Lepas dari perseteruan KPAI dengan Djarum beberapa saat yang lalu perihal PB Djarum yang dianggap mengeksploitasi anak karena terasosiasi bebas dengan merk rokok, permasalahan yang nyaris sama kini menimpa pengelola Bandara Soekarno Hatta, Angkasa Pura II, terkait dengan ikut sertanya merk dagang TRAVELOKA dan PEGI-PEGI di nama Bandara Soekarno Hatta. Oleh para komentator media sosial, yang kerap kali disebut sebagai netizen +62, hal ini menjadi polemik besar yang kemudian dianggap sebagai upaya menggadaikan bandara sebagai aset bangsa.
Terlihat dalam cuitan Alvin Lie melalui akun Twitter-nya, @alvinlie21, yang sebelumnya cukup gencar menolak keberadaan merk-merk tersebut di samping nama bandara. Yang bersangkutan kini tampak berbangga hati ketika Kementerian Perhubungan meminta penghilangan nama merk tersebut. Padahal sebenarnya, apa yang ditakutkan dan menjadi polemik itu tak sedemikian mengerikannya. Tidak ada aset negara yang digadaikan atau akan dijual seperti yang dituduhkan para netizen.
Yang sebenarnya terjadi adalah pihak Angkasa Pura II sebagai pengelola bandara-bandara di Indonesia, termasuk bandara Soekarno Hatta, menggandeng merk-merk yang bersedia mensponsori biaya renovasi, revitalisasi dan perawatan bandara, tentu saja biaya tersebut tidak sedikit. Traveloka dan Pegi-pegi sebagai dua nama yang cukup dikenal sebagai nama agen perjalanan online terpercaya bersedia untuk menggelontorkan sejumlah dana, namun tentu saja mereka juga memerlukan slot promosi yang “eye catching“. Pastinya, slot promosi di samping nama bandara menjadi tawaran menarik bagi pemberi dana sponsor terbanyak.
Dengan menggandengkan nama sponsor dengan nama bandara, tidak ada yang dirugikan, apalagi sampai tergadaikan. Yang ada kedua pihak mendapatkan keuntungan; pihak pengelola bandara mendapatkan dana yang diperlukan sehingga tidak akan mengganggu kas masuk dari penerbangan masuk dan keluar, sehingga kas tersebut bisa menjadi pendapatan utuh negara, dan pihak sponsor pun mendapatkan keuntungan namanya semakin dikenal oleh masyarakat. As simple as that, bagi mereka yang dapat berpikir jernih dalam melihat permasalahan.
Perihal penggandengan nama sponsor ini rupanya juga mendapatkan berbagai dukungan dari masyarakat media sosial, sebagaimana dijabarkan oleh penggiat media sosial, Hariadhi dalam tulisannya “Difitnah akan Tergadai ke Asing Aseng, Co Branding Terminal 2 dan Traveloka Justru Panen Dukungan”. Ada berbagai cuitan dari penggiat media sosial lain yang sangat memahami istilah Co-Branding, yang bahkan juga dilakukan oleh bandara-bandara internasional di seluruh dunia. Dengan demikian, co-branding bukanlah sebuah momok atas kepemilikan infrastruktur negara oleh swasta, apalagi asing/aseng, namun hanya merupakan bentuk kerja sama yang saling menguntungkan.
Berkaca dari kedua masalah yang muncul belakangan ini terkait dengan penggunaan nama merk, seyogyanya masyarakat dapat memilah signifikansi permasalahan yang ada. Kita harus mampu memilah secara rasional dan logis, alasan-alasan diangkatnya suatu permasalahan ke media sosial sebelum menunjukkan keberpihakan dan memberikan komentar-komentar yang terkadang malah memperumit masalah. Dalam hal branding, kita harus memahami dengan jeli dan melihat keuntungan atas kerugian dengan saksama.
Jangan hanya karena idealisme yang terkadang tampak naif dan bodoh, kita hanya menjadi pengekor dan ikut pula berteriak-teriak mengiyakan dan menolak sesuatu tanpa memikirkan solusi selanjutnya. Media sosial itu adalah tempat berpolemik yang cerdas, hanya bagi orang-orang yang berpikir panjang. Tapi, media sosial pun tentunya bisa menjebak kita dalam kebodohan ketika kita enggan berpikir terbuka dan mencari segala sumber informasi untuk memvalidasi benar atau tidaknya suatu permasalahan.