Laporan Serikat News
Senin, 15 Mei 2017 - 02:34 WIB
Foto : Dok, Pribadi.
Oleh: Kemala Dewi M A, S.H., M.H.*
Dalam perkembangannya, dunia politik mulai tidak dapat dipisahkan dari peran perempuan, walaupun diskriminasi politik masih sering terjadi pada kaum perempuan. Dalam kesetaraan politik untuk warga negara Indonesia, UUD 1945 telah menempatkan Pasal 28D ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 amandemen kedua mengamanatkan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Dalam kenyataannya dilapangan, kedudukan perempuan tidaklah sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya yang menyampaikan tentang kedudukan kaum perempuan atau kesetaraan gender. Peraturan yang ada masih tidak dijalankan sepenuhnya dalam pelaksanaan dilapangan, sehingga tujuan dari dibuatnya aturan kesetaraan gender tidaklah tercapai penuh.
Tindakan Affirmative Action atau kebijakan afirmasi yang diharapkan dapat menghapus diskriminasi yang terjadi pada jender atau ras melalui aturan-aturan perundang-undangan mulai terlihat, terutama dalam UU No. 10 Tahun 2008. Dalam ketentuan UU No. 10 Tahun 2008 partai harus menempatkan sedikitnya satu perempuan diantara tiga nama dalam daftar calon. Namun Mahkamah Konstitusi memutuskan melalui Putusan No. 22-24/PUU/VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008, bahwa calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Hasil Pemilu 2009, menunjukkan terpilihnya 100 calon anggota DPR Perempuan, atau sekitar 17,86% dari 560 jumlah anggota DPR. Atas hasil ini, perkiraan CETRO memang tidak salah. Dengan menggunakan formula suara terbanyak, Pemilu 2009 menghasilkan 100 calon anggota DPR Perempuan terpilih, yang berarti mengalami peningkatan 40% dari pemilu sebelumnya. Sementara, jika formula 30% BPP dan nomor urut diterapkan, hasil perhitungan CETRO menunjukkan, calon anggota DPR terpilih hanya 89 orang. Dalam peraturan mengenai penetapan kuota 30% perempuan di parlemen melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetaplah diberlakukan.
Negara-negara lain yang menerapkan affirmative action berhasil mencapai mempercepat upaya pencapaian kesetaraan jender secara mengesankan. Beberapa diantaranya : Enam Negara, yaitu Swedia, Denmark, Finlandia, Norwegia, Belanda dan Islandia, berhasil menyusun proporsi keanggotaan di majelis rendah, dimana sepertiga anggotanya adalah perempuan. Hal ini dicapai melalui penerapan kuota untuk meningkatkan representasi perempuan di institusi-institusi pengambil keputusan.
Di Indonesia dalam runutan sejarahnya peran perempuan dalam politik di Legislatif khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa terlihat :
“Anggota DPR Sementara 1950–1955 misalnya, berhasil mengakomodasi 9 kursi (3,8%) dari 236 kursi anggota legislatif terpilih saat itu. Jumlah keterwakilan perempuan hasil Pemilu 1955–1960 naik menjadi 17 kursi (6,3%) dari 272 anggota parlemen terpilih. Representasi perempuan di parlemen secara kuantitatif kembali naik turun. Di era Konstituante (1956-1959) peroleh kursi legislatif perempuan turun menjadi 25 kursi (5,1%) dari 488 kursi anggota Konstituante. Bagitu pun di era Orde Baru, keterwakilan politik perempuan di parlemen juga mengalami pasang-surut. Pemilu pertama Orde Baru (1971–1977) berhasil menempatkan perempuan pada 36 kursi parlemen (7,8%), Pemilu 1977 29 kursi (6,3%), dan Pemilu 1982 39 krusi (8,5%) dari 460 anggota DPR terpilih pada tiga periode Pemilu tersebut.
Selanjutnya, Pemilu 1987 berhasil menempatkan perempuan pada 65 kursi (13%) dari 500 kursi DPR, dan terus mengalami penurunan pada Pemilu 1992-1997, 1997–1999, dan 1999–2004 menjadi 62 kursi (12,5%), 54 kursi (10,8%), dan 46 kursi (9%) dari masing-masing 500 kursi yang berhasil di raih anggota DPR dari masing-masing periode pemilu tersebut. Berikutnya, Pemilu 2004 kembali menaikkan jumlah anggota legislatif perempuan menjadi 63 orang (11,45%) dari 550 anggota DPR terpilih, dan Pemilu 2009 berhasil menempatkan 99 anggota legislatif perempuan (17,68%) dari 560 calon anggota DPR terpilih hasil Pemilu 2009 (Dewi, Heritta. 2016. HYPERLINK “http://www.sumbarprov.go.id/details/news/8277)” http://www.sumbarprov.go.id/details/news/8277) , diakses tanggal 05 Mei 2017)
Namun sangat disayangkan proporsi anggota legislatif perempuan yang terpilih pada pemilu selanjutnya gagal mencapai affirmative action 30 persen pada Pemilu 2014. Justru proporsi tersebut mengalami penurunan dari 17,86 persen pada tahun 2009 menjadi 17,32 persen di tahun 2014. Padahal, kandidat perempuan yang mencalonkan diri dan masuk dalam daftar pemilih dari partai politik mengalami peningkatan dari 33,6 persen tahun 2009 menjadi 37 persen pada 2014. Pada Pemilu Legislatif tahun 2014, ternyata hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif sebanyak 97 kursi (17,32 persen) di DPR.
Dengan memperhatikan kondisi tersebut diatas, maka disini terlihat jelas bahwa keterwakilan perempuan yang merupakan lebih dari separuh jumlah penduduk di Indonesia tidaklah terwakili kepentingannya di Legislatif khususnya Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan kita mengetahui bahwa Negara melindungi kesamaan hak-hak politik sebagaimana yang terdapat dalam UUD 1945. Namun sangat disayangkan sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, keterwakilan perempuan didalam Legislatif belum terakomodir dengan baik, sehingga suara perempuan masih belum terdengar dengan maksimal. Oleh sebab itu diperlukan penambahan perempuan baik di lembaga legislative, eksekutif, yudikatif dan birokrasi agar dapat meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan serta mewujudkan amanat dari UUD 1945 serta perwujudan dari ketegasan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya untuk memberikan sanksi bila tidak dapat memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebagaimana yang diamanatkan dalam peraturan perundangan-undangan terkait.
*Penulis adalah Bidang OKK DPN Srikandi Pemuda Pancasila.
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan