Sekian tahun yang lalu, ketika mengikuti sebuah acara besar di gedung pertemuan, di sebelah saya duduk seorang gadis cantik berhijab. Seperti kebiasaan saya jika duduk bersama orang lain—entah di bus, kereta, kapal laut maupun pesawat terbang—saya sering berinisiatif mengajak kenalan. Saat tahu bahwa dia wartawan media online, saya tanya, “Mbak, kapan beritanya dimuat.” Dengan tersenyum wartawati hitam manis ini berkata, “Sebentar lagi.”
Ternyata kata ‘sebentar lagi’ itu benar-benar sebentar, bukan dua bentar. Wkwkwk. Begitu saya buka gadget saya, berita itu sudah muncul. Asyik juga membaca berita yang acaranya sendiri sedang berlangsung. Susah menggambarkan betapa senangnya saya saat itu. Kalau itu, saya benar-benar merasakan euforia. Eureka! Eureka! Rasanya seperti mau bersorak gembira seperti Archimedes saat memasukkan tubuhnya ke bak mandi. Mirip juga dengan ‘Aha moment’ yang Newton alami saat ‘kejatuhan’ buah apel dan menemukan hukum gravitasi. Jika Arhimedes menemukan cara mengukur benda tidak berarturan, dan Newton memahami gravitasi, saya pun merasakan euforia effect dalam membaca berita. Benar-benar pertemuan dan penemuan yang menggetarkan. Pertemuan itulah salah satu pemicu yang membuat saya sekarang aktif menulis di beberapa media daring aras nasional seperti detik.com, Indovoices.com dan SerikatNews.
Waktu mengingat peristiwa itu, saya jadi teringat ucapan sahabat saya Bang Wepe yang mengatakan bahwa media cetak sudah, ‘so yesterday!’ Media massa cetak—senang tidak senang, mau tidak mau—segera saja menjadi obsolete. Belum lama ini, dalam kapasitas saya sebagai penulis—lebih khusus lagi penulis opini di media online—diundang untuk menghadiri diskusi dengan pokok pembicaraan, ‘matinya media massa cetak’.
Baca Juga: Kuda Troya dan Runtuhnya Benteng Kita
Setelah itu, tiga komunitas penulis di kota Semarang, mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam seminar sehari dengan tema menulis di media daring.
Bukan kebetulan jika pada saat itu, saya sedang membereskan ‘perpustakaan pribadi’ saya. Rumah saya, bagi yang pernah mampir, lebih mirip perpustakaan ketimbang rumah tinggal. Buku menjadi benda paling dominan di rumah saya. Di samping tempat tidur saya pun, ketebalan buku di sana lebih tebal dari bantal saya he, he, he. Berapa pun jumlah lemari buku yang saya sediakan, selalu tidak bisa menampung jumlah buku yang saya beli atau dikasih orang lain. Berapa banyak pun buku yang sudah saya lahap, masih terus ada buku yang belum saya baca, bahkan saya keluarkan dari pembungkusnya. Jika rekan-rekan dosen menyebut saya ‘kutu buku’, saya lebih senang menjuluki diri sendiri ‘predator buku’. Wkwkwk. Sahabat saya Wahyu Pramudya menganjurkan saya untuk membeli Kindle Paperwhite. “Biar membacanya tidak capek,” ujarnya.
Kembali ke perjumpaan saya dengan wartawati media daring di atas, saat ini setiap detik berharga. Apa yang terjadi saat ini—di belahan bumi mana pun—dengan sekejap bisa kita ketahui lewat sentuhan jari ke gadget kita masing-masing. Meskipun sampai detik ini saya masih berlangganan koran, namun media massa cetak ini lebih saya pakai untuk mencari inside atau indepth news. Untuk berita terkini, saya tetap mengandalkan media online. Tiap kali ada mahasiswa saya atau orang bertanya tentang berita tertentu, secara spontan saya berkata, “Buka gadgetmu!”
Every second counts Begitu judul buku yang dipampang besar-besaran waktu saya jalan-jalan keluar negeri. Isinya seputar perjalanan hidup Lance Amstrong, pebalap sepeda kelas dunia itu. Kemenangannya dalam Tour de France hanya 18 bulan setelah bergumul melawan testicular cancer menyentak setiap orang. Setiap detik berharga. Begitu juga bagi Amstrong. Satu detik bisa membawanya menjadi juara Tour de France. Satu detik jugalah yang menjungkalkannya dari ajang balap sepeda bergengsi ini saat dia memutuskan untuk memakai doping. Bagi pemegang gelar 7 kejuaraan Tour de France itu, satu detik keputusannya untuk memakai obat pembangkit tenaga justru merupakan titik tolak menuju titik nadir.
Apakah satu detik itu penting? PENTING SEKALI! Dalam tempo satu detik, orang bisa terpekur sedih karena kalah bertanding atau bersorak gembira saat meraih kemenangan. Dalam waktu satu detik, orang bisa gagal dan terpuruk, tapi bisa bangkit dan mendapatkan pengalaman yang berharga. Dalam satu detik, orang bisa mengambil keputusan yang buruk atau kesempatan yang berharga. Dari pengalaman saya mengikuti kuis ‘Siapa Berani’ bertahun-tahun yang lalu bersama rekan-rekan di IKAPI, telat memencet tombol jawaban sepersekian detik saja bisa membuat runyam. Kemenangan dan kekalahan di dalam kuis yang dipandu Helmi Yahya dan Alya Rohali itu bisa terjadi hanya dalam hitungan detik—lebih tepatnya kurang dari satu detik! Meskipun akhirnya tim kami membawa kemenangan, saat saya merenungkannya sekarang, kemenangan itu bukan hanya karena kami menjawab benar, melainkan karena lebih cepat sepersekian detik dibandingkan tim lain.
Seberapa penting—dan genting—satu detik itu? PENTING DAN GENTING SEKALI. Bukan hanya salah dan benar di dalam mengambil keputusan, tetapi juga bicara hidup dan mati. Orang konon bisa tahan tidak makan selama 40 hari, tidak minum selama 4 hari, tapi tidak bisa bertahan satu detik saja jika kehilangan yang satu ini: HARAPAN. Hanya 1 detik saja, orang yang putus harapan bisa bermata gelap dan menyayat pergelangan tangannya sendiri. Satu detik kehilangan harapan bisa membuat seseorang melompat dari jendela apartemennya. Di sinilah ucapan St. Paul menemukan kebenaran dan momentumnya: “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!”
Saya salut, sekaligus memberikan apresiasi, kepada para pengelola media daring yang berjibaku untuk tidak menyebarkan berita hoaks, bahkan menjadi salah satu garda terdepan untuk memeranginya. Di jemari tangan orang yang termakan berita bohong, satu detik bisa memantik emosinya dan ikut menyebarkan berita sampah semacam ini. Sebaliknya, jemari orang bijak, hanya men-share berita baik yang kredibel sekaligus membawa kemaslahatan bagi banyak orang. Bagi pengelola media daring, satu detik sungguh-sungguh berarti. Tanpa terasa detik-detik yang kita lalui berubah jadi menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun. Rasanya hanya sekejap saja sebentar lagi kita melewati tahun baru.
Saat mengikuti diklat jurnalistik puluhan tahun yang lalu, akrab di telinga saya jargon “Kabar buruk adalah kabar baik.” Namun, di zaman now, kabar baiklah yang seharusnya menjadi kabar baik yang layak di-publish dan di-share. Keputusan untuk pindah link atau membagikan tulisan di link hanya membutuhkan waktu satu detik. Kita perlu bijak menggunakan jemari kita. Pastikan kita hanya menulis, mem-publish dan men-share kabar yang bukan saja baru tetapi baik.
Every second counts, so make that one second count for you!
Penulis Pelukis Kehidupan di Kanvas Jiwa
Menyukai ini:
Suka Memuat...