Setelah Revolusi Bolshewik berhasil menumbangkan Tsar di Rusia pada 1917, ramalan Karl Marx bahwa kapitalisme sedang menggali lubang kuburnya menghantui seluruh Eropa baik kalangan monarki kerajaan maupun pemerintahan yang memiliki tanah jajahan di seberang lautan. Hantu komunis yang menyerukan revolusi sosial bagai momok bagi negara imperialis baik kaum feodalnya maupun borjouisnya di tanah airnya sendiri maupun di koloni jajahannya. Di Jepang para penguasa dikejutkan oleh pergerakan buruh, rakyat Cina terbangun membentuk organisasi, di Hindia Inggris dan Mesir rakyat mulai bergerak. Berita-berita mengenai bangkitnya kesadaran bumiputera di Hindia Belanda menjadi berita besar di surat kabar nasional di Nederland.
Pada 1922, harian De Locomotief mewakili Pers Belanda menulis pada waktu Tan Malaka tertangkap:
“Tan Malaka, yang tertangkap karena mengeluarkan tulisan-tulisan anti Belanda, anggota dewan gemeente Semarang, kepala sekolah SI di sini, tidak banyak menonjol, sekalipun ia menggantikan Semaun sebagai PKI setempat. Siapa yang pegang kaum muda, pegang masa depan, dan karena yang belakangan ini dilihatnya dalam cahaya merah darah yang dipancarkan fajar komunis, maka sekolah-sekolah SI sepenuhnya dibawa ke arah anti-Belanda, dan inilah yang sudah tentu menjadi salah satu alasan pokok mengapa ia tidak mungkin boleh tinggal lebih lama di Jawa.”
Pada tanggal 29 Maret 1922 berangkatlah kapal Insulinde dari Tanjung Priok yang mengangkut Tan Malaka menuju pembuangan ke Negeri Belanda. Najoan naik kapal untuk berpamitan. Pada tanggal 1 April kapal itu berlabuh di Padang. Tan Malaka tidak boleh turun ke darat. Ia tetap di atas kapal, dengan penjagaan ketat. Setiap orang tua yang naik kapal membuat hati Tan Malaka berdebar-debar, kalau-kalau orang tua itu orangtuanya sendiri. Tetapi adiknya melarang orangtuanya datang di pelabuhan karena merasa khawatir bahwa perjumpaan mereka dengan Tan Malaka akan terlalu mengguncangkan jiwa mereka. Orangtua Tan Malaka tetap tinggal di desa, tetapi terus berdoa bagi keselamatan anaknya. Banyak pemimpin rakyat datang dari Padang untuk berjumpa dengan Tan Malaka. Di antara mereka itu banyak juga yang tidak tahu bahwa Tan Malaka pun berasal dari daerah mereka, karena “gelar datuk” –nya sering tidak dicantumkan di depan namanya. Tan Malaka ketika itu tahu bahwa belum ada pergerakan komunis di Minangkabau. Ini, pada hematnya, akibat kesengsaraan yang dialami rakyat di sana tidak begitu hebat seperti di Jawa Tengah. Perdagangan dan pendidikan ada di tangan sendiri. Jika partai-partai nasionalis di Minangkabau mendapatkan program komunis, maka mereka akan menjadi kuat sekali karena Minangkabau sifatnya memang ingin berdiri sendiri dan adat mereka mudah dapat dikaitkan dengan komunisme.
Surat kabar komunis Sinar Hindia, Soera Ra’jat memuat surat-surat perpisahan dari Bergsma dan Tan Malaka. Artikel-artikel ini juga dimuat di harian-harian Eropa. Pada tanggal 1 Mei H. Roland Holst menulis di surat kabar Het Vrije Woord sebuah artikel perpisahan.
“Kita sungguh-sungguh kehilangan seorang yang sangat diperlukan dan yang tidak dapat digantikan dengan begitu saja. Setiap orang yang menyaksikan perpisahannya dengan kawan-kawannya, yang tua dan yang muda, akan mengetahui bahwa sekalipun Tan Malaka hanya sebentar hidup di tengah-tengah kita, ia telah mendapatkan tempat yang abadi di dalam hati kita dan tidak dapat diusir dari tempat itu dengan kekuatan apa pun juga. Siapa saja yang telah melihat betapa para gadis, pemuda, kaum ibu, dan kaum bapak bercucuran air mata ketika mendengar kata-katanya bahwa ia harus berpamitan dengan mereka, akan merasakan bahwa telah ada sesuatu yang bangkit di dalam jiwa rakyat yang tenang dan ramah ini, bahwa mereka sudah tahu. Itulah yang menjadi pelipur lara bagi kawan kita di mana pun ia harus mengembara jauh dari negeri dan bangsa yang begitu dicintainya. Kawan Malaka, kawan-kawan di negeri yang indah dan besar ini memberi hormat padamu di mana pun kau akan berada, kau akan mendengarkan getaran hati yang hangat dari kawan-kawanmu di negeri tropis, tanah airmu. Selamat jalanlah dan sampai jumpa lagi, kawan-kawan tetap menjaga, karena Sekarang mereka berkembang, seperti kau berkembang, dengan panjimu di tangan dan keberanianmu di hati, dengan kepala sedikit membungkuk ke arah masa depan, Mendegarkan suaranya dari jauh, dan mata kita merasakan di tengah linangan air mata geloranya.
Kedatangan Tan Malaka di Negeri Belanda pada 1 Mei 1922, dimanfaatkan dengan baik oleh Partai Komunis Belanda sebagai alat kampanye dan propaganda dan diliput oleh pers Belanda. Kedatangan Tan Malaka ini semakin memperhebat momok komunis di kalangan borjuis dengan seorang pahlawan pembebas tanah air. Popularitas pahlawan komunis dari Hindia ini harus dinetralisir bagi generasi muda Eropa agar pengaruh merah menurun popularitasnya. Pemberontakan komunis di Hindia pada 1926-1927 menempatkan peristiwa itu pada berita utama koran-koran di seluruh negara Borjuis terutama di Daratan Eropa. Begitu juga berita pengusiran Tan Malaka dari wilayah Filipina menghiasi berita utama berbagai pers dunia. Popularitas dan naik pasang komunis ini tentu mencemaskan para pemodal di dunia pers Eropa. Untuk itu perlu dilakukan propaganda balik melalui seorang pahlawan kebebasan dari Demokrasi Eropa. Di tengah situasi inilah komik Tintin diciptakan di Belgia yang bertetangga dengan Negeri Belanda dan mengikuti gejolak rakyat jajahan.
TINTIN
Tintin membuat semua orang kagum karena tahan banting. Meskipun menghadapi rintangan berat dari para musuh dan penghalang, reporter yang cerdas ini terbukti tak terkalahkan dan dapat dianggap tidak bisa mati. Herge tidak bisa menghentikan langkah Tintin – meskipun sang reporter terjebak bahaya besar dalam gambar-gambar terakhir Tintin dan Alpha Art yang tidak selesai. Mulai dari awal yang ragu-ragu dan sederhana pada bulan Januari 1929, Tintin menundukkan panggung dunia. Presiden Prancis Charles de Gaulle pernah mengatakan Tintin adalah “satu-satunya rival internasionalnya”. Mulai sebagai remaja Belgia dengan latar belakang kepanduan yang ingin mengenal dunia dan memperbaikinya, Tintin dengan cepat menjadi figur internasional, inspirasi bagi generasi muda di seluruh dunia, tanpa memandang perbatasan negara atau budaya. Banyak yang menduga bahwa setelah kematian Herge pada Maret 1983, dan keinginannya bahwa tanpa dirinya tidak boleh ada petualangan Tintin yang baru, sukses fenomenal sang reporter selama lima puluh tahun sebelumnya akan memudar sejalan dengan waktu. Mereka pikir Tintin telah lelah, sama seperti Herge yang capek menghadapi penyakit dalam beberapa tahun terakhir hidupnya. Tapi mereka salah. Tintin terus berlanjut, petualangannya terus dibaca semakin banyak orang dalam semakin banyak bahasa – jumlahnya luar biasa, yaitu lebih dari 200 juta kopi buku terjual dalam lebih dari 60 bahasa. Sepertinya Tintin akan sama populernya pada abad ke-21, seperti pada abad ke-20.
Tanpa keluarga dan dengan usia yang tidak dapat dipastikan, ia pemuda yang sangat baik, dan semua bisa merasa mengenal Tintin. Tintin, pahlawan tak terkalahkan dalam petualangan-petualangan yang menyandang namanya, adalah selebritas yang dengan unik berhasil mengombinasikan ketenaran dengan kerahasiaan asal-usul dan kehidupan pribadi. Dalam hal itu, juga dalam banyak hal lain, dia sangat mirip penciptanya, Georges Remi, atau yang lebih dikenal sebagai Herge.
Herge menciptakannya dengan terburu-terburu pada Januari 1929, untuk membantu mengisi Le Petit Vingtieme, suplemen koran anak-anak mingguan. Herge yang waktu itu masih 21 tahun bertanggung jawab menyunting suplemen tersebut. Herge harus berpikir cepat, sifat yang segera menjadi kekuatan tokoh yang akan diciptakannya.
Herge lahir di Brussels, 22 Mei 1907. Sejak kecil dia senang menggambar di buku-buku catatannya dan di pinggiran halaman buku latihan sekolah. Menurut Herge sendiri, salah satu subjek favoritnya di saat-saat sulit Perang Dunia I (1914-1918) itu adalah anak laki-laki menyerang Boches (bahasa prokem untuk orang Jerman), melalukan sabotase dan memata-matai mereka. Saat itu kota tempat tempat tinggalnya, Brussels, diduduki Jerman. Sayangnya tidak ada gambar masa kecil ini yang selamat.
Beberapa tahun kemudian, menggambarkan kegemarannya pada kegiatan kepanduan, Herge menciptakan karakter pandu bernama Totor, yang digambarnya untuk Le Boy-Scout belge. Totor digambarnya dengan gaya kartun baris, bentuk yang masih relatif baru di Eropa, meskipun sudah berkembang di Amerika. Herge menggunakan balon percakapan berisi kata-kata aneh yang ditekankan dengan banyak tanda seru dan tanda tanya. Itulah awal kartun baris modern.
Kegiatan kepanduan sendiri merupakan masa-masa menggembirakan selama masa kecil Herge, yang disebutnya pada koran Paris Le Monde Februari 1973 sebagai “sangat kelabu” dan, “tentu saja aku punya kenangan, tapi kenangan ini tidaklah cerah atau berwarna sebelum aku ikut kepanduan.”
Kemampuan alami Herge menggambar tampak dalam Le Vingtieme Siecle. Setelah lulus sekolah, dia pertama kali mendapat pekerjaan sesungguhnya pada majalah tersebut, dan sebenarnya dipekerjakan pada bagian urusan pelanggan. Tapi tak lama kemudian dia mulai diminta menyediakan gambar dan vinyet untuk berbagai bagian koran tersebut, entah itu fashion perempuan untuk Votre “vingtieme” Madame atau adegan-adegan ilustratif bagi halaman seni dan buku, karena saat itu koran jarang memakai foto. Ketrampilannya sebagai ilustrator membuat Pastor Norbert Wallez, direktur koran Katolik itu, menjadikannya penanggung jawab suplemen anak-anak yang diterbitkan setiap Kamis. Saat ia memikirkan apa yang harus dilakukannya bagi La Petit Vingtieme, pikiran Herge dipenuhi sosok Totor, dan sang pandu yang tak terkalahkan inilah yang menjadi pendahulu Tintin dalam segala hal: penampilan, kepandaian, kebaikan, bahkan juga pengulangan namanya yang mudah diingat.
Tintin mengambil semua sisi baik Totor sejak awal penampilannya pada 10 Januari 1929, berangkat naik kereta dari Brussels menuju petualangan berbahaya di Uni Sovyet yang bergolak. Tintin, kata Herge kemudian pada Numa Sadoul, dalam beberapa hal adalah “adik Totor, Totor yang berubah menjadi wartawan tapi selalu memiliki semangat pandu”.
Herge tidak punya banyak waktu untuk memikirkan tokoh baru ini. improvisasi pada Tintin, yang paling nyata gambarnya yang sederhana: kepala bundar, hidung kancing, dua titik sebagai mata, bakal jambul – beberapa goresan pensil – ternyata justru merupakan kunci sukse instan tokoh ini. Dia fleksibel, jelas, tapi anonim. Anak mana pun, atau bahkan orang dewasa, bisa langsung mengidentifikasi diri dengannya. Usia dan latar belakang budaya menjadi tidak penting.
Bekerja pada kantor surat kabar yang sibuk merupakan pengalaman menggairahkan bagi Herge muda yang sangat terbuka pada ide-ide, kagum pada berita-berita terbaru, dan topik-topik hari ini. Dia juga rajin mengamati berbagai detail visual. Seperti wartawan, dia memanfaatkan perpustakaan koran sebelum menciptakan arsipnya sendiri yang terus dikembangkannya sampai akhir hayat. Arsip pribadi ini menyediakan materi mentah penting saat Herge mengerjakan petualangan-petualangan Tintin. Herge selalu tertarik pada berita terakhir, membaca tidak hanya koran Belgia, tapi juga koran luar negeri. Koran-koran Amerika memberinya contoh kartun baris paling baru yang berkembang di seberang Atlantik.
Di tengah segala kehebohan seperti itu, Herge bisa bermimpi menjadi reporter terkenal, koresponden luar negeri yang disukai banyak orang seperti Albert Londres, yang bukan sekadar melaporkan tapi juga menciptakan berita. Londres hilang berikut kapal Prancis Georges-Philippar yang tenggelam di Laut Merah setelah kebakaran misterius 1932. Saat itu dia dalam pelayaran kembali ke Eropa dengan janji membawa berita yang belum terungkap. Saat ia mencari-cari pahlawan untuk suplemen koran anak yang baru, kenapa tidak reporter – seperti Londres? Jadi Tintin muncul, menjadi reporter, profesi yang sebenarnya diinginkan Herge sendiri.
Dalam wawancara dengan majalah Lire Desember 1978, Herge mengakui bahwa melalui Tintin dia bisa mengalami kehidupan reporter. Dia bisa – dan tekanan pekerjaan memaksanya begitu – tinggal di Brussels, menjadi petualang ruang duduk, sambil mengirim Tintin ke nyaris semua penjuru dunia.
Tintin awalnya berangkat membawa kamera dan buku catatan untuk menuliskan reportase bagi LePetit Vingtieme, tapi kita jarang melihatnya mengirimi laporan. Ada saat unik dalam Tintin di Tanah Sovyet ketika kita melihatnya menuliskan laporan yang jauh lebih panjang daripada yang diminta redaktur mana pun. Duduk di meja, dia berkata, “Aku harus membuat artikel yang bagus…..” dan, beberapa jam kemudian, setumpuk kertas bertulisan tangan di sekelilingnya, dia bertanya, “Apakah ini sudah cukup?” Dia memasukkan sebagian besar ke amplop dan mengajukan pertanyaan penting jurnalisme pra-abad ke-21: “Nah, sudah selesai. Tapi bagaiman mengirimkannya ke kantor?”
Dalam petualangan selanjutnya, Tintin di Congo, Tintin menjadi reporter yang berkembang – peran yang cocok baginya. Dia membuktikan dirinya mendukung jurnalisme foto dengan memotret jerapah, banteng, dan hewan liar Afrika lain. Tintin dielu-elukan pers lokal setelah membongkar rencana Al Capone mengontrol produksi berlian di Congo (yang masih jajahan Belgia) dan menangkap para gangster. Setelahnya, dalam edisi hitam-putih awal, kita melihat Tintin berdandan rapi dengan jas double-breasted, tampak sangat mirip dengan Bill Deedes muda. Bill Deedes adalah koresponden Morning Post yang saat itu (1935) akan berangkat meliputi perang Italia-Abisinia. Dia juga menjadi model tokoh Boot di The Beast dalam novel Evelyn Waugh yang lucu, Scoop.
Saat petualangan berlanjut, semakin banyak artikel koran yang memuat tentang Tintin – meski bukan yang ditulis olehnya. Dalam versi asli Lotus Biru, gambar pertama adalah artikel koran berjudul ”De Nouvelles de Tintin” (“Kabar dari Tintin”) yang menceritakan peristiwa pada akhir petualangan sebelumnya (Cerutu Sang Firaun), di bagian akhirnya ada inisial G.R. – jelas Georges Remi.
Di akhir Lotus Biru, Berita Shanghai memuat berita utama tentang penyelamatan Profesor Fang Hsy-ying dan penangkapan para penyelundup narkoba di bawah judul “Kisah Tintin”. Kisah ini merupakan hasil wawancara wartawan berinisial L.G.T.
Mulai dari menjadi reporter investigasi, Tintin berkembang menjadi detektif. Milo dan yang lain sering menyebutnya sebagai Sherlock Holmes. Dan memang banyak kemiripan antara dirinya dan detektif Inggris terkenal itu – termasuk mata tajam yang selalu mengamati detail, kemampuan deduksi yang kuat, dan kemampuan menyelesaikan masalah. Seperti Holmes, Tintin pandai menyamar, dan dalam diri Rastapopoulus-lah dia menemukan musuh utamanya, selalu berhadapan dengannya seperti Moriarty berhadapan dengan sang pahlawan rekaan Conan Doyle itu.
Saat petualangan berkembang, Tintin semakin menikmati menjadi petualang. Dia mencapai puncaknya yang paling patut dikenang dengan langkah-langkah pertama di Bulan, kira-kira enam belas tahun sebelum astronaut Amerika Neil Arsmstrong.
Tintin tidak lagi menulis berita tapi malah membuat berita. “Tintin adalah diriku sendiri. Dia bayanganku yang paling terang, kembaranku yang sukses. Aku bukan pahlawan. Tapi seperti anak lima belas tahun mana pun, aku pernah bermimpi jadi pahlawan…. dan aku tidak pernah berhenti bermimpi. Tintin berhasil menjadi pahlawan sebagai ganti diriku,” kata Herge pada Le Monde Februari 1973.
Kesimpulan tentang Tintin adalah dia bisa melakukan sapa saja, terampil dalam segala hal. Herge sendiri pasti ingin seperti itu. Tapi lebih dari itu, Tintin jujur, ramah, baik hati, dan penuh kasih, juga rendah hati dan tidak mementingkan diri sendiri. Nilai-nilai yang jelas dimiliki Herge. Tintin juga sahabat yang setia, sesuatu yang berusaha dicapai Herge.
Mungkin ada sekelumit diri Tintin dalam diri kita semua dan jelas hidup kita ditandai saat-saat serta situasi-situasi yang bisa digambarkan sebagai Tintinesque – sangat mirip Tintin. Herge menciptakan pahlawan yang memiliki semua kualitas dan nilai manusiawi, serta tidak memiliki cela – meskipun sang reporter membiarkan dirinya agak mabuk sebelum menghadapi regu tembak dalam Si Kuping Belah. Dia memiliki kebaikan hati yang luar biasa dan dalam Tintin di Tibet, tempat hal ini sangat ditonjolkan, biarawan Kilat Terang dengan tepat memberinya nama Hati Mulia.
Petualangan Tintin menggambarkan abad lalu sementara sang reporter menjadi lambang kesempurnaan bagi masa depan. Bagi anak mana pun yang mengalami abad ke-20 penuh gejolak, Tintin panutan yang cocok. Para pembaca Le Petit Vingtieme, lalu Le Soir, dan akhirnya majalah Tintin, atau ke-24 buku petualangannya yang diterbitkan sepanjang lima puluh tahun, tidak mungkin melakukan apa pun selain mengikuti contohnya – dan menikmatinya. Tintin tetap menjadi inspirasi dan sumber kegembiraan pada abad ke-21, bagi para pembaca lama dan baru, dalam semua rentang usia – lebih luas daripada rentang yang disebutkan, 7 sampai 77 tahun – tanpa memandang jenis kelamin, dan di lebih banyak negara daripada yang berhasil didatanginya sepanjang karier keliling dunianya yang menakjubkan dan seru. Itu adalah pencapaian yang luar biasa buat sebuah karya fiksi.
Pacar Merah
Pacar Merah cetakan pertama keluar pada tahun 1938. M. Sjarqawi memberi kata pengantar mewakili penerbit:
“Publik bangsa Indonesia ternyata kian gemar berjinak-jinakan dengan literatur bangsanya. Sesudah terbit Spionage Dienst, segera mendapat sambutan yang simpatik. Demikian juga kaum terpelajar kita rela membuang waktunya untuk membaca cerita fantasi itu. Para pembaca serentak pula menyambut terbitnya roman itu dengan gembira; sehingga tak sedikit yang menganjurkan supaya dikarangkan sambungannya.
Pacar Merah Indonesia menjadi hidup dalam perbendaharaan hati para pembaca.”
Pacar Merah Indonesia, novel Matu Mona yang menarik. Karya ini serupa roman petualangan yang memikat, lengkap dengan spionase, politik dan romantika di lokasi-lokasi yang menarik, baik di Asia pada masa kolonial maupun negara-negara adikuasa imperialis Prancis dan Amerika Serikat. Buku ini jadi semakin menarik jika kita mengetahui sedikit tentang latar belakang pengarang, serta cara dia menggarap buku ini – dan tentang sambutan khalayak pembaca cetakan pertama buku ini. Matu Mona – nama samaran Hasbullah Parindurie – yang dilahirkan di Deli dan dibesarkan di Medan, dalam Pacar Merah Indonesia membubuhkan beberapa fakta sejarah tentang gerakan komunis dan gerakan kiri radikal – terutama tentang beberapa pemukanya – dengan khayalannya sendiri.
Para pemimpin komunis terkenal yang sewaktu Matu Mona mengarang bukunya semua berada di luar negeri – karena dibuang atau melarikan diri dari Hindia Belanda – muncul dengan nama yang mudah dikenali, yaitu Muso sebagai Paul Musotte, Alimin sebagai Ivan Alminsky, Darsono sebagai Darsonoff dan Semaun sebagai Semounoff.
Tokoh kelima dari kuintet pemimpin utama itu, namanya tidak begitu mudah dikenali, tetapi dialah tokoh utama roman ini: Tan Malaka. Di Thailand ia bernama Vichitra dan di Cina ia menggunakan nama Tan Min Kha – yang segera mengingatkan nama aslinya – tapi, seterusnya ia disebut “Pacar Merah”. Ada dua teman seperjuangan Tan Malaka lagi disebut, yaitu Soebakat sebagai Soe Beng Kiat dan Djamaluddin Tamin sebagai Djalumin.
Tan Malaka yang disambut di Belanda oleh Partai Komunis sebagai martir dan dicalonkan sebagai anggota parlemen, kemudian berangkat ke Uni Soviet dan sebagai wakil Indonesia menghadiri Kongres Dunia IV Komintern. Pada Desember 1923, ia kembali ke Asia sebagai agen Komintern untuk Asia Tenggara. Posnya yang pertama ialah Kanton di Cina, kemudian sebagian besar waktunya dipakai berkeliling ke Thailad, Malaka, Singapura, dan Filipina, selalu menyamar dan selalu dikejar-kejar oleh intel-intel Barat. Pemimpin terkemuka PKI, yaitu Semaun dan Darsono, yang juga telah mewakili PKI di Moskow, juga dibuang. Mereka oleh Komintern ditempatkan di Eropa, yaitu di Belanda, Jerman, dan Uni Soviet. Darsono bekerja pada Biro Komintern di Berlin dan memilih tetap berada di belakang layar, antara lain karena ia makin menyangsikan komunisme.
