Yang terjadi di NKRI saat ini, sepintas terlihat karena alasan agama ataupun intoleransi. Padahal yang sebenarnya semua akan berujung pada pengambil alihan kekuasaan untuk mendapat kesempatan menggarong kekayaan negara Indonesia, demikianlah perang kawasan oleh pihak asing dengan berbagai strategi termasuk memakai antek atau proxy dari orang Indonesia sendiri, baik militer, tokoh politik maupun sipil. Agama dipakai sebagai modus, agama dilecehkan sebagai motif untuk memulai bermusuhan dan berperang .
Konservatisme agama pada dasarnya bermasalah dari sudut epistemik. Tentu saja konservatisme yang dimaksud adalah upaya purifikasi agama dari pengaruh budaya, atau hal lain. Tetapi, itu tidak mungkin. Agama sebagai bagian dari budaya pada dasarnya dinamis: turut dipengaruhi dan mempengaruhi yg lain. Agenda Rizieq dan FPI, juga HTI adalah menjadikan Islam seperti Islam Arab, yang menurut mereka pure. Secara sosiologis dan historis, Islam sendiri sangat dinamis dengan berbagai alirannya, termasuk Islam di Indonesia. Pancasila sudah mengakomodir Islam dengan berbagai alirannya, juga agama” lain.
Dengan kata lain, konservatisme bertentangan dengan Pancasila. Dengan itu pula, konservatisme sebenarnya mematikan agama itu sendiri. Tidak mampu menjadikan agama sebagai sarana yang membebaskan dalam arti memperkaya makna hidup lewat simbolisasi dan ritual yang dijalankan, yang menuju kepada kedekatan serta cinta terhadap Tuhan yang Maha Esa dan sesama manusia.
Sebagai contoh bila dicermati skenario akan terlihat dari berbagai ucapan bersayap maupun gestur, merupakan dukungan Gatot terhadap aksi FPI berikut massa dukungannya. Dimana sekaligus Gatot meminta dukungan dari FPI untuk kepentingan politiknya. Gatot jelas sedang memerlukan massa. Dia perlu mendekati pimpinan FPI. Dan pada saat yang sama, juga menarik dukungan masyarakat dan secara implisit mau mengatakan kepada masyarakat bahwa FPI tidak berbahaya, apalagi kalau mereka dibawah kontrol saya (jika saya menjadi pemegang kuasa di Republik ini).
Tafsiran dari kelompok yang berjuang untuk menggantikan Pancasila beserta Dasar Negara atas dasar kepentingan mereka adalah bentuk tafsiran dari gerombolan manusia yang pragmatis, dangkal dan picik pikirannya. Biasanya manusia-manusia seperti itu memiliki karakter rakus, tamak dan serakah. Seperti inilah levelnya politisi rendahan.
Sebaliknya kalau memahami bahwa perjuangan politik sebagai bentuk dari kepedulian dan pengabdian terhadap kepentingan publik, hanya dimiliki oleh politisi berkualitas dengan karakter negarawan, contoh nyatanya Presiden Jokowi.
Sebetulnya, agama memainkan peran penting untuk menjaga moralitas individu dan masyarakat umum. Bukan sebagai alat profokasi. Ilmu filsafat, teologi, dan sosial menjadi relevan. Tetapi, pasar hari ini mendorong kepada ilmu- ilmu teknik dengan rasionalitas instrumentalnya, yang perlahan-lahan mendominasi dunia pendidikan kita. Politik pun digiring mengikuti logika instrumental itu, alih-alih rasionalitas komunikatif seperti yang Habermas anjurkan.
Garis etika dalam berpolitik tercantum dalam Pancasila, yang terumus dalam konstitusi dan rule of law. Tetapi, banyak orang lebih suka dikuasai oleh insting kebinatangannya: uang, harta, kekuasaan dan sex. Rasio dan perasaannya, yang justru menunjukkan kemanusiaannya malah dikesampingkan. Untungnya, kita masih punya figur seperti Presiden Jokowi, Ahok, dan sedikit pejuang lainnya yang bisa memberi contoh, keteladanan yang hidup bagi masyarakat banyak.
Dunia pendidikan malah lebih sibuk dengan orientasi teknis (ilmu” teknik), yang saya sebut dengan hardware peradaban. Namun, sedikit sekali respeknya terhadap ilmu sosial-humaniora yang merupakan software peradaban.
Semestinya kita belajar dari Eropa yang tidak pernah meninggalkan tradisi filsafat dan teologinya yang panjang. Mereka hidup dari filsafat-teologinya, sebagai otak dari segala ilmu, dari peradaban. Tetapi, kita di Indonesia, hidup hanya dengan kerangkanya, dengan memuja-muja dunia teknik.
