Ada realitas mengkhawatirkan yang diam-diam semakin mengakar kuat dalam benak banyak orang di Indonesia. Realitas tersebut adalah pemikiran dikotomis pribumi dan non-pribumi, yaitu anggapan bahwa orang Tionghoa bukan sebagai penduduk pribumi di Indonesia.
Benarkah demikian? Benarkan saat ini tumbuh dan berkembang pemikiran ke-non-pribumian Tionghoa? Penulis memang belum pernah melakukan penelitian mendalam untuk menguji kebenaran dugaan tersebut. Tetapi, beberapa pengalaman penulis ketika mengajar mata kuliah kewarganegaraan, menunjukkan secara nyata bahwa dugaan tersebut adalah benar adanya.
Beberapa waktu lalu saat tiba jadwal materi identitas nasional, penulis mencoba mengetengahkan pertanyaan sedikit menggelitik kepada para mahasiswa. Karena kebetulan pada waktu itu sedang rame kasus Ahok di Jakarta, maka penulis mencoba bertanya kepada mahasiswa apakah orang Tionghoa itu penduduk pribumi Indonesia? Kelas yang pertama, 10 orang menjawab bukan dan 16 orang menjawab iya, sementara kelas kedua, 18 orang menjawab bukan dan 4 orang menjawab iya. Ini mengejutkan, sekitar 60% dari mahasiswa saya menyatakan bahwa bangsa Tionghoa itu adalah bangsa pendatang di Indonesia.
Secara ringkas, ada dua alasan besar yang mereka ungkapkan, mengapa orang Tionghoa mereka anggap bukan penduduk pribumi di Indonesia. Pertama, karena mereka bukanlah keturunan asli bangsa Indonesia. Bagi mereka bangsa Indonesia adalah kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, sementara bangsa Tionghoa merupakan pendatang di masa itu, bahkan bangsa Tionghoa (Mongolia) disebut pernah hendak menyerang kerajaan-kerajaan di Nusantara kala itu. Kedua, keberadaan orang Tionghoa di Indonesia itu tidak ubahnya keberadaan Belanda dan Jepang, yaitu sebagai penjajah. Menurut mereka, orang-orang Tionghoa di Indonesia itu, meskipun sedikit, telah menguasai roda perekonomian di negeri ini. Di hampir setiap daerah di Indonesia, orang Tionghoa selalu menjadi orang kaya yang mendominasi perekonomian.
Fenomena tersebut secara nyata menunjukkan bahwa kebanyakan bangsa Indonesia masih beranggapan bahwa orang Tionghoa itu bukan penduduk pribumi. Memang, pengamatan penulis itu hanya terbatas di dua ruang kelas yang pernah penulis dampingi, tapi ketika melihat fakta yang lebih luas pun, fenomena serupa tampaknya juga akan segera dijumpai. Pada kisaran tahun 1965-1966, banyak orang Tionghoa yang jadi korban dan dianggap komunis. Mereka dianggap sebagai mata-mata RRC yang kebetulan waktu itu merupakan salah satu negara komunis.
Berikutnya, pada kisaran tahun 1998-1999, kelompok etnis Tionghoa di negeri ini kembali diperlakukan tidak manusiawi oleh orang-orang Indonesia “pribumi” hanya karena mereka Tionghoa. Toko-toko milik mereka dijarah, perempuan-perempuan Tionghoa diperkosa beramai-ramai, dan pelakunya sampai sekarang masing belum mendapat ganjaran hukum yang pantas. Di sini ide primordial “pribumi” melawan pendatang menjadi pembenar untuk melakukan tindak kekejaman.
Selain itu, fakta yang cukup mutakhir adalah ketika kasus Ahok tengah mewarnai wacana publik. Seiring dengan mencuatnya kasus mantan gubernur DKI itu, penghargaan masyarakat terhadap orang Tionghoa sebagai warga negara Indonesia, mulai kembali terlihat memburuk. Pandangan masyarakat bahwa orang Tionghoa adalah orang asing (non-pribumi) kembali menguat. Sejauh media sosial diamati, tidak jarang dijumpai kata aseng, dengan maksud asing, ditujukan kepada mereka yang beretnis Tionghoa. Bahkan beberapa hal yang berkaitan dengan Tionghoa—terutama non-Muslim—seakan-akan dianggap sebagai hal mengganggu eksistensi kalangan “pribumi” dan selalu dipersalahkan. Kasus polemik keberadaan patung Kwan Kong di Klenteng Kwan Sing Bio, Tuban baru-baru ini adalah salah satu episode lanjutan dari gerakan penolakan terhadap kalangan Tionghoa. Dengan demikian, maka tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa kebanyakan bangsa ini masih menganggap orang Tionghoa sebagai pendatang dan bukan pribumi di Indonesia.
