Di tahun 2017 seorang anak bangsa berhasil dijebloskan paksa ke dalam penjara oleh sekelompok masyarakat yang dimobilisasi oleh para politisi busuk. Anak bangsa bernama Basuki Tjahaja Purnama (BTP), yang lebih dikenal sebagai Ahok itu dianggap menista agama karena telah mempertanyakan perilaku para pemuka agama yang terus menerus menjajakan Surat Al-Maidah ayat 51 untuk mendiskriminasinya. Beliau dipenjara meskipun bukti-bukti menunjukkan bahwa ia tidak bersalah, baik bukti linguistik maupun dari tafsir agama.
Pasal karet penistaan agama ini telah terbukti dipergunakan semena-mena oleh oknum agama mayoritas untuk menekan masyarakat agama minoritas. Bukan hanya BTP yang menjadi korban, tetapi juga Ibu Meiliana, seorang ibu yang mempertanyakan betapa kerasnya volume pengeras suara pada saat panggilan adzan. Pertanyaan ibu tersebut malah dianggap sebagai sumber provokasi yang menimbulkan tindak anarkis pembakaran rumah ibadah. Sementara sang ibu dihukum 18 bulan atau 1,5 tahun, para pelaku pembakaran rumah ibadah malah hanya dihukum di bawah 3 bulan penjara.
Sayangnya, pasal penistaan agama ini tidak berlaku untuk oknum kaum mayoritas itu sendiri: mereka menggunakan standar ganda untuk menyudutkan orang lain sesuai pesanan, tetapi tidak bersikap adil untuk memberikan hukuman yang sama pada pelaku dari kalangan mereka sendiri. Lihatlah betapa banyaknya tokoh-tokoh kelompok mereka yang terang-terangan menista agama, baik agama mereka sendiri atau agama-agama lain yang sebenarnya dilegalkan dan dilindungi di Indonesia. Sebut saja Rizieq Shihab, yang sekarang tidak diketahui nasib kewarganegaraannya, karena ia telah mengungsi sejak dikenai sejumlah kasus penistaan agama, perbuatan tidak menyenangkan, dan mengejutkannya, termasuk di dalamnya kasus ketidaksenonohan.
Belakangan pada kasus “Kitab Suci adalah Fiksi” yang dicetuskan oleh Rocky Gerung, seorang profesor bagi kaum mereka, tak seorang pun yang bereaksi sebagai pembela agama sebagaimana mereka “panas” mendengar kalimat BTP: “bahwa bila para warga tidak dapat memilih saya sebagai Gubernur karena DIBOHONGI PAKAI surat Al-Maidah 51 maka warga dipersilakan tidak menggunakan hak pilih untuk tidak memilih saya.” Padahal pernyataan “Kitab Suci adalah Fiksi” jauh memiliki muatan penistaan yang lebih berat daripada komplain BTP terhadap para pengguna ayat untuk membohongi masyarakat.
“Kitab Suci adalah Fiksi”, dikatakan oleh seorang yang berpendidikan, hanya menunjukkan betapa piciknya pemahaman manusia terhadap keluasan ilmu Sang Maha Pencipta. Bila hal tersebut dinyatakan di sebuah ruang diskusi privat, mungkin masyarakat masih boleh memahami hal tersebut sebagai upaya mencari kebenaran yang hakiki. Akan tetapi, ketika pernyataan tersebut dikeluarkan dalam ruang publik di mana tingkat kecerdasan dan pemahaman masyarakat tentang teks dan konteks wacana, apalagi filsafat, masih sangat terbatas, maka hal ini bisa menjadi pemicu keresahan dalam masyarakat.
Kitab suci sebagai kitab yang memuat Firman-Firman Ilahi, tentu tidak bisa dikatakan fiksi, karena fiksi adalah imajinasi manusia tentang sesuatu yang tidak terjadi. Apakah Firman Tuhan itu akan kita anggap sebagai imajinasi manusia? Tentu saja tidak boleh, karena Tuhan itu bukan manusia, dan jauh kekuasaannya di atas manusia sebagai Sang Pencipta. Kitab suci itu lebih tepatnya bersifat metafisik (divine) atau melampaui eksistensi makhluk hidup yang di dalamnya memuat sejarah alam semesta termasuk manusia, perintah dan larangan untuk manusia, serta masa depan alam semesta.
Lucunya, masyarakat pengekor Rocky Gerung, yang terbiasa “sumbu pendek” dan marah-marah tanpa mau berpikir ketika orang seperti BTP berujar tentang fakta agama, kini bagai kerbau dicucuk hidung mendengar penjelasan mengambang dari “profesor” kecintaan mereka. Jika dikonfrontasi tentang perilaku mereka yang berstandar ganda, atau tentang perilaku junjungannya, mereka hanya berkata dengan arogansi palsu, “hanya orang berakal sehat yang memahami pemaparan Profesor”. Tanggapan kurang lebih sama yang diberikan Rocky Gerung ketika orang-orang mempertanyakan keabsahan pendapatnya melalui media Twitter. Ia hanya akan mengatakan kalimat-kalimat merendahkan dengan kata wasiat, “Dungu!”.
Hal yang sama terjadi pada penistaan ulama. Mereka akan menjerit ke ujung langit ketika ulama mereka yang bertutur caci maki dan sumpah serapah akhirnya harus berhadapan dengan proses hukum. “Jangan kriminalisasi ulama kami, habibana kami” dan berbagai jargon kultus individu lainnya. Kalau memang mereka sungguh berakal sehat, seharusnya mereka dapat melihat bagaimana ulama-ulama yang mereka puja itu sesungguhnya telah menyeret Islam ke tengah peperangan politik yang kotor dan bergelimang harta haram. Merekalah yang menanamkan doktrinasi bahwa mengikuti mereka adalah kunci menuju surga, padahal siapa yang menempati surga dan neraka itu adalah hak khusus (prerogatif) Tuhan untuk memutuskan.
Di lain sisi, ketika seorang Kyai Maimoen yang sudah berusia lanjut salah menyebut nama dalam berdoa dan mengoreksinya kembali, umat yang merasa yakin bahwa Tuhan sudah pasti berada di pihak mereka ini segera menuduh dan menghakimi Kyai Maimoen dan menjadikan beliau bulan-bulanan serta disebutkan dalam puisi yang sangat merendahkan dalam karya seorang anggota Dewan bernama Fadli Zon. Tidak ada satu pun pihak oknum agama mayoritas pemilik surga ini yang membela sang Kyai, dan sebenarnya tidak perlu juga, karena Kyai Maimoen niscaya berada dalam pembelaan Tuhan.
Seluruh anggota masyarakat Indonesia harus mampu mempertanyakan keadaan yang terjadi di Indonesia belakangan ini, dan kita harus mampu mengkritisi fenomena ini dengan akal pikiran yang terbuka. Ketika kita mampu memisahkan mana yang pseudo atau palsu, dari yang nyata, niscaya kita akan mampu juga menentukan siapa yang patut kita dukung dan kita ikuti. Lihatlah bagaimana dan di mana para pelaku penistaan agama dan ulama yang sebenarnya berada, dan jangan berada satu kelompok dan berkomplot dengan mereka.
Menyukai ini:
Suka Memuat...