Inilah krisis yang terjadi ketika kaum agamawan menjadi munafik atau bejat moralnya. Rizieq aja kedapatan menggunakan phone sex-nya via WA. Dan kalau ada manusia yang membela mereka, sebetulnya mereka punya standar moral yang sama. Negara menjadi makin parah rusaknya kalau seperti mereka ini yang akan jadi penguasa, proxy dan antek asing.
Orang seperti mereka, dalam kacamata psikoanalisis poststrukturalisme disebut “subyek histeria”: subyek yang menginginkan sesuatu (kekuasaan) namun melampaui kemampuannya untuk mendapatkannya. Secara obyektif, dia tidak punya kemampuan terutama intelektual. Tetapi, tetap terus ingin mengejar kekuasaan yang diinginkan. Sedangkan kekuasaan dalam dunia demokrasi mensyaratkan orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi dan pengalaman mumpuni, serta integritas diri yang tidak tergoyahkan.
Barangkat dari hal demikian saat maraknya aksi anti Pancasila bermunculan. Mana mungkin orang cerdas akan bersedia memilih mereka. Sebaliknya menjadi saatnya bagi orang-orang cerdas untuk turut bersama membela Pancasila serta berperan aktif mengkampanyekan Pancasila. Sehingga masyarakat yang sementara ini pilihan politiknya mengambang dapat direbut kembali.
Keberadaan oposisi dalam demokrasi diperlukan sebagai rambu kritisi kontrol yang secara hukum sah, namun malah pada titik ini bisa dikatakan bahwa memang ada pergerakan kelompok dan oknum-oknum tertentu yang jelas telah menyimpang, dari tujuan dasar mengapa negara ini didirikan. Karena goalnya: merubah dasar Indonesia menjadi berbentuk negara Islam. Dengan Hukum Islam sebagai dasar hukum negara. Jelas berkeinginan Pancasila sebagai ideologi untuk diganti, minimal dirubah.
Kelompok Oposisi telah menjadi gerakan politik yang mentransformasi antagonisme (relasi teman -musuh) yang bisa berujung pada eksklusi/pembinasaan pihak musuh, bergerak menjadi relasi afversari (kawan-lawan). Dasarnya, adalah kedua pihak merupakan saling beroposisi. Oposisi merupakan status yang sah atau legitimate dalam politik. Secara ontologis, lawan menjadi constitutive of outside, dia yang turut membentuk kita, mendefinisikan siapa kita, dan kita pun demikian terhadap mereka. Dan tetap Pancasila sebagai ideologi yang terbuka. Artinya, Pancasila menjadi kerangka besar untuk panduan praktik politik.
Sejak negeri ini dikontrol oleh Suharto, segalanya direcoki oleh pragmatisme Amerika, melalui idea developmentalismenya. Kebanyakan kaum intelektual kita diajar menjadi teknokrat dan birokrat. Sangat sedikit menjadi pemikir yang punya kedalaman refleksinya.
Terbaca melalui tulisan jurnalis jaman Suharto serta jelas keberpihakan kepada Amerika. Termasuk artikel yang membodohi masyarakat, artikel Salim Said memprovokasi bahwa China akan menyerang Indonesia. Dari jaman Orba, Salim Said melalui banyak tulisan sudah bermanufer lewat proxy. Didukung oleh sejumlah oknum petualang militer. Turut serta ikut bermain dalam kelompok Kivlan Zen, Amin Rais.
Perang asimetris yang terjadi saat ini merupakan perang dua arus utama, yaitu kelompok Barat cs dan Rusia cs disisi lawan. Indonesia suka tidak suka sudah berada di didalam konstelasi itu. Perang moderen untuk memperebutkan kawasan kaya sumber daya.
Model politik transaksional demikian berlaku di seluruh dunia, demi memenangkan serta merebut kawasan dan menguasai sumber daya, termasuk memakai serta memanfaatkan orang-orang dalam Indonesia yang mudah mengadaikan nasionalisme telah menyeret banyak rakyat ikut serta dalam massa aksi yang digalang, sangat jelas terlihat dengan munculnya istilah “pasukan nasi bungkus” dsb.
Jelas menjadi berbahaya terhadap kesatuan bangsa jika terus menerus meluas melalui berbagai massa pendukung kontestan pilkada yang secara nyata maupun tersamar, langsung atau tidak menggunakan isu SARA maupun intoleransi untuk pemenangan, terlihat bagaimana pengaduan terhadap “Puisi Sukmawati – Ganjar” marak pada wilayah yang sedang melaksanakan Pilkada.
