Dalam beberapa tahun ke depan, Papua akan tetap menjadi salah satu masalah krusial yang terus menyita perhatian kita semua, bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga akan mengundang perhatian dunia internasional. Di tahun 2018 ini, permasalahan Papua akan kembali mencuat di permukaan, terutama terkait dengan dua isu utama yaitu soal kesejahteraan dan masalah penyerahan kedaulatan Papua.
Permasalahan kesejahteraan Papua tidak terlepas dari isu ketimpangan ekonomi dimana Papua sebagai wilayah yang kaya sumber daya alam, tetapi tertinggal dalam banyak sisi: tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, keterbatasan infrastruktur, mahalnya harga-haraga kebutuhan pokok, gizi buruk, pendidikan yang masih rendah, dan sulitnya lapangan kerja.
Di sisi yang lain, isu kedaulatan Papua akan terus dihembuskan oleh kelompok-kelompok separatis yang terus berupaya menggalang dukungan dunia internasional. Kelompok separatis selalu memanfaatkan permasalahan konflik di Papua untuk menekan pemerintah Indonesia agar menyelenggarakan referendum untuk merdeka.
Sebenarnya, terhadap permasalahan kesejahteraan dan kedaulatan Papua, pemerintah sejak era reformasi telah mendorong perubahan regulasi dan instrumen kebijakan untuk mempercepat pembangunan Papua. Pada tahun 2001, DPR dan pemerintah mengesahkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khsusu Papua. Kebijakan otonomi khusus merupakan langkah untuk mengoreksi sistem penyelenggaraan negara yang semula bersifat sentralistis dan seragam menuju kepada desentralisasi dan penghargaan kepada keberagaman. Otonomi khusus berarti hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki suatu daerah ditentukan berbeda dengan daerah lain pada umumnya.
Otonomi khusus yang diberikan kepada Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 karena dilatarbelakangi oleh pengakuan negara terhadap dua hal penting. Pertama, pemerintah mengakui bahwa hingga saat terbentuknya undang-undang tersebut terdapat permasalahan di Papua yang belum diselesaikan yang meliputi berbagai bidang, baik dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Kedua, pemerintah mengakui bahwa telah terjadi kesalahan kebijakan yang diambil dan dijalankan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua yang belum memenuhi rasa keadilan, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap HAM, khususnya bagi masyarakat Papua.
Di sisi lain, juga diakui bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam tidak digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli sehingga mengakibatkan munculnya kesenjangan baik di antara masyarakt Papua maupun antara Papua dengan wilayah lain di Indonesia.
Kini setelah kurang lebih 16 tahun UU Otsus Papua dilaksanakan sejak tahun 2002, telah terjadi perubahan mendasar dalam politik pembangunan Papua. Dana pembangunan yang dikucurkan ke Papua semakin meningkat. Pada tahun 2017, misalnya, anggaran pembangunan Papua menurut Presiden Jokowi mencapai Rp 87,5 triliun. Total anggaran tersebut cukup besar, hampir sepertiga dari belanja infrastruktur tahun 2017 yang mencapai Rp 317,1 triliun.
Namun, besarnya anggaran pembangunan Papua belum meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua secara signifikan. Mari kita lihat fenomena saat ini. Di beberapa surat kabar nasional di awal tahun 2018 ini, ada berita bencana kesehatan di Asmat yang sangat merisaukan. Sebanyak 24 anak di Asmat meninggal akibat campak dan gizi buruk dalam empat bulan terakhir. Sementara ada puluhan anak yang saat ini dirawat di rumah sakit karena menderita campak dan gizi buruk, serta penyakit lain seperti tuberkulosis, radang paru-paru, dan malaria. Ada lima distrik di pedalaman Asmat yang terserang campak dan gizi buruk yakni Swator, Fayit, Pulau Tiga, Jetsey, dan Siret.
Memperkuat kapasitas pemerintah
Pertanyaannya, apa yang salah dengan politik pembangunan Papua? Apakah anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat untuk membangun Papua tidak cukup? Jika kita berpatokan pada anggaran, maka pembangunan Papua tentu memerlukan dana yang lebih besar lagi. Namun pada akhirnya permasalahan utama bukan pada politik anggaran, tetapi bagaimana memperkuat kapasitas pemerintah pusat dan daerah untuk mengelolah dan memanfaatkan anggaran pembangunan Papua sebaik-baiknya yakni secara tepat sasaran dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kapasitas pemerintah pusat dan daerah harus diperkuat untuk mendorong kesejahteraan masyarakat Papua. Dalam bukunya State Building: Governance and World Order in 21st Century (2004), Francis Fukuyama telah memperingatkan kita jika kelembagaan pemerintah lemah dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan maka permasalahan dalam suatu negara akan datang silih berganti. Kapasitas pemerintah yang lemah akan mempersulit proses pendistribusian kesejahteraan dimana masyarakat terhambat dalam mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan yang pada akhirnya dapat memicu konflik dan kekerasan.
Kita mengapresiasi langkah pemerintah pusat membangun Papua dengan meningkatkan anggaran pembangunan Papua, menggenjot pembangunan infrastruktur, dan semakin menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok di Papua. Tetapi pada sisi yang lain, masih ada pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk membangun Papua. Sebab yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua saat ini bukan hanya sekadar kucuran anggaran yang besar, tetapi penguatan kapasitas pemerintah, terutama pemerintah daerah dalam mengelola dan memanfaatkan anggaran pembangunan yang jumlahnya semakin meningkat sejak pemberlakukan status otonomi khusus. Kapasitas tersebut berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi anggaran yang berbasis pada kebijakan yang tepat.
Pada sisi yang lain, masyarakat Papua juga membutuhkan penguatan kapasitas diplomasi pemerintah terkait dengan mencuatnya kembali wacana kedaulatan Papua atau Papua merdeka. Kapasitas diplomasi pemerintah menjadi salah kunci untuk meyakinkan dunia internasional bahwa permasalahan Papua telah selesai dan Papua adalah harga mati bagi Indonesia.
Hingga saat ini belum ada negara yang memberikan pengakuan terbuka terhadap propaganda Papua merdeka. Namun kita perlu berhati-hati dan menjaga seluruh masyarakat Papua untuk tidak terpancing dan terhasut dengan propaganda para aktivis Papua merdeka yang gencar menebar kebencian terhadap pemerintah Indonesia. Politik pembangunan Papua harus tetap berjalan terus.
Pemerintah haru memperkuat kapasitas diplomasi luar negeri guna menggalang dukungan internasional dalam memerangi propaganda para aktifis Papua merdeka dan simpatisannya di forum-forum internasional. Apapun yang dipertaruhkan, tidak ada yang terlalu mahal untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI. Tidak ada satu negara di dunia pun, bahkan negara yang mengklaim menjunjung tinggi HAM dan demokrasi, yang akan berdiam diri terhadap segala bentuk ancaman baik dalam negeri maupun luar negeri atas kedaulatan dan kepentingan nasionalnya. Papua adalah harga mati.
*Penulis Adalah Anggota Komisi Informasi DPR RI.
Penulis Anggota Komisi Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI )
Menyukai ini:
Suka Memuat...