Sementara itu Muso dan Alimin menduduki pucuk pimpinan PKI di Indonesia. Tekanan dari pihak pemerintah kolonial yang makin terasa, makin mempersulit kegiatan PKI dan makin mengganjal mereka. Pelarangan dan keruntuhan partai rupanya sudah di depan mata. Dalam upaya mati-matian untuk mencegah ini, pada Desember 1925 PKI memutuskan berontak. Waktu itu Alimin dan Muso sudah di bawah tanah dan melarikan diri, namun menyokong rencana pemberontakan. Tan Malaka sangat menentang, karena menurut dia pemberontakan tersebut, namun sia-sia belaka. Ia berbenturan dengan Alimin yang di Manila telah memberinya gambaran keliru tentang duduk perkaranya. Waktu mengetahui hal ini, Tan Malaka lalu bergegas ke Singapura, namun sudah terlambat: pemberontakan tetap akan berlangsung. Sementara itu, Muso dan Alimin sudah ke Moskow mencari bantuan. Mereka tidak memperolehnya, tetapi “teguran” Moskow itu pun tidak dapat mencegah pemberontakan. Dan ini gagal, seperti sudah diperkirakan. Pemberontakan di Jawa (November 1926) dan di Sumatera Barat (Januari 1927) dengan mudah dipatahkan. PKI dilarang dan ribuan pengikutnya diciduk. Banyak yang dibuang ke Digul, jauh di pedalaman Papua Barat yang keras. Komintern, setelah kekalahan tersebut menjadi kenyataan, memutuskan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Secara berlebihan pemberontakan tersebut dipuji-puji tak peduli benar atau salah. Dalam perebutan kekuasaan di Uni Soviet antara Stalin dan Trotsky, Stalin memanfaatkan pemberontakan tersebut untuk membuktikan kebenaran analisis politiknya. Tan Malaka merasa dikhianati oleh Moskow, baik secara politik maupun pribadi. Menurut Tan Malaka, Moskow tidak peduli pada kejadian-kejadian di Indonesia dan hanya memanfaatkan untuk kepentingan politiknya sendiri. Oleh karena itu, dengan diam-diam pada Juni 1927 ia bersama Soebakat dan Djamaluddin Tamim mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok. Tan Malaka sama sekali tak menceritakan apa-apa kepada Moskow tentang Pari yang dapat disebut Partai Nasionalis Komunis. Selanjutnya ia tak berhubungan lagi dengan Moskow yang tidak mengetahui keberadaannya, namun masih menganggap dia sebagai pengikutnya. Pari bertindak sangat hati-hati untuk menghindar dari cengkeraman PID (dinas rahasia Belanda). Itu cukup berhasil baru sesudah satu tahun PID mengetahui tentang eksistensi Pari. Tetapi di balik sukses itu, Pari hampir tidak mendapat pengikut, selain beberapa propagandis dan simpatisan. Tan Malaka jadi buronan dan selalu dalam pelarian. Kekurangan uang dan kesehatannya yang rentan menambah masalahnya. Ia berharap mendapat ketenangan di Filipina, tempat ia lama tinggal pada tahun 1925 dan 1926 dan mempunyai banyak kenalan. Akan tetapi tak lama setelah masuk secara ilegal ke sana, ia diciduk pada Agustus 1927. Kemudian ia diseret ke pengadilan yang disorot banyak media dan yang berakhir dengan deportasinya. Lalu ia berangkat ke Amoy, luput dari pencidukan dan menyamar di pedesaan Cina.
Amoy merupakan basis kegiatannya selama masa 1927-1929. Surat ke alamat palsu Tan Malaka menyebabkan polisi mencium jejak Soebakat, yang pada Oktober 1929 diciduk oleh polisi Siam di Bangkok dan dideportasi ke Hindia-Belanda. Pada bulan Februari 1930, ia bunuh diri di penjara Glodok. Tak lama setelah itu, kader inti Pari di Hindia-Belanda digulung. Pada 1929 Tan Malaka berangkat ke Shanghai, sementara Tamin berusaha keras menyelamatkan sisa-sisa organisasi Pari. Pekerjaannya sebagai pelaut mempermudah tugasnya. Basis Tamin yang terpenting tetap kota Singapura. Di Shanghai Tan Malaka didera oleh kemiskinan dan penyakit, dan hampir tak mempunyai hubungan dengan rekan-rekannya separtai. Waktu Alimin menemukannya di sana pada tahun 1931, setelah lama sekali mencarinya, Tan Malaka merasa senang dengan bantuan yang ditawarkan Alimin. Atas pertanyaan apakah ia bersedia melaksanakan suatu misi untuk Komintern, ia menjawab bersedia. Ia tak menyebut-nyebut Pari, yang agaknya tak diketahui oleh Moskow. Misi tersebut gagal, karena seluruh jaringan Komintern di tanah Cina digulung. Namun Alimin dan Tan Malaka tidak sampai diciduk. Tan Malaka pada permulaan tahun 1932, di rumah kosnya di Shanghai, terjebak di tengah pertempuran antara pasukan-pasukan Cina. Setelah berembuk dengan Alimin, ia mempersiapkan pelaksanaan misi Komintern yang agak terlambat itu, yang kelak mengantarnya ke India. Dalam perjalanan tersebut, pada tanggal 1 Oktober ia mampir dulu ke Hongkong. Dua minggu sebelum ini, Tamin dan beberapa orang rekannya diciduk di Singapura, dan mereka kelak dideportasi. Dokumen-dokumen yang disita oleh polisi Inggris menyebabkan jejak Tan Malaka di Hongkong tercium, dan ia pun diciduk. Ia dideportasi, tetapi berhasil lolos dari cengkeraman polisi rahasia Barat yang sedang menunggunya di Amoy. Hingga tahun 1937 ia tinggal di tempat ini atau di pedesaan yang berdekatan, tanpa kontak apa pun dengan Indonesia dan Moskow. Serangan Jepang terhadap Amoy kembali menjadikan Tan Malaka sebagai pelarian via Rangoon dan Penang ia sampai di Singapura, tempat ia bekerja sebagai guru bahasa Inggris di sejumlah sekolah Cina. Ia dikira berkebangsaan Cina, dan kontaknya dengan Indonesia boleh dikatakan tak ada.
Selama tahun-tahun itu pun Muso dan Alimin mengadakan berbagai perjalanan untuk Komintern. Mereka aktif di Cina, dididik di Moskow, dan secara teratur berada di Eropa Barat, terutama Muso. Muso pada tahun 1935-1936 berhasil tinggal berlama-lama di Indonesia, dan merintis usaha menghidupkan kembali PKI. PID baru tahu bahwa Muso berada di Indonesia setelah tokoh itu berada di luar negeri.
Roman Matu Mona ini, yang digambarkan terjadi pada masa 1930-1932, mencampur adukkan fakta, desas-desus, dan khayalan. Ia menyarikan laporannya dari kisah kehidupan Tan Malaka serta para pemimpin PKI lainnya. Dengan bantuan informasi tersebut di atas, pembaca sendiri dapat menetapkan kaitan-kaitan di antara ketiga unsur tadi.