Terlebih musuh dalam perang asimetris sangat mengetahui bahwa reformasi adalah gerakan yang belum matang. Dimanapun berada kalau yang disebut gerakan yang matang, tidak mungkin terkontaminasi apalagi bisa ditunggangi politisi, oknum militer, maupun sipil. Dan hal tersebut adalah gerakan politik. Sehingga membuat gerakan ini adalah Gerakan By Design.
Arab spring diledakkan. Rencananya jika sukses akan meledakkan wilayah perairan Laut China Selatan (LCS). Kalau LCS perang akan dimana epicentrumnya? Yang paling mungkin Indonesia karena ada teritorial Natuna yang strategis untuk posisi penempatan pasukan.
Peristiwa yang terjadi di tanah air saat ini, tidak berdiri sendiri dan terpenggal. Dinamika politik yang terjadi di sini sangat terkait konstelasi politik ditingkat regional dan global. Dengan segala cara strategi musuh dalam perang asimetris, jelas akan digunakan semata untuk dapat menjungkalkan Jokowi, pemimpin yang selalu berpihak kepada rakyat dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan menjadi penghalang besar dalam menguasai wilayah.
Parpol-borjuis vs sosialis-parpol. Tidak cuma pemain lokal, karena urusan konstelasi global jelas sedang ikut mengobok-obok dari dua sisi melalui “Asing Aseng” siapa sebenarnya dibelakang asing, dan siapa dibelakang aseng sangat berkepentingan. Urusan perang blok Barat vs Timur belum selesai, malah Barat sedang mati angin sementara ini, ditambah lagi Jokowi semakin berani injak kakinya barat untuk urusan minerba yang merupakan sumber bahan baku produksi, untuk sekaligus melanggengkan rakyat Indonesia sebagai konsumen dari pasar global.
Semua yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan perkembangan kapitalisme yang demikian pesat. Perlu diketahui bahwa kapitalisme dalam dirinya menyimpan krisis yakni berpotensi menghasilkan perang, baik melalui perang ekonomi, perebutan pengaruh politik, dan paling ekstrim adalah unjuk kekuatan militer dengan menggunakan senjata yang tercanggih penggerak industri.
Dan dengan terfragmentasinya masyarakat Islam, menjadi gagal untuk dapat terus menjaga agenda bersama yaitu membangun kesatuan bangsa, telah menjadi persoalan besar bagi bangsa Indonesia. Makanya persatuan elit-elit Islam dalam naungan payung Pancasila sungguh sangat diharapkan.
Demikian pula sebagian kelompok elit militer yang tidak kebagian kue pada periode sekarang, terlihat aktif menghidupkan lagi kelompok green camp, apalagi bosnya masih tetap berkeras masuk bursa calon presiden kesekian kalinya sebagai “petahana calon”. Akhirnya terasakan militer terpecah ke dalam dua kubu, yang sekurang-kurangnya terjadi dan tampak jelas pada para purnawirawan. Demikian juga para pengusaha terlihat bermain di dua kaki, banyak kaki bila perlu beserta para pelacur intelektual ramai-ramai ikut membuat gaduh, berharap supaya ketiban proyek pada saatnya nanti.
Bagaimana juga mengenai pemimpin Negara Indonesia jelas bukan masalah baru atau tidak, Indonesia butuh pemimpin yang berkualitas, cerdas, dengan integritasnya bagus, dan siap kerja, mampun mengakomodir semua kalangan untuk bekerja sama. Tentu bukan calon pemimpin yang hanya suka buat pencitraan murahan, dengan editing video dirinya sendiri membuat isu ancaman runtuhnya negara, dan tidak mampu memisahkan mana wacana, mana bagian fiksi, apalagi sampai berhayal tentang adanya dikotomi partai Setan dan partai Allah, sungguh cerminan pemimpin yang melemahkan nasionalisme tanpa adanya solusi, pemikiran dan tindakan demikian ini harus di lawan dengan semangat nasionalisme dibarengi kecerdasan dalam koridor berbangsa serta bernegara. Politik bernegara yang santun dan menjunjung tinggi nilai Pancasila serta UUD NRI 1945, serta Bhinneka Tunggal ika!
Maka dengan demikian aksi Amien Rais sudah pada saatnya dihentikan, dimana melakukan aksi overdosis untuk melakukan aksi cemo’ohan hingga penghasutan pada ruang publik tanpa perduli lagi netralitas tempat peribadatan maupun sebagai instrumen tempat pemerintahan.
