Kenyataan kebangsaan memperlihatkan dengan diusungnya aksi-aksi intoleransi berjilid-jilid akhirnya tentu saja dapat memecah belah persatuan masyarakat, jika negara tidak mampu dalam memainkan perannya ditengah-tengah kelompok kepentingan, maka pasti akan menghambat tumbuhnya dinamika yang sehat dalam kemajemukan.
Semestinya peran penjaga perdamaian dalam kemajemukan antar kelompok masyarakat, serta menjadi fasilitator sejumlah kelompok kepentingan menjadi tugas utama negara.
Demikian juga terjadi kekerasan politik sebagai akibat dari persaingan dalam perebutan kekuasaan. Kasus tindak kriminal terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, ditanggapi oleh DPR menjadi adanya Pansus Angket KPK yang menghasilkan pro-kontra diantara elit politik.
Menjadi bertambah carut marut wajah perpolitikan ketika Setya Novanto selaku Ketua DPR kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Semua bisa terjadi akibat lemahnya kwalitas aktor politik dalam memahami dan menghormati etika politik akibat sistem kaderisasi parpol hampir bisa dikatakan tidak ada dilakukan.
Dinamika politik di tahun 2017 memperlihatkan sisi hitam kelam intoleransi, kegaduhan dalam Pilkada DKI, diperkuat dengan menghilangnya Habib Rizieq Shihab pimpinan aksi-aksi saat ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian.
Perilaku intoleransi bisa terjadi tentu sarat dengan hal-hal emosional dengan tujuan yang transendental. Dan disaat tersulut tentu menjadi tindakan emosional semata yang irasional. Maka seharusnya peran negara lebih cepat bertindak melindungi persatuan masyarakat majemuk melalui perangkat hukum dan tidak lagi sekedar struktur statis, tetapi sungguh menjadi aktor yang memiliki kekuatan otonom nyata. Dan tidak bisa diintervensi oleh kekuatan eksternal manapun.
Dengan mencermati kenyataan selama kurun waktu 2017 jika agama disatukan dengan kepentingan politik, maka hanya menunggu waktu akan muncul aksi-aksi kekerasan dan anarki. Sehingga agama yang seharusnya menjadi faktor peredam, kesetaraan, kedamaian, serta cintakasih telah ditransformasikan menjadi budaya barbar tanpa aturan.Agama itu demi kebaikan manusia, bukan kebaikan Tuhan.
Kesucian Tuhan tidak tergantung kesucian manusia, oleh sebab itu Tuhan tidak perlu dibela.Yang perlu dibela adalah manusia. Manusia Indonesia yang miskin, tertindas, marjinal atau para korban- korban kekerasan. Tim sukses atau politisi yang menggoreng isu SARA, adalah manusia yang tidak memiliki kapabilitas, manusia yang tidak memiliki keberanian untuk mewujudkan perspektif ke-Indonesiaan.
Oleh karena itu menjadi tanggung jawab yang harus di pertaruhkan agar budaya kekerasan dapat dengan tuntas ditangani dengan bijak serta dapat dijinakan dalam upaya merawat kebhinnekaan. Dengan mengembangkan nilai mawas diri serta peran serta seluruh lapisan masyarakat bersama negara merawat kebhinnekaan sebagai tanggung jawab sosial dalam kebersamaan. Serta menghentikan sejak awal munculnya benih benih potensial yang mengarah kepada aksi-aksi intoleransi dalam masyarakat.
Kebhinekaan sangat memiliki nilai yang sangat berarti karena dalam kehidupan masyarakat yang plural, konflik merupakan fenomena yang sering terjadi. Perorangan atau antar kelompok sering mengalami benturan perbedaan kepentingan dan kehendak. Konflik itu akan selalu ada, menyertai perkembangan bangsa dan negara Indonesia di tahun 2018 sebagai Tahun Politik.
Yang harus terjaga dalam Kebhinnekaan adalah penolakan terhadap potensi-potensi intoleran. Sebab jika terjadi pembiaran, maka sangat terbuka kemungkinan kehidupan bermasyarakat kita semakin dirusakkan, menimbulkan permusuhan serta perpecahan. Dinamika seperti ini sering terjadi pada relasi sosial. Bersumber dari berbagai macam sebab. Sering beberapa pergesekan kecil menjadi sumbu peledak hancurnya bangunan Kebhinnekaan. Bahkan tidak jarang sulit untuk mendeskripsikan secara jelas dan terperinci sumber sesungguhnya dari konflik tersebut.
Kebhinnekaan dapat terkoyak ketika kebutuhan, nilai dan tujuan saling bertentangan. Ketika sejumlah sumber daya menjadi terbatas. Ketika persaingan untuk suatu penghargaan kekuasaan serta hak- hak istimewa maka konflik kepentingan akan muncul. Akibat dari persaingan dalam perebutan kekuasaan. Serta kegagalan dalam penegakkan hukum, HAM dan anti korupsi.
Masyarakat harus bisa merasakan kepuasan terhadap pembangunan dari pertumbuhan ekonomi. Dibalik kasus intoleransi agama, ada persoalan politik dan ekonomi. Jangan sampai jurang kesenjangan ekonomi antar strata tidak dapat diperkecil yang berdampak kuat pada masyarakat ekonomi bawah. Perjuangan semua lini harus bersifat ideologis. Perjuangan buruh misalnya .Tidak sebatas ekonomi.
Jika sebatas ekonomi saja, akan mirip pada perjuangan parpol dan politisi yang sangat miskin idiologi. Menjadi sangat gampang ditunggangi dan dimanfaatkan oleh elit Parpol. Aparat penegak hukum harus semakin membenahi diri menyelesaikan potensi konflik internal yang belum selesai.
KPU selaku penyelenggara pesta demokrasi harus jeli menangkap aspek-aspek pelanggaran, dan kepada tim sukses kontestan harus dengan tegas dan patuh terhadap UU yang berlaku dalam menjaga kebhinekaan. Hiruk pikuk setelah pilkada serentak tahun 2017 , sudah terbukti telah mengancam kesatuan dan persatuan bangsa kita.
Sudah ribuan tahun masyarakat Indonesia berpengalaman hidup sebagai masyarakat majemuk. Jadi semestinya tidak menjadi persoalan. Tetapi nyatanya hubungan antar umat berbeda agama, semakin menjadi persoalan yang peka dan rawan konflik, walau diluar tampaknya tenang- tenang saja tetapi kita merasakan adanya ketegangan yang tersembunyi dan siap bergolak di bawah permukaan.
Apalagi jika agama bersinergi dengan politik. Dan politik mempolitisasi agama hasilnya adalah “SEGREGASI SOSIAL” menajam dan agama menjadi candu yang menenggelamkan nalar sehat. Intelektual yang menggoreng isu intoleransi demi kemenangan sesaat, sebenarnya dia telah melacurkan dirinya terhadap makna sesungguhnya dari Nasionalisme.
Merawat Kebhinnekaan adalah keharusan sebagai perekat dan pemersatu bangsa ini. Jangan sampai karena agama, bangsa dan negara pecah. Akibat kemajemukan masyarakat muncul saling membenci dan saling menghabisi karena agama. Tragis dan ironisnya karena semua agama mengajarkan kasih sayang.
Realitas diatas memperlihatkan bahwa penataan kehidupan sosial-politik nasional dengan penerapan konsep Bhinneka Tunggal Ika serta demokrasi Pancasila kini kembali mendapatkan ujian dari kelompok yang memiliki militansi untuk menerapkan sistem berbasis negara asing yang mereka yakini sebagai solusi masalah dan menggantikan Pancasila. Berpotensi dapat merobek keutuhan NKRI, menandakan bahwa belum seluruh elemen bangsa menerima idiologi Pancasila dengan tulus.
Bangsa kita selama tahun 2017 telah menghadapi ujian berat di bidang: politik, ekonomi serta keamanan nasional. Bangsa kita masih memerlukan pertumbuhan ekonomi tinggi kedepan, sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan, dan mempercepat upaya perbaikan pemerataan pendidikan. Oleh sebab itu persatuan dan kesatuan bangsa merupakan hal yang sangat fundamental.
Dengan tetap merawat Kebhinnekaan, maka setiap komponen masyarakat dapat saling bersinergi merespons perubahan- perubahan eksternal, baik dalam konstalasi perkembangan kehidupan global, maupun dalam konstalasi dan kontestasi dinamika sosial, iptek, budaya dan sumber daya ditingkat nasional dalam arti yang luas.
Menuju 2018 tahun politik, belajar dari semua yang telah terjadi di tahun 2017, belajar dari pilpres 2014, dan PILKADA DKI 2017, kampanye pada stigma intoleransi, kopor- kapir, Syiah, antek China, antek Amerika, antek Neolib, PKI, komunis akan ditabur untuk meraih suara dan kekuasaan. Memecah belah dengan kekuatan politik sektarian demi kekuasaan. Demokrasi Pancasila membutuhkan sistem dan rakyat yang cerdas mengatakan tidak pada isu “Intoleransi” rakyat yang cerdas membaca dan mempraktekkan nilai integritas!
Masa depan negeri ini, masa depan Kebhinnekaan dan konstitusi, sering diganggu dengan memanfaatkan isu intoleransi untuk memecah belah bangsa. Karena itu ditahun 2018 sangat membutuhkan adanya komitmen dari semua pihak yang berkepentingan baik itu KPU, paslon, tim sukses untuk melaksanakan kampanye yang bersih dari segala fitnah, politik uang, ajaran kebencian, eksplotasi agama.
Kedewasaan semua pihak untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Apapun agamamu, jadilah orang Indonesia! bukan Arab, Yahudi, Amerika dsbnya. Budaya kita yang beraneka ragam, adalah karunia yang unik, khas dan berharga. Jaga dan rawatlah terus Kebhinnekaan! bersatu kita teguh!! bercerai kita runtuh!! jangan pernah lelah, dalam pengabdian terhadap NKRI! ditahun 2018.
Menyukai ini:
Suka Memuat...