Fakta-fakta yang digunakannya menimbulkan satu pertanyaan lain. Dalam beberapa kasus Matu Mona mengungkapkan berbagai peristiwa yang hanya tercantum dalam laporan rahasia PID atau dalam memo diplomatik, atau yang baru di kemudian hari diumumkan, misalnya dalam kisan kenangan Tan Malaka (Dari Penjara ke Penjara), dan dalam kenangan Djamaluddin Tamin (tidak diterbitkan). Dan dari banyak desas-desusu mengenai Pari ia biasanya memilih berita-berita yang paling cocok dengan kenyataaan. Matu Mona mengatakan bahwa ia mendapatkan bahannya dari surat-surat Tan Malaka kepada Adinegoro, pemimpin redaksi Pewarta Deli. Dalam surat-surat tersebut – sekitar 4 atau 5 pucuk – menurut perkiraan Matu Mona, Tan Malaka menceritakan pengembaraannya serta gagasan-gagasannya tentang kemerdekaan Indonesia. Surat-surat pertama tertanggal akhir tahun 1932 atau permulaan tahun 1933. Yang pertama berstempel pos Filipina. Yang tiba lebih kemudian, dibawakan oleh para pelaut. Surat ini mungkin sekali merupakan sumber bagi berbagai artikel yang dimuat dalam Pewarta Deli pada masa itu “dari seorang pembantu istimewa” (17 Januari, 30 Juni, dan 1 Juli 1933), yang memuat informasi terperinci mengenai pencidukan Tan Malaka serta tentang Pari.
Adinegoro memperlihatkan surat-surat tersebut kepada Matu Mona yang ketika itu sebagai redaktur Pewarta Deli. Hal ini menimbulkan inspirasi Matu Mona untuk mengarang novel ini, yang dimuat sebagai cerita bersambung dalam harian Pewarta Deli (9 Juli- 19 September 1934) dengan judul Spionnage-dienst: pengalaman dari seorang ksatrya Indonesia. Bayangan dari pergerakan politiek di Timoer Djaoeh. Apa mimpi Pan-Melayu dapat diboektikan? Kegiatannja kaki-tangan P.I.D. Cerita ini mendapat sambutan demikian hangat, sehingga pada tahun 1938 diterbitkan sebagai buku oleh Centrale Courant en Boekhandel (Toko Buku dan Surat Kabar Sentral, di Medan). Badan penerbit yang sekaligus jadi toko buku ini agaknya berhubungan erat dengan Pewarta Deli serta berkala-kala lain, dan digunakan untuk menerbitkan buku-buku yang lebih tebal dan mendalam serta untuk menyebarkannya.
Matu Mona sendiri yang menciptakan nama pelaku utama novel ini. Ia meminjam dari isi buku terkenal Baronesse Orczy mengenai Scarlet Pimpernel, yang bertindak sebagai pahlawan selama masa Revolusi Prancis. Ia menyelamatkan para pengikut monarki Prancis dari pancungan guillotine dan menyelundupkannya ke Inggris.
Pada dasawarsa pertama abad yang lalu, buku Orczy mencapai sukses besar. Pada tahun 1928 diterbitkan dua jilid sebagai edisi terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Balai Pustaka dengan judul Beloet Kena Randjau atau Patjar Merah Terdjerat dan Litjin bagai Beloet. Pada tahun 1934 cerita ini dijadikan film yang amat sukses. Maka Matu Mona dapat membangun cerita berdasarkan contoh yang ada, di mana gabungan dinas-dinas rahasia, spionase, peran ganda, penyamaran, dan romantik, menghasilkan kisah yang sungguh menegangkan. Hanya, pelaku utamanya seorang ningrat Inggris yang membela golongan nigrat Prancis, oleh Matu Mona dalam novelnya ini digambarkan sebagai seorang patriot “merah” yang berjuang melawan orde kolonial yang mapan, sejalan dengan cita-cita Revolusi Prancis. Pacar Merah Indonesia sama mahir dengan contoh Inggrisnya, tetapi di samping itu merupakan seorang pejuang yang idealis tanpa pamrih melawan imperialisme. Ia juga tidak terikat pada kekuasaan asing, tidak seperti Alimin, Muso, Semaun, dan Darsono yang terikat pada komunisme Stalin. Dalam metafora, yang manis, Matu Mona menggambarkan dilema Alimin melalui lagu Josephine Baker yang waktu itu sangat terkenal, “J’ai deax amours” (Kekasihku ada dua). Bagi Pacar Merah hanya ada satu cinta, yaitu cinta bagi tanah airnya. Cintanya itu demikian besar, sampai-sampai tiada tempat bagi seorang wanita. Bahkan si cantik Ninon tak pernah menggoyahkan keyakinan dia akan cita-citanya yang satu.
Roman politik Matu Mona ini senapas dengan jenis bacaan yang sedang digemari dalam sastra Indonesia pada tahun 1930-an. Nama yang umum diberikan kepada jenis ini adalah roman picisan, setebal 50-100 halaman yang terbit secara teratur, satu, dua atau tiga kali sebulan. Harganya murah dan untuk pelanggan malah lebih murah lagi. Umumnya berupa cerita pendek, tapi kadang-kadang terutama kalau mendapat sambutan hangat, cerita itu dilanjutkan. Pusat penerbitan seri-seri ini, diilhami oleh seri roman Cina Melayu yang diterbitkan semenjak tahun 1920-an, terdapat di Medan, dan penerbit paling utama mempunyai pertalian baik secara pribadi maupun komersial, dengan Pewarta Deli. Dalam seri-seri Doenia Pengalaman, Loekisan Poejangga, Tjendrawasih, dan Doenia Pergerakan khalayak pembaca Medan secara teratur mendapatkan bahan bacaan populernya. Selama tahun-tahun 1938-1942 diterbitkan sekitar 400 judul. Tak pelak lagi, yang paling laku di antaranya adalah roman detektif yang dibumbui dengan spionase, romantika, tindakan kepahlawanan, penghianatan, serta peristiwa misterius. Juga di dalamnya terdapat dimensi politik yang cukup sering dan tidak terduga. Isi politiknya tak dapat tidak bersifat anti kolonial dan anti-imperialis. Di sini para pengarangnya harus sangat berhati-hati. Perundang-undangan kolonial mengenai media cetak sangat keras dan represif, yang diterapkan secara sewenang-wenang. Suatu delik pers mudah diganjar hukuman penjara beberapa bulan lamanya. Para wartawan nasionalis dalam artikel-artikelnya menjajaki batas-bats hukum kolonial, dengan risiko dijebloskan ke dalam penjara. Jalan ke luar yang relatif aman kelihatannya ialah menggunakan genre fiksi. Perhatian penguasa terhadap jenis tulisan demikian, lebih sedikit dan dalam suatu kisah atau roman, pelaku-pelakunya mungkin tanpa khawatir dapat menyatakan atau melakukan hal-hal yang dalam sebuah artikel koran dapat dijadikan alasan untuk menyeret penulisnya ke meja hijau. Selain itu, dengan medium baru ini, tugas penguasa semakin berat. Selain surat kabar dan berkala, sekarang ada lagi cerita roman yang harus diperiksa apakah mengandung hal-hal yang melanggar hukum. Kapasitas aparat sensor jadi semakin terbebani. Masih perlu waktu sebelum pihak berwenang menyadari potensi bahaya agitasi nasionalis yang terkandung dalam roman picisan. Rupanya setelah itu memang diambil tindakan, akan tetapi tak ada data tentang skala, alasan, dan hukumannya. Untuk mengetahui hal itu, perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam. Roman picisan pun patut diberi perhatian lebih banyak. Menurut tolak ukur sastra, demikian kata para ahli sastra, roman-roman itu terlalu di bawah standar – suatu pendapat yang mungkin masih dapat dijabarkan dan diberi nuansa lagi. Namun, dalam banyak segi lain kisah-kisah itu menarik dan penting, terutama karena unsur politiknya. Penelitian tentang unsur politik dan gagasan-gagasan yang diungkapkan di dalamnya, mungkin dapat mengungkapkan seberapa jauh roman picisan dapat dimanfaatkan untuk menghindari sensor kolonial pada masa itu.
Roman picisan juga banyak mengungkapkan selera khalayak pembaca. Para pengarang serta redaktur seri-seri bersangkutan harus memenuhi keinginan khalayak pembacanya, jika tak ingin kehilangan pembaca dan penghasilan mereka. Tingginya frekuensi terbit judul-judul baru sangat memungkinkan penyesuaian isi cerita kepada selera pembaca. Jumlah pelanggan seri-seri ini meningkat sampai jumlah yang relatif besar, yaitu antara 3.000-4.000 orang.
Novel Matu Mona ini banyak kesamaannya dengan roman picisan, namun karena ceritanya panjang maka tidak cocok dimasukkan ke dalam seri Doenia Pengalaman, yang juga menerbitkan karya-karya Matu Mona lainnya. Menurut penerbit, karya ini lebih bernilai daripada buku-buku seri tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam kata pengantar penerbit M.Sjarqawi. Ia melihat novel Matu Mona ini cocok dengan khalayak pembaca modern yang menginginkan kisah-kisah modern: cerita yang sesuai dengan jiwa abad ke-20. Matu Mona, menurut pendapatnya, sejalan dengan tradisi para pengarang seperti Alexander Dumas, Victor Hugo, Jules Verne, Charles Dickens, dan Karl May dengan romannya yang menggabungkan fakta, khayalan, dan ilmu pengetahuan. Sebuah sampul yang bagus dengan delapan foto dalam teks menggarisbawahi keistimewaan penerbitan ini yang, menurut Matu Mona, dicetak 3.000 eksemplar.
Roman tersebut berhasil gemilang, penerbit dan pengarang disambut sangat positif. Pembaca segera meminta lanjutan ceritanya. Sjarqawi meminta Matu Mona menulis lanjutannya, tapi ia mula-mula menolak karena setelah tujuh tahun menjadi redaktur Pewarta Deli ia ingin mengambil cuti. Di Malaka dan Singapura ia pulih kembali setelah tiga bulan beristirahat dan timbul kembali semangatnya untuk mengarang lanjutan romannya. Mungkin hasratnya semakin besar setelah bertemu denganTan Malaka pada pertengahan 1938. Matu Mona – yang juga dikenal di Singapura sebagai wartawan dan pengarang – diundang oleh seorang tukang jahit yang berasal dari Sumatera Barat agar singgah ke tokonya. Di sana muncullah Tan Malaka yang berpenampilan seperti orang Cina dan hanya ingin berkenalan dengan pengarang Pacar Merah Indonesia yang telah dibacanya. Ia mengatakan tak mau diwawancarai karena ia tak ingin tempat tinggalnya diketahui orang. Percakapannya jadi sekadar ramah-tamah hanya selama lima menit. Pada akhir tahun 1938 terbit lanjutan cerita tersebut, yaitu Rol Patjar Merah Indonesia cs (Peranan Pacar Merah cs). Sjarqawi dalam kata pengantarnya mengajukan pertanyaan,
“Siapa Patjar Merah cs.itoe? Tak perloe diterangkan lagi bahasa orangnja ta’ ada sama sekali, melainkan figuur-figuur jang hidoep dalam chajal si pengarang belaka; sebagaimana djoega The Scarlet Pimpernel dari boeah renoengan Baranesse Orczy!”
Tak ada orang yang dikelabui oleh jawaban ini. Para pembaca tidak, dan pihak berwenang kemungkinan besar juga tidak. Matu Mona pada tahun 1940 dihukum karena delik pers, sebagai penanggung jawab atas cerita bersambung dalam mingguan Penjedar, yang ia pimpin. Soebagijo I.N. juga mengemukakan hal itu dalam sketsa biografi Matu Mona dalam buku ini.
Matu Mona mengatakan bahwa ia dihukum karena mengarang Rol Patjar Merah Indonesia cs., dan proses pengadilannya menurut Soebagijo I.N. berlangsung di Banjarmasih, bukan di Medan. Bobot hukumannnya ditingkatkan tanpa dinyatakan, untuk membungkam seorang wartawan berbahaya untuk jangka waktu yang lama.
Pada tahun 1940 mungkin sekali terbit jilid ketiga dalam seri Pacar Merah yaitu Panggilan Tanah Air. Tidak jelas apakah dalam karya ini Pacar Merah masih memegang peranan. Dalam Penjelidik Militer Chusus (Gedung Hantu), yang diterbitkan pada tahun 1950 dan berlatar masa Revolusi, beberapa pelaku utama seri Pacar Merah muncul kembali.
Serial Pacar Merah mengakibatkan sosok Tan Malaka – yang muncul bagaikan seorang pejuang politik demi Indonesia merdeka, yang diliputi tanda tanya, diburu namun tak kunjung tertangkap – semakin menjadi legendaris. Tan Malaka sebagai manusia dan sebagai tokoh dalam roman ini disamarkan dan diberi kelebihan, seperti kemampuan meramal, berpindah tempat secara gaib, dan berubah-ubah sosok. Dalam Patjar Merah Indonesia, hal ini masih terbatas, tetapi dalam jilid-jilid berikutnya sifat-sifat ini sangat kentara. Ini juga terjadi dalam tiga judul roman picisan yang bukan karangan Matu Mona, dengan Patjar Merah dan Tan Malaka sebagai peran utama. Emnast/Muchtar Nasution, Tan Malaka di Medan; Yusdja, “Moetiara Berloempoer, Tiga kali Patjar Merah datang membela”, dalam Loekisan Poedjangga, Th.II, no.5, 1 Februari 1940. Medan; Yusdja, “Patjar Merah kembali ke tanah air”, dalam Loekisan Poedjangga Th.II, no 12, 15 Mei 1940. Medan.)
Kepercayaan akan kelebihan Patjar Merah/Tan Malaka subur di Sumatera, tempat mayoritas karya-karya Matu Mona kiranya tersebar. Pada permulaan masa Revolusi, di Sumatera Barat diterbitkan sejumlah buku sejenis yang seluruhnya diliputi harapan akan munculnya Tan Malaka yang sakti.
Pada masa itu roman Pacar Merah ini mengalami kesuksesan yang luar biasa sehingga membuat Tan Malaka merasa perlu bertemu dan berbicang langsung dengan pengarangnya Matu Mona.
Kelak beberapa tahun kemudian ketika Tan Malaka berada dalam rumah penjara dia merasa perlu buat menuliskan sendiri riwayat hidupnya. Di dalam penjara Ponorogo, pada bulan September 1947, Tan Malaka menulis kata pengantar untuk jilid pertama autobiografinya Dari Penjara ke Penjara, yang baru terbit pada bulan Juni 1948 dalam bentuk stensilan.
Banyak sudah teman seperjuangan diluar dan didalam penjara yang mengusulkan, supaya saya menuliskan sejarah hidup saya. Katanya, agar pengalaman-pengalaman yang sudah saya dapatkan boleh dijadikan pelajaran para pahlawan kemerdekaan sekarang dan di hari depan.
Baru sebulan-dua yang lampau saya putuskan menerima usul itu. sebelumnya itu saya tiada memandang perlunya yang diusulkan tadi. Alasan pertama ialah karena banyak pekerjaan lain yang jauh lebih penting daripada melukiskan sejarah hidup diri sendiri. Pekerjaan yang lain itu harus dikerjakan dengan cepat dan dengan penuh perhatian. Alasan kedua ialah karena menuliskan sejarah hidup selama lebih dari setengah abad yang banyak turun naik, ialah penuh dengan up and downs, yang mengandung lebih banyak ‘down’daripada ‘up’nya bukanlah suatu pekerjaan yang dapat disambilkan begitu begitu saja. Alasan terakhir, yang tidak kurang pentingnya pula, ialah karena keadaan diri saya sendiri. Kehilangan kemerdekaan yang sudah pasti disertai oleh hari depan yang tidak pasti, ditambah pindah-pindahan tempat kian kemari tak tertentu, acapkali di tempat yang tak mengizinkan tulis menulis. Selanjutnya berhadapan dengan kemungkinan, apa yang dituliskan itu kelak akan disita, dijadikan alasan ini dan i tu sebagai bahan fluister-campagne (kampanye bisik-bisik) lawan yang tidak fair (adil). Karena pertimbangan yang demikian ini, maka mulanya sejarah saya hendak saya serahkan kepada sang sejarah sendiri.
Tetapi setelah di penjara Magelang saya mendapat sel yang sunyi senyap tak bercamur dengan para tawanan lain, dan mendapat kertas, potlod dan meja buat menulis, maka timbulah pikiran untuk menulis, meskipun cuma buat mengisi waktu saja…………………..
Apa yang saya tuliskan kelak boleh dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya: tak lebih dan tak kurang, oleh ahli sejarah. Beberapa orang yang namanya saya ajukan disini, kelak boleh dicari dan ditanya oleh mereka yang berkeinginan. Kalau tidak cocok benar, bukanlah terletak pada kemauan, melainkan pada kesilapan sebagai manusia atau pada sifatnya memory, ialah peringatan.
Penutup
Keampuhan dan kekuatan sebuah fiksi ini, kelak dipakai oleh Pramoedya Ananta Toer yang dari tempat pembuangannya di Pulau Buru sebagai tahanan politik mengeluarkan roman Bumi Manusia pada tahun 1980, yang berseting “Zaman bergerak”, masa-masa ketika Tan Malaka mengalami masa mudanya di Pulau Jawa menjadi Guru Sekolah SI, ketika pasang kesadaran Revolusi Indonesia bermula. Rezim Soeharto memberi cap karya fiksi Roman Sejarah dari Pulau Buru ini sebagai Thesis Baru yang dikeluarkan Partai melalui penulis terkemukanya seorang sastrawan Lekra yang mengusung Realisme Sosial. Jaksa Agung segera melarang peredaran buku ini. Pelarangan itu justru semakin menambah kepopuleran penulisnya yang menjadi ikon perlawanan menghadapi Soeharto. Akhirnya seperti kita ketahui bersama pada Mei 1998 rezim Soeharto akhirnya tumbang. Dan kemudian roman “Bumi Manusia” telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Pram adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra.
Penulis adalah anggota Tan Malaka Institute (TMI)
Menyukai ini:
Suka Memuat...