Kemudian bagaimana juga perlu diperhatikan stabilitas keamanan nasional, karena belajar dari kasus Ambon – Poso adanya warga asing yg ikut dalam kancah konflik sedemikian lama dan panjang. Yang tentu tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perilaku peran serta penghianat bangsa dan negara. Bagaimanapun juga semua potensi konflik sektarian harus segera bisa dinetralisir, demi menjaga stabilitas nasional untuk memadamkan perang asimetris yang sedang dilancarkan. Menajamnya isu sektarian jelas akan terus naik dan meluas kalau menuju tahun 2019 terus melakukan pembiaran terhadap produksi hoax dan upaya-upaya membelah masyarakat saling berhadapan.
Perang perdagangan antara China vs Amerika semakin panas, saling serang dan membalas melalui berbagai cara dari penarikan dolar dari pasar dunia sampai pada kenaikan tarif impor, dimana China selaku pemegang terbesar obligasi Amerika juga tidak ingin kehilangan keuntungan, kalau kurs dolar rendah, membuat dilematis Amerika mengancam menjual semua obligasi miliknya. Sebaliknya juga Amerika juga tidak ingin kurs dolar naik terus yang akan membuat produk industrinya selalu kalah bersaing dipasar melawan China.
Akibat dari perang dagang ini telah membuat kurs dolar menjadi tidak stabil dan perlahan naik, namun dalam hal ini patut bersama kita syukuri bahwa langkah-langkah antisipasi Bank Indonesia melakukan swap telah menjaga iklim perdagangan Indonesia. Demikian juga Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani melakukan perimbangan dengan kebijakan perampingan untuk menunjang iklim investasi, menyatakan perang dagang yang berlangsung akan merugikan dua belah pihak baik Amerika juga Cina. Lebih dari itu, perang dagang akan berdampak menimbulkan kekacauan global. “Sejarahnya, dampak perang dagang pasti buruk kepada ekonomi dunia.
Pernyataan waspada terhadap perang dagang juga diungkapkan Darmin Nasution. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini, langkah Amerika menerapkan kebijakan tarif impor tinggi dimana hanya beberapa negara yang tidak dikenakan tarif baru seperti Kanada, Australia, Meksiko, dan Uni Eropa, jelas akan berakibat meningkatkan penjualan baja Tiongkok ke beberapa negara termasuk Indonesia.
Pemerintah Cina akhirnya membalas dengan memberlakukan tarif bea masuk hingga 25% terhadap 128 produk impor dari AS, antara lain daging babi dan minuman anggur, sebagai serangan balasan atas langkah Presiden AS Donald Trump yang menaikkan bea atas impor baja dan aluminium awal Maret lalu.
Keresahan produsen lokal akan banjir baja dari Cina cukup beralasan. Sebelum perang dagang dua negara tersebut, produk komoditas konstruksi dari Cina ini sudah mengguyur Indonesia sejak dua tahun lalu. Ketika itu, ekonomi dunia masih lesu. Industri Tanah Air pun mengerem berbagai rencana ekspansi, bahkan memangkas sejumlah produksi. Termasuk upaya mendatangkan barang dari luar negeri mulai berkurang dengan drastis.
Sejumlah pelaku idustri mengusulkan agar pemerintah menerapkan anti dumping. Namun, Kementerian Perindustrian menyatakan kebijakan tersebut bukan pilihan tepat. Sebab, hal itu malah bisa berdampak buruk bagi industri Indonesia karena dapat memicu aksi balasan dari China. Menerapkan dumping jelas sudah bukan cara yang bisa melindungi produksi dalam negeri.
Presiden Jokowi telah memberikan contoh nyata kepada rakyat, untuk mulai kampanye menggunakan produksi-produksi dalam negeri karya anak bangsa. Tentunya untuk semakin mengurangi kebutuhan impor barang, dengan maksud menjaga ketahanan ekonomi dalam negeri sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi. Presiden Jokowi dengan caranya telah memanfaatkan dirinya sebagai ajang pameran produksi dalam negeri mulai dari jacket, sepatu, baju, hingga motor yang dipakainya.
Cara-cara diluar dugaan ini jelas akan semakin membuat patah semangat kelompok kepentingan yang ingin menguasai dan mengkontrol Indonesia, bila kemudian baik rakyat dan juga bersama TNI bersatu bergandengan tangan kembali berjuang mempertahankan kedaulatan dan kemandirian wilayah NKRI.
Indonesia harus tetap memiliki semangat juang dan menghancurkan kelemahan mentalnya, seperti korupsi serta antek asing, penghianat bangsa yang bermain dua kaki dengan atas nama agama,maupun oposisi dengan maksud-maksud terselubung. Semangat juang dibidang ekonomi, politik harus berujung kepada ketahanan nasional.
Menyukai ini:
Suka Memuat...