Oleh: Muafiqul Khalid MD
Bermula dari sebuah tiang. Tiang yang tegak berdiri sekitar 6 Meter, yang senantiasa menemani orang-orang di pinggir jalan, diabaikan asal-usulnya oleh banyak orang; tiba-tiba, tiang itu menjadi bagian kegaduhan, atau bisa saja membuat perut ini mual karena manahan tawa. Kejadian itu hanya di Indonesia, negeri yang melahirkan pelawak kawakan. Tentu bukan karena tiang semata, tetapi bumbu politik yang membuat hidung ini tersumbat dan mulut ini tersedak manahan tawa.
Jangan tegang dulu. Karena tiang dalam pembahasan selanjutnya bukanlah tiang yang menghancurkan Fortuner Setya Novanto. Ini adalah tiang yang pernah tegak berdiri sebagai penghakiman atas manusia. Manusia yang semula diduga bersalah atau menyalahi konsensus pada sekian abad yang lalu; sebuah tiang di mana kematian merupakan titik final sebagai penebusan dosa-dosa. Gampangnya, tiang adalah tonggak bagi tegaknya sebuah hukum.
Konon, di Persia, Seleusia, Carthage dan Roma pada abad ke 6 SM, tepatnya pada tahun 337 SM, hukuman bagi manusia yang diduga bersalah sempat menjadi tradisi panjang dengan berakhir di atas sebuah tiang, yaitu tiang salib. Hingga sampai pada kejadian maha kudus yang menjadi bagian penting bagi makna universal sebuah tiang, adalah ketika sang juru selamat atau Yesus disalib di sebuah tiang.
Dalam sejarah, seperti yang diungkapkan oleh Josephus (37-100), sejarawan Yahudi pada abad awal menuliskan dalam Antiquites of the Jews, bahwa: “Sekarang, sekitar waktu ini, Yesus, seorang yang bijak, kalau itu benar (lawful) memanggilnya sebagai manusia; sebab ia adalah seorang pembuat mukjizat, seorang guru yang bagi orang-orang penerima kebenaran dengan suka cita. Ia menarik kepadanya banyak orang Yahudi maupun non-Yahudi. Ia adalah Kristus. Dan ketika Pilatus, atas dorongan para pemimpin diantara kita, telah menghukumnya ke tiang salib, mereka yang mengasihinya tidak meninggalkan dia; sebab ia menampakkan diri kepada mereka pada hari ketiga; seperti dinubuatkan oleh para nabi tentang hal ini dan sepuluh ribu hal ajaib lainnya tentang dia….”
Meski dalam sejarah awal, penjabaran tentang penyaliban Yesus tidak spesifik menjabarkan bentuk salib-Nya, akan tetapi penjelasan-penjelasan yang berkisar tahun 100, menyebutkan salib Kristus tersebut berbentuk T (seperti yang dituliskan dalam surat Barnabas bab 9), setidaknya komposisinya palang vertikal dan horizontal dengan sedikit tonjolan di atas-Nya (lih. Irenaeus [130-202] Adversus Haereses II). Ini selaras dengan penjelasan Matius 27:37, yang menjelaskan bahwa di atas kepala Yesus, terpasang tulisan “Inilah Yesus Raja orang Yahudi.”
Di dalam Perjanjian Baru, tiang hanya disebutkan dua kali. Hal itu terdapat dalam surat Timatius 3:15: “Jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebabagai keluarga Allah, yakni jamaat dari Allah yang hidup, tiang penupang dan dasar kebeneran.” Juga di dalam surat Wahyu 10:1: “Dan aku melihat seorang malaikat lain yang kuat turun dari surga, berselubungkan awan, dan pelangi ada di atas kepalanya dan mukanya sama seperti matahari dan kakinya bagaikan tiang api.”
Dari kedua surat dalam Pernjanjian Baru itu, tiang menjadi sebuah metafora yang mengagumkan. Di dalam Timatius, kata tiang memiliki arti penting karena menjadi Sandaran bagi semua makhluk. Tiang seolah Allah yang hidup, Allah sebagai tiang penupang segala kebenaran. Sampai pada titik ini, tiang bukanlah sebuah benda atau kata yang tidak penting sama sekali. Lebih lanjut, tiang di dalam surat Wahyu mempersonifikasikan malaikat; makhluk yang diyakini paling setia dan dapat dipastikan sesuai dengan kebenaran yang Allah gariskan.
Sampai di sini, jelas bahwa tiang ataupun sebatas kata ‘tiang’ saja, jangan dikira sebagai benda yang sembarangan. Tiang yang sampai sekarang selalu disucikan, dianggap sakral, bahkan jika menafikan peran tiang akan mendistorsi sejarah panjang kemanusiaan dan umat Kristiani.
Dalam sejarah yang lain, tentu tiang yang lain, bukan tiang salib yang disakralkan itu, melainkan tiang yang berderat rapi di jalanan dengan kabel yang mengular dan tiada ujung. Mulanya berawal dari perkembangan teknologi komunikasi telegraf. Sekitar 1816, orang yang benama Sir Francis Ronalds menghubungkan kabel sepanjang 8 mil, di daerah Hammersmith, London, Inggris.
Pada tahun selanjutnya, 1844, Samuel Morse menginisiasi—dikutip dari laman Library of Congress, 17 November 2017—agar tiang digunakan untuk mendukung telegraf di Amerika Serikat. Mulanya hanya sebuah kayu. Kayu yang gagal dalam pengujian Morse di jarak 7 mil. Namun kegagalan kayu bertahan hingga tahun 1980. Meski pada akhirnya, American Wood Protection Association (AWPA) dan American National Standars Institute (ANSI) meyerah pada keterbatasan material kayu untuk terus menjadi sebuah tiang.
Benar. Manusia tidak pernah kehabisan akal untuk mengganti kayu dengan yang lain. Dari bahan beton, baja, dan komposisi fiber seperti jamaknya sekarang, setidaknya tiang adalah sejarah kemanusiaan yang panjang. Dan keberadaanya adalah kebutuhan. Bayangkan saja, jika ide tiang masih berkubang pada kegagalan seperti yang dialami Samuel Morse, maka lampu teplok pilihan terakhir, dan yang lebih mengerikan, teknologi juga mengalami kemandekan.
Mulanya sebuah tiang, dulu adalah kanon bagi tegakkan keadilan. Kini, karena tiang (listrik) keadilan kerapkali dapat direkayasa dengan segala cara. Seperti yang baru-baru ini terjadi, tiang listrik dan sandiwara. Tiang listrik dan lelucon para bandit bangsa.
*Penulis adalah bekerja sebagai kuli bangunan di Institute Alkindi Krapyak.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...