Untuk itu, agaknya menjadi penting bagi kita bersama merenungkan kembali siapakah bangsa Indonesia sebenarnya? Apakah orang Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia? Perenungan ini mula-mula harus dimulai dengan menelisik asal-usul bangsa ini. Ditinjau dari segi genealogis, bangsa ini, meminjam bahasanya Pramodya Ananta Toer, sebenarnya adalah makhluk baru yang muncul akibat ketaktahanan atas penjajahan Belanda. Adalah amat salah jika dikatakan bahwa Indonesia adalah kelanjutan dari Sriwijaya atau Majapahit. Sistem tata kelola negara dan budaya antara dua kerajaan tersebut dengan Indonesia sekarang jelas amat berbeda. Baik Sriwijaya maupun Majapahit sama-sama berbasis feodalisme dan penghargaan, sementara Indonesia saat ini berbasis demokrasi (Pancasila). Wilayah kekuasaan antara ketiganya juga tidak sama, sehingga tidak bijak jika dikatakan bahwa Indonesia adalah kelanjutan dari dua kerajaan tersebut.
Baca Juga: Kampanye Boikot Lagu Si Kancil
Sejauh sejarah bangsa ini diamati imaji identitas kebangsaan kita ini setidaknya terbentuk melalui jalur, yaitu sekolah, perserikatan, dan bahasa (surat kabar). Melalui tiga jalur tersebut, ikatan solidaritas kebangsaan dibangun dan terwujudlah Indonesia sebagai negara-bangsa.
Jalur sekolah dan perserikatan, ini dimulai oleh Dr Wahidin Soedirohoesodo. Dokter pemerintah di Yogyakarta yang sekaligus redaktur Majalah Retnadhoemilah ini menginisiasi perserikatan Budi Utomo pada bulan Mei 1908, bertempat di Sekolah Dokter STOVIA. Kala itu mahasiswa STOVIA, OSVIA, sekolah-sekolah guru, pertanian dan kedokteran hewan berhimpun dalam perserikatan tersebut. Dengan didasari oleh kesamaan sebagai priayi Jawa yang mengenyam pendidikan gaya Barat, mereka pun membangun solidaritas antarsesama, walaupun masih terbatas pada kalangan priyai Jawa.
Solidaritas sebagai sesama bangsa kemudian menjadi semakin jelas di tahun 1912. Kala itu Indische Partij begitu gencar mengkampanyekan “Indies nationalism” (nasionalisme Hindia), yang menjadikan kemerdekaan Hindia sebagai cita-cita utamanya. Kampanye nasionalisme Hindia ini pada gilirannya mengawali zaman pergerakan kebangsaan dalam politik radikal. Gagasan nasionalisme Hindia Indische Partij ini di kemudian hari menemukan bentuknya yang lebih matang melalui Soekarno dan PNI-nya.
Produksi kesadaran akan solidaritas kebangsaan lewat jalur sekolah dan perserikatan tersebut, tidak bisa dilepaskan dari peran surat kabar yang kala itu memunculkan bahasa dan ide pemersatu melampaui indentitas kesukuan. Salah satu surat kabar yang pertama kali mengusung gagasan ini adalah Medan Prijaji. Surat kabar yang dirintis oleh Tirto Adhi Soerjo, lulusan OSVIA, ini memang masih menggunakan kata “priyai”, tapi ia menegaskan bahwa dirinya sebagai “soeara bagi sekalian anak negri di seloeroeh Hindia Belanda”. Spirit yang dibawa oleh Medan Prijaji pada gilirannya telah membuka horizon baru, yaitu kesadaran dan kesamaan sebagai orang Hindia, sehingga imaji “bangsa” pun mulai dapat dibayangkan dengan batas-batas yang jelas.
Kampanye semangat kebangsaan semakin masif sejak paruh kedua abad ke-19. Waktu itu ada sekitar 40 surat kabar yang terbit dan sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia. Di sini etnik Tionghoa ikut berperan mendistribusikan kesadaran kebangsaan, karena saat itu industri persuratkabaran di Hindia beralih dari yang semula dikuasai orang Eropa ke kalangan keturunan Tionghoa.
Ini adalah periode asimilasi yang sekaligus memainkan peran penting dalam mengampayekan kesadaran “Aku Indonesia”. Ini misalnya dapat dilihat pada surat kabar Sin Po. Surat kