Ada hal yang menarik pada perhelatan pilkada serentak di 2018 ini, yakni Pemilihan Gubernur di 3 propinsi Pulau Jawa, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang dijadikan sebagai barometer demokrasi nasional. Pendaftaran calon sendiri sudah ditutup secara resmi oleh KPUD masing-masing daerah pada pekan kemarin, dan kita diberi kejutan dengan munculnya calon-calon yang diluar prediksi. Inilah realitas politik yang harus diterima oleh masyarakat kita, ketika calon-calon yang tampil tidak atau belum memenuhi harapan. Sehingga bagi sebagian orang akan menimbulkan kebingungan, pada saat pencoblosan nanti siapa yang akan dipilih. Memilih abstain, golput, masa bodoh atau tidak perduli sama sekali. Namun tentu setiap calon juga beserta partai yang mengusung dan para tim suksesnya sudah menyiapkan banyak strategi bagaiamana caranya merebut simpati dan memenangkan kontestasi politik.
Dalam waktu yang bersamaan, ada tokoh berinisial “L” sebagai salah satu tokoh yang gagal direkomendasikan maju sebagai Calon Gubernur Jawa Timur, membuka fakta menarik tentang uang mahar untuk mengikuti perhelatan Pemilihan Gubernur Jawa Timur, dengan nominal 300 Milyar. Ongkos politik yang luar biasa besar dan tak sebanding dengan pencapaian prestasi kepala daerah selama ini, yang menurut penulis akan menambah daftar panjang politik uang dan kompensasi yang harus dibayar dengan kebocoran anggaran daerah serta negara, melalui banyak proyek pemerintah, yang hanya akan dijadikan bancakan segelintir orang.
Selain 3 propinsi itu, ada 171 kabupaten dan kota yang akan berpartisipasi pada ajang pemilihan kepala daerah di tahun 2018. Jumlah ini tentu akan menyedot perhatian seluruh rakyat Indonesia, untuk bersama-sama mengawal Pilkada serentak tersebut, terutama bagi perempuan sehingga melalui tulisan ini saya mengajak para perempuan agar melek politik. Tidak hanya kita menitipkan suara dan aspirasi kepada calon yang berjenis kelamin perempuan, namun bagaimana kita juga mencermati setiap program yang ditawarkan masing-masing calon, terlebih yang terkait dengan kepentingan perempuan dan anak. Dan sejauh mana keberpihakan para calon terhadap kelompok minoritas serta disabilitas. Agar kehadiran para calon raja dan ratu kecil di daerah itu bisa menjadi pemimpin bagi semua orang, berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Sehingga baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur, negeri nusantara yang gemah ripah loh jinawi tidak hanya sebatas slogan belaka yang sia-sia tanpa makna.
Kemudian melalui tulisan ini pula, penulis mengajak kepada para perempuan agar tidak apatis, atau masa bodoh terhadap Pilkada serentak 2018, karena melalui kesempatan ini perempuan bisa melakukan screening terhadap para calon pemimpin di daerah masing-masing, minimal komitmennya untuk anti kekerasan, berwawasan lingkungan, kebebasan, keberagaman, kejujuran (anti korupsi, kolusi dan nepotisme), kemandirian ekonomi dan kedaulatan pangan, keberpihakan terhadap rakyat, kesetaraan gender, keterbukaan (tranparansi program dan anggaran), persamaan, persaudaraan dan solidaritas atas nama kemanusiaan. Nilai-nilai ini diharapkan menjadi acuan kita bersama dalam melihat dan menilai jejak rekam para calon pemimpin daerah yang bertarung dalam kontestasi politik 2018 ini.
Mungkin hari ini masih belum banyak perempuan yang tampil dalam ajang politik pemilihan kepala dearah langsung, dan fakta ini juga harus menjadi bagian dari refleksi, tidak hanya bagi partai politik yang dianggap telah gagal menterjemahkan pemenuhan dorongan kuota 30 persen, karena belum memberikan akses yang luas bagi kiprah perempuan. Namun juga otokritik untuk organisasi dan gerakan perempuan di Indonessia, apapun nama dan bentuknya, sejauh mana program pengkaderan yang dijalankan, dan bagaimana proses transformasi gagasan kepada para perempuan bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Sebab mendorong advokasi kebijakan publik itu penting, selain sebagai upaya perlindungan hukum terhadap kepentingan perempuan dan anak, juga merancang program dan anggaran bagi pemberdayaan perempuan di tiap daerah. Sedangkan di tataran para pengambil kebijakan itu kehadiran dan keterwakilan perempuan masih sangat langka.
Dari catatan ini saya juga ingin mengajak pembaca agar belajar terhadap sosok Walikota Surabaya Ibu Ir, Tri Rismaharini, MT. Ketika banyak orang berebut mencari surat rekomendasi partai untuk maju sebagai calon kepala daerah, bahkan ada diantaranya yang membeli tanpa ragu. Ibu Risma, panggilan akrabnya, justru menolak berkali-kali. Walikota Surabaya ini lebih memilih menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya di Suabaya sampai tuntas, dibandingkan menaikkan kasta politik dan popularitas. Ketika yang lain masih berpikir bagaimana pola, aturan, hirarki, system dan jalan untuk membantu musibah kesehatan serta kemiskinan Suku Asmat di Papua, yang ramai menjadi pemberitaan media itu, Ibu Risma langsung tanggap mengkoordinir bantuan kemanusiaan dan mengkoordinirnya langsung melalui Pemkot Surabaya untuk mengirimkan bantuan ke Papua secara nyata.
Selaras dengan sepak terjang Ibu Risma, penulis mencatat dari Doktrin Athena, yang diambil dari buku The Athena Doctrine : How Women (And The Men Who Think Like Them) Will Rule the Future, yang dituliskan John Gerzema dan Michael D’Antonio. Dalam buku ini menawarkan gagasan bahwa nilai feminitas akan mampu menyelesaikan problem di dunia, bahkan hal yang tersulit sekalipun. Lalu bagaimana membangun kehidupan di masa depan yang lebih baik lagi. Nilai-nilai feminism yang dimaksud adalah kasih sayang, berbagi, komunikatif, merawat, mendidik. Fakta ini berbanding terbalik dengan nilai-nilai maskulin seperti menguasai, mendominasi, dan mendoktrin.
Jadi catatan dari Doktrin Athena ini, bisa pula dijadikan sebagai barometer para pemilih, terutama bagi perempuan untuk melihat kualitas para calon pemimpin daerah untuk lima tahun ke depan. Pun dari dedikasi Ibu Risma kita semua bisa mengambil pelajaran untuk totalitas dalam pengabdian membangun bangsa dan negara, agar pencapaian hasil kinerja bisa terukur, dan seberapa besar manfaat yang bisa dirasakan oleh rakyat atas hasil kepemimpinannya itu. Dan sudah saatnya pula perempuan mengambil peranan penting untuk memilih, tidak hanya melihat figur sesuai dengan hati nurani, namun juga pertimbangan akal yang sehat. Sebab ke depan bukan tidak mungkin hari ini kita yang memilih, akan menjadi orang-orang pilihan calon-calon pemimpin masa depan bangsa ini. Melalui role mode Ibu Risma dan Doktrin Athena mari kita bersiap menyambut pesta demokrasi Pilkada Serentak 2018 ini.
Penulis Adalah Aktivis Perempuan, Penggila Baca, Penyuka Sastra dan Hobi Menulis. Tinggal di Indramayu
Menyukai ini:
Suka Memuat...