dukun, benda-benda sakral, dna sesajen. Bahkan, mereka menganggap segala sesuatu yang terjadi ada campur tangan nenek moyang dan lain sebagainya.
Contohnya, kejadian yang beberapa waktu lalu ketika penulis menjenguk bayi yang baru lahir. Di sampingnya terdapat bawang putih dan cabai merah yang ditusukkan pada sapu lidi. Benda itu dipercayai bisa menjaga bayi dari gangguan jin.
Atau juga sapu lidi yang diletakkan terbalik menghadap ke arah langit ketika ada acara tertentu dipercayai juga dapat menangkal hujan. Lantas yang menjadi pertanyaan, apa hubungannya hal itu? Apakah benar itu berpengaruh untuk menjaga bayi dan menangkal hujan?
Logika Mistika dalam Pandangan Aliran Filsafat Empirisme, Positivisme dan Pragmatisme
Aliran filsafat empirisme menekankan bahwa segala pengetahuan diperoleh dari pengalaman dan yang berdasar pada kekuatan panca indra. Tokoh empirisme, John Lock mengatakan manusia itu ibarat kertas kosong. Dia juga menyebutnya dengan istilah tabula rasa yang menolak ide-ide bawaan.
Aliran positifisme mengatakan ilmu pengetahuan harus sesuai dengan fakta. Aliran ini fokus mempertanyakan hakikat atau sebab dari adanya suatu benda. Tokoh aliran ini adalah Aguste Comte, dan dia mengatakan pengetahuan yang tepat dan benar dapat diperoleh dengan pengamatan yang akurat.
Dan aliran yang terakhir adalah pragmatis. Aliran ini fokus pada kegunaan atau nilai suatu hal. Tokoh aliran ini adalah William James, dan dia berpendapat bahwa kebenaran segala sesuatu, misal ucapan, hukum, dan teori itu berdasar pada asas manfaatnya.
Sebagai contoh, saya akan menceritakan peristiwa yang dialami sendiri. Beberapa tahun lalu dikatakan, ada sesepuh yang menjaga saya (khodam). Pada saat itu, saya merasa berbeda dari anak-anak biasanya karena bisa merasakan hadirnya makhluk ghaib. Indigo, julukan baru yang diberikan pada penulis.
Doktrin bahwa saya bisa berkomunikasi dengan makhluk ghaib menjadi kebanggaan tersendiri kala itu. Beberapa kali ikut midiumisasi yang dilakukan untuk mendeteksi kejadian mistis dari suatu tempat, mencari tahu penyebab kiriman santet pada seseorang dan bahkan sempat dilatih untuk tempur dengan para dukun.
Namun, semakin lama hal itu menyiksa batin. Banyak hal yang mengganjal di hati, banyak pertanyaan yang kemudian menggantung karena tidak menemukan jawabannya. Saya juga merasa bahwa hal ini tidak benar. Saya percaya akan adanya jin, tapi saya tidak pernah yakin jika apa yang saya rasakan dan lihat itu wujud asli dari jin. Saya berpikir itu hanya imajinasi. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak menghiraukan mereka dan tidak peduli dengan hal itu.
Berdasarkan pengalaman di atas dapat disimpulkan bahwa secara empiris dan positifisme hal itu tidak dikatakan pengetahuan karena keberadaan makhluk ghaib tidak dirasakan oleh panca indra dan tidak terbukti secara fakta. Begitu pun secara pragmatis, tidak ada hal yang bisa diambil manfaatnya atau nilai dari logika mistika. Karena pemikiran ini tdak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahkan, kenyataan adanya logika mistika semakin meresahkan masyarakat, membuat mereka lebih takut pada setan dan jin dari pada Sang Pencipta. Logika mistika juga akan memenjara nalar kritisnya.
Dalam teori kebenaran absolut, untuk mengetahui atau menentukan keabsahan perkara, harus menggunakan teori yang benar baik secara ontologi (hakikat), epistemologi (cara), dan aksiologi (nilai/manfaat). Jika salah satu dari ketiganya ada yang salah, maka pengetahuan yang diperoleh juga salah.
Kepercayaan Menjadi Bagian Penting Manusia
Tan Malaka pernah mengatakan bahwa cara menolak atau menyangkal adanya logika mistika itu dengan berfilsafat, berpikir logis, kritis, dan tentu saja menggunakan teori-teori yang benar. Sehingga dari proses itulah terlahir sebuah pengetahuan yang benar.
Seperti yang kita ketahui, setiap manusia mempunyai kepercayaan. Baik benar atau salah. Kepercayaan akan membentuk tata nilai. Jika hal yang dipercayai masyarakat hanya terbatas pada hal-hal mistis saja, perkara yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, percaya pada hal-hal yang salah, maka itu akan melahirkan tata nilai yang salah. Begitu pun, sebaliknya.
Seperti yang akhir-akhir ini marak terjadi. Adanya transaksi jual beli garam ruqyah yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Mereka menggunakan media dan mengatasnamakan agama sebagai sarana untuk memudahkan penjualan mereka.
Tak ayal, hal itu menjadi pusat perhatian orang awam yang sudah tersugesti dengan hal mistis. Mereka tertarik karena garam ruqyah tersebut sudah dibacakan doa-doa tertentu dan mempunyai manfaat yang banyak. Kemasannya juga menggunakan foto seorang syekh atau kiai untuk lebih meyakinkan pembeli. Di antara khasiatnya, dapat mengusir santet, menolak balak, melancarkan usaha yang sepi, membuka aura wajah dan lain sebagainya.
Mudah percaya akan hal seperti itulah yang membuat masyarakat mudah tertipu. Perlu adanya kesadaran diri untuk mencari kebenaran yang lebih konkret. Karena benar tidaknya sebuah tradisi yang berlaku di masyarakat tergantung pada tata nilainya. Jika tata nilainya salah, maka tradisi dan budaya yang dikulturkan itu salah, begitu pun sebaliknya.
Namun mirisnya, tak sedikit orang yang menolak diperalat dan tertipu dengan cara berpikir seperti itu. Buktinya, mereka tetap menganggap terjadinya hal yang ada di luar rasio manusia dipengaruhi oleh sesepuh yang murka, benda keramat, tempat sakral yang dirusak atau bangsa jin yang marah karena tempatnya digunakan untuk hal tidak senonoh.
Oleh karena itu, hendaklah kita mulai merasionalkan pikiran kita. Berpikir lebih kritis dan logis. Percaya pada sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, jangan mau dijajah oleh logika mistika sehingga kepercayaan, tata nilai, tradisi, budaya, dan peradaban yang tercipta bukanlah yang salah.
Tan Malaka pernah berkata “suatu negara akan sulit maju, jika nalar masyarakatnya adalah nalar inferior, pasif, permisif dan terbatas pada hal-hal ghaib saja.” Itu juga dikatakan oleh Muchtar Lubis dalam ceramahnya pada tahun 1977 bahwa, logika mistika merupakan sifat buruk manusia.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...