Kini dunia sedang dilanda cobaan yang sangat berat, sebuah virus yang sangat kecil tak kasat mata tengah mengguncang dunia. Kehadirannya yang sangat menakutkan menuntut manusia untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah, dan dapat menyebabkan pengidapnya meninggal dunia. Virus yang akrab disapa Covid-19 ini telah di tetapkan sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020 yaitu penyakit yang menyebar luas. Kedatangan pandemi Covid-19 menuai beberapa respons komunitas tertentu.
Dalam kacamata pandang sains sebagai rasionalitas manusia mengatakan bahwa asal mula virus ini berawal dari hewan kelelawar mati yang diperjualbelikan di pasar Wuhan, Cina. Pandangan dari beberapa komunitas beragama mengatakan bahwa munculnya virus ini sebagai hukuman atau azab dari Tuhan karena tingkah manusia yang sudah di luar kendali. Kini pemerintah setempat telah melakukan berbagai upaya menanggulangi percepatan penyebaran virus Covid-19. Lantas, bagaimana agama berperan dalam penanggulangan virus ini? Apakah agama seketika tunduk kepada sains? Apakah agama tidak dapat menolong pemeluknya?
Indonesia merupakan negara yang mewajibkan bagi masyarakatnya untuk memeluk salah satu agama dari beberapa agama yang diakui. Dalam perspektif sosio-antropologi agama, agama merupakan budaya yang meliputi sistem keyakinan yang dianut, dan dikatakan kebudayaan karena terdiri dari manusia yang merupakan satu kesatuan dan pendukung kebudayaan. Seorang ahli Antropologi Austria, Malinowski mengatakan bahwa agama merupakan pengembangan konsep dari kebudayaan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar individu. Dapat dikatakan sebagai kebutuhan dasar karena berpengaruh terhadap kehidupan yang memuat sistem yang terdiri dari norma-norma tertentu.
Sosio-antropologi agama kemudian merincikan menjadi 5 bagian aspek utama; Pertama, emosi keagamaan yaitu mempunyai sikap serba religi. Kedua, sistem keyakinan, terdiri dari wujud pemikiran dan gagasan manusia dan sistem ajaran kesusilaan, ajaran dan doktrin. Ketiga, komponen sistem ritus dan upacara, dalam wujud aktivitas dan tindakan. Keempat, komponen alat, sebagai sarana dan peralatan. Kelima, umat agama, sebagai kesatuan sosial, dan kesatuan komunitas.
Di saat kelangsungan pandemi Covid-19, semua kegiatan keagamaan dihentikan dan dialihkan di rumah masing-masing, khususnya Islam pada tanggal 24 Mei 2020 telah merayakan hari besarnya yaitu Hari Raya Idul Fitri. Pelaksanaan hari besar ini dilakukan dengan model yang tidak serentak, contohnya MUI Jawa Timur memperbolehkan melakukan peribadatan di masjid kota yang pada akhirnya dibatalkan oleh pemerintah setempat akibat angka kenaikan pasien terjangkit, di beberapa dusun yang diperbolehkan melaksanakan karena termasuk zona hijau atau aman dari Covid-19 dan lain-lain. Kondisi ini seakan–akan memperlihatkan bagaimana sebuah virus menaklukkan aktivitas keagamaan seolah ingin menghilangkan aktivitas atau budaya keagamaan.
Pembatasan Sosial Berskala Besar memaksa masyarakat untuk beribadah di rumah masing-masing. Namun, kebijakan tersebut disalahartikan, kebanyakan dari mereka hanya sibuk dengan Gadget pribadinya, rebahan sepanjang hari, keluar rumah tanpa ada kepentingan. Awalnya menyarankan untuk beribadah di rumah malahan tidak beribadah sama sekali. Hal ini sekarang yang mulai menjadi problem di masyarakat.
Di dalam ajaran agama terdapat doktrin tertentu untuk melakukan kebaikan–kebaikan. Seseorang yang mempunyai iman yang baik yaitu yang melaksanakan ajarannya dan menjauhi larangan yang telah disepakati dalam komunitas keagamaan. Jika ditarik benang merahnya, warga Indonesia belum bisa meyakini dengan kuat ajaran agama masing-masing, kebanyakan dari mereka hanya meyakini dengan ikut-ikutan saja. Terdapat sebuah kasus yang menyebabkan angka kenaikan pasien terjangkit karena PSBB mulai dilonggarkan seperti bandara mulai beroperasi dan kelonggaran yang lainnya, bahkan sejak PSBB diterapkan sudah banyak masyarakat tidak menghiraukannya.
Pandangan sosiologi-antropologi agama yang terdapat dalam sistem keyakinan, menjelaskan bahwa di dalamnya terdapat ajaran kesusilaan, ajaran doktrin religi yang mengatur. Sistem ini berkaitan dengan apa yang sedang terjadi sekarang yaitu sebagian masyarakat tidak melaksanakan ajaran kesusilaan. Setiap agama mengajarkan untuk tidak mencelakai orang lain. Jika dikaitkan dengan kondisi sekarang, orang yang melanggar aturan pencegahan penyebaran Covid-19 adalah orang yang tidak melaksanakan ajaran kesusilaan dalam agamanya. Mereka membiarkan virus ini menyebar luas dan menjangkit orang lain. Di sinilah dapat dilihat kembali begitu besarnya peran agama dalam penanggulangan Covid-19.
Tidak hanya itu, dalam perincian sosio-antropologi agama terdapat umat beragama yang di dalamnya terdapat bagian kesatuan solidaritas dan kesatuan komunitas. Dalam artian, dengan adanya rasa solidaritas agama dan diiringi rasa kemanusiaan, seseorang akan tergerak untuk melakukan kegiatan-kegiatan guna membantu orang lain dalam melewati cobaan yang tengah melanda berbagai negara di dunia ini. Selanjutnya, jika aktivitas atau kegiatan diiringi dengan emosi keagamaan yaitu sikap serba religi, seseorang akan merasa tenang karena umat beragama akan meyakini bahwa setiap perbuatan kebaikan nantinya akan dibalas kebaikan pula oleh Tuhannya.
Jika disimak kembali dalam kacamata sosio-antropologi agama, bencana wabah yang tengah terjadi tidak bisa memosisikan agama sebagai sistem yang vakum. Di saat seperti inilah kita bisa mengevaluasi kembali status keagamaan diri kita, apakah hanya sekedar status di KTP atau benar-benar meyakini dan menjalankan sistem keyakinan dan aspek yang lain. Sudah saatnya kita bangkit kembali, mendekatkan diri kepada Tuhan, semua yang telah direncanakannya selalu mempunyai hikmah. Mari bersama berdoa kepada Tuhan agar pandemi Covid-19 ini segara berlalu.
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Menyukai ini:
Suka Memuat...