Oleh : Osmar Tanjung
Sebagai sebuah unsur kekuatan politik warisan masa lalu, Partai Golkar kini mengalami sebuah pertaruhan besar di masa depan. Polemik kasus korupsi E-KTP yang menimpa Setya Novanto pemimpin partai sekaligus Ketua Lembaga Tinggi Negara, menjadi sebuah indikasi baru politik internal partai dan konstelasi nasional.
Drama tiang listrik dibilangan Selatan Jakarta, menambah riuh dan hangat perbincangan politik dikalangan publik luas. Kita harus jeli melihat persoalan Setya Novanto. Ada tiga hal yang perlu kita garis bawahi terkait dengan masalah ini. Pertama, persoalan diri Setya Novanto secara personal sebagai subjek hukum yang harus menjalani proses hukum atas dugaan-dugaan keterlibatan dirinya dengan praktek korupsi E-KTP. Kedua, masalah re-konsolidasi Partai Golkar yang kerap disebut-sebut semakin banyak faksi-faksi menjelang tahun politik yang sudah dipelupuk mata. Ada tiga faksi yakni JK, Akbar Tanjung dan faksi Aburizal Bakrie yang saling bertarung untuk menguasai Partai Golkar. Terakhir, ketiga adalah afiliasi dukungan kepada pemerintah.
Harus diingat bahwa hasil dari RakerNas terakhir Partai Golkar menyatakan bahwa Partai Golkar mendukung penuh Pemerintahan Jokowi-JK, bahkan juga turut mendukung Jokowi dua periode.
Problem SetNov sebagai subjek hukum dugaan korupsi menjadi babak baru KPK dalam upaya pengungkapan kasus besar E-KTP. Ada beberapa ahli mengatakan bahwa KPK juga turut berpolitik, pendapat ini bisa benar, bisa tidak. Seperti mengutip pernyataan Fahri Hamzah (Kader PKS) penangkapan paksa Setnov oleh KPK karena adaorang kuat dibelakangnya. Pernyataan itu bisa ditelusuri, apakah KPK berdiri sendiri bersama publik atau memang sudah ditunggangi oleh elit-elit politik yang menginginkan Setnov dipenjarakan. Menjadi lebih problematis, jika kasus penjemputan paksa Setnov karena ada permintaan elit yang lebih kuat.
Pertanyaan lain adalah bagaimana dengan masa depan Partai Golkar? Dalam situasi seperti ini kredibilitas “pengurus partai” semakin buruk dan semakin kurang dipercaya, terutama di kalangan akar rumput. Image pimpinan yang hanya mikirin dirinya serta kisruh para elit nasional yang berkepanjangan “layaknya prahara tanpa ujung”, adalah keniscayaan yg harus dihadapi oleh elit Partai Golkar sebagai warisan kekuasaan masa lampau.
Politik “membelah diri” kelihatan semakin tak berwujud manakala Hanura, Gerindra dan NasDem adalah partai-partai yang awalnya menginduk kepada Golkar, semakin mandiri dan percaya diri untuk bersama-sama partai lain membangun bangsa dan negara. Jika dalam kondisi sekarang para elit nasional Partai Golkar tidak memperhatikan kader akar rumput, maka bisa dimungkinkan kekuatan partai akan tergerus. Dan diwaktu yang sama, ketiga partai tadi akan mengakuisisi kekuatan Partai Golkar di akar rumput.
Semakin tajam dan keras elit nasional Golkar berseteru, maka semakin terdegradasi kepercayaan publik kepada pengurus partai. Ditambah dengan momentum menjelang Pilkada Serentak, para elit daerah sudah harus mempersiapkan komposisi calon di daerah masing-masing. Jika elit nasional Partai terbelah, maka situasi itu justru membuat konsolidasi semakin lemah. Selalu ada elit yang diuntungkan dalam situasi seperti ini.
Adalah Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden namanya cukup santer sebagai salah satu yang dapat memainkan peran kuat atas kisruhnya Partai Golkar. Seorang JK yang berumur 75 tahun masih punya ambisi mengambil “posis” di sebuah partai yang pernah dipimpinnya. Kuasa dan kekuasaan itu memang sangat menjanjikan dan membuka jalan, terutama bagi mereka yang juga bermain di dunia usaha seperti JK.
Melalui tulisan ini, izinkan saya menyampaikan satu-dua kata kepada yang saya kagumi dan hormati Pak Jusuf Kalla. Sebagai negarawan, sebagai orang besar yang sudah dua kali menjadi Wakil Presiden. Pak JK harus mampu mendudukan masalah Golkar ke khittahnya dengan tidak ikut dalam pertaruhan dan konflik para pihak. Jadilah “the big man” yang mengayomi semua pihak. Berilah kesempatan kepada yang muda-muda untuk Golkar kembali dapat menata organisasinya sebagaimana dicita-citakan. Pak JK jangan lagi berkehendak mengambil alih secara penuh Partai Golkar.
Sekedar mengingatkan, sejarah mencatat bahwa praktik yang sama pada Periode pertama SBY (2004-2009), dimana SBY yang notabene sebagai Presiden saat itu, di preteli sekaligus disandera secara parlemen oleh JK melalui partai Golkar. Rakyat tidak pernah melupakan hal itu.
Dilain pihak, atas nama stabilitas nasional, rasanya Presiden Jokowi juga patut memperhatikan langkah gerak dinamika internal Partai Golkar. Sebagai Presiden yang secara totalitas mendukung gerakan anti-korupsi, juga perlu membersihkan institusi KPK agar tidak terlibat terlalu dalam pada agenda politik praktis elit parpol. KPK harus kembali ditegakkan sebagai mana nafas perjuangan awal lembaga itu didirikan.
Prahara partai Golkar, harap dicatat akan menjadi serangan balik, bukan hanya akan tertuju kepada Presiden Jokowi, namun juga terhadap institusi partai yang akan menemukan kehancuran, jika partai tidak segera melakukan konsilidasi.
Atas nama stabilitas program pemerintah, Presiden Jokowi bisa menjadi salah satu unsur kekuatan yang bisa kembali merekatkan Partai Golkar, karena Partai Golkar terlahir dengan sifat ‘berkuasa’, maka sejatinya Partai Golkar tidak bisa hidup diluar ring kekuasaan.
Di atas itu semua, mari kita panjatkan doa dan al-fatiha agar prahara politik Partai Golkar tidak berkepanjangan dengan ditangkapnya Setnov.
*Penulis Adalah Sekretaris Jenderal SEKNAS-JOKOWI
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...