Jumat, 15 Maret 2019 akan dikenang sebagai sejarah kelam di New Zealand. Hari itu, di Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood di kota Christchurch, penembakan brutal terjadi kepada para jamaah yang hendak menunaikan salat Jumat. Sementara tercatat 49 orang meninggal dan 48 orang dirawat di rumah sakit setempat. Duka ini bukan hanya dirasakan oleh keluarga korban atau rakyat New Zealand saja, tapi seluruh dunia merasakan duka mendalam.
Salah satu pelaku teror teridentifikasi bernama Brendon Tarrant warga Australia berusia 28. Saat melakukan aksinya, ia sempat menyiarkan melalui media sosial selama 17 menit. Seluruh dunia mengutuk tindakan biadab tersebut.
Terorisme sejatinya adalah merupakan aksi perlawanan terhadap Tuhan, karena mereka telah merusak dan menyakiti tatanan kemanusiaan dan harmoni semesta ciptaan Tuhan. Dan menurut saya mereka ada di tengah-tengah kita karena Tuhan ingin menunjukkan kepada kita bahwa ada setan berwujud manusia.
Bentuk terorisme bagi saya bukan hanya berupa pembunuhan terhadap manusia saja, tapi bisa juga berbentuk pembunuhan jiwa dan akal sehat manusia. Jenis terorisme yang kedua ini jauh lebih sadis dan jahat. Karena dikemas dalam bentuk kata-kata yang disamarkan dalam kegiatan ceramah agama.
“Terorisme kata-kata” ini dilakukan oleh orang- orang yang tidak bertanggungjawab dengan tujuan menyesatkan akal pikiran dan jiwa manusia. Mereka sering menyuarakan kebohongan dan fitnah dengan menyalah- gunakan ayat-ayat dalam kitab suci. Mereka dengan sengaja mencuci otak jamaahnya. Tindakan mereka jauh lebih jahat daripada sekedar membunuh. Tindakan mereka berakibat manusia menjadi terlihat hidup tapi sejatinya akal, pikiran dan nuraninya telah mati.
Apa yang dilakukan Tengku Zulkarnain, Bahar Smith dan Nur Sugik adalah contoh terorisme kata-kata. Mereka menggunakan kedok khotbah untuk menyebarkan kebencian, fitnah dan kebohongan. Ceramah indoktrinatif itu dipaksakan harus diterima oleh jamaahnya. Dan yang terjadi jamaahnya menjadi seperti zombie. Mereka terlihat hidup tapi sebenarnya sudah mengalami mati jiwa. Akibatnya hati, akal dan pikiran mereka tidak mampu lagi menerima kebenaran dan kebaikan. Di mata mereka apapun yang tidak sesuai dengan arahan dari guru sesat mereka dianggap salah dan harus dimusuhi.
Saat ini para teroris kata-kata ini banyak berkeliaran di sekitar kita. Kepentingan politik pragmatis mereka dibungkus dengan kemasan khotbah agama. Dan bagi saya keberadaan mereka jauh lebih berbahaya dibandingkan teroris pembunuh nyawa. Karena korban yang berhasil dicuci otaknya berpotensi akan menyebarkan pengetahuan sesatnya kepada lingkungan di sekitar mereka.
Dengan segala duka yang mendalam terhadap korban teroris pembunuh nyawa, kita harus tetap waspada akan merajalelanya para teroris kata-kata di sekitar kita. Bagi saya pemuka agama yang sengaja menyesatkan jamaahnya dengan menyebarkan kebencian, kebohongan dan fitnah keji adalah setan berwujud manusia.
Ada cara efektif untuk menangkal munculnya terorisme kata-kata. Yaitu pertama dengan mengarahkan kita dan orang di sekitar kita untuk belajar pada guru agama yang benar. Kedua mengasah nalar, akal dan logika kita dan orang di sekitar kita dengan belajar ilmu pengetahuan yang mumpuni. Ketiga mengasah empati sosial kita dan orang di sekitar kita terhadap sesama manusia dan alam semesta.
Dengan melakukan tiga hal tersebut di atas Insyaallah kita bisa menangkal merajalelanya para teroris kata-kata dan sekaligus kita mencegah orang-orang di sekitar kita menjadi teroris pembunuh nyawa.
Kita tidak ingin anak-anak dan orang terdekat dengan kita menjelma menjadi orang seperti Tengku Zulkarnain, Bahar Smith, Nur Sugik dan kawan-kawannya, bukan ?