SECARA umum perilaku abusive baik verbal dan nonverbal adalah tindakan terlarang. Sebab, berdampak negatif secara fisik dan psikologis bagi korban, terlepas apakah dia perempuan atau laki-laki. Turunan dari perilaku abusive umumnya berbentuk bentakan, kekerasan fisik, dan tekanan psikologis.
Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Sumenep adalah rahasia umum yang baru terpublikasi sedikit saja. Di Kota Keris, gerakan media kabar online sudah mulai masif beberapa dekade terakhir.
Sebagai tindakan yang merugikan perempuan, bahkan berujung penghilangan nyawa, tentu ada hukum tertulis beserta sanksi yang mengaturnya. Namun miris, kehidupan di Sumenep tetap seperti hukum rimba, yang kuat (fisik dan finansial) pasti berkuasa menentukan nasib.
Jika ditarik dalam hukum kausalitas, hal tersebut merupakan kesinambungan dari problem klasik yang ada di Sumenep, di antaranya pernikahan dini, lemahnya supremasi hukum, dan lemahnya kesadaran hukum. Selain itu, lemahnya ekonomi dan tidak ada penanggulangan terhadap pelaku dan korban.
Pernikahan dini menjadi faktor utama, karena jika tidak ditopang dengan kematangan karakter dan ekonomi yang stabil, maka akan melahirkan hubungan yang anomali. Sebut saja peristiwa yang baru-baru terjadi seperti cemburu buta dan cekcok tak berkesudahan.
Dalam lingkungan yang semi primitif, sebagian perempuan menganggap KDRT adalah aib keluarga, sehingga memilih diam, dan tidak ada kemampuan untuk melaporkan. Mereka menganggap verbal abusive adalah kewajaran, sehingga orang-orang sekitar abai dan harus viral dulu agar diperhatikan.
Bobroknya supremasi hukum di Sumenep menjadi ruang para pelaku masih bebas berkeliaran dan mendapat penerimaan dari lingkungannya untuk terus berinteraksi sehari-hari. Sanksi ringan seperti inilah yang membuat problem terus berputar dan berantai.
Mengapa Perempuan?
Dilansir dari rri.co.id, melalui data Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinsos P3A Sumenep mencatat ada 33 kasus yang menimpa perempuan dan anak sepanjang tahun 2023. Masalah tersebut tentu krusial mengingat sebagian besar data yang muncul ke permukaan adalah kasus yang korbannya sudah tahap ‘parah’, bahkan tak tertolong.
Sebut saja kasus yang terjadi di Desa Gadu Barat, Ganding Sumenep pada tahun 2017 lalu. Kasus pembunuhan dan pemerkosaan yang menimpa Alm. Titin sampai sekarang tidak menemukan titik temu hingga bertahun-tahun lamanya.
Padahal dari hasil otopsi jenazah yang sudah membusuk di duga sekitar 7 orang pelaku memperkosa dan membunuh. Mirisnya, hingga kini tidak ada tindakan keadilan dari lembaga yang bertanggung jawab atas musibah yang menimpa korban beserta keluarga. Pemerintah abai, dan penegak hukum bobrok.
Perempuan tidak jarang menjadi sasaran empuk karena Sumenep masih kental tradisi adat dan budaya klasik serta cenderung patriarkis. Selain gerakan pemberdayaan perempuan, pemerintah mestinya memastikan lingkungan yang aman dan nyaman bagi perempuan untuk hidup dan beraktivitas.
Dalam ranah sosial, sia-sia perempuan berakselerasi menjadi cerdas dan berdaya, namun hidupnya dipangkas karena tidak ada lingkungan aman. Begitu juga dalam ranah rumah tangga, hidup perempuan bergantung pada arif tidaknya suami sebagai pemimpin.
Sumenep darurat, jika masyarakat dan pemerintahnya apatis. Kondisi masyarakat khususnya perempuan adalah perhatian semua pihak untuk melakukan pencegahan sebelum krusial, bukan FOMO dan bergerak ketika kondisinya mencekam.
Mahasiswi TI Universitas Annuqayah dan Founder Setara Perempuan
Menyukai ini:
Suka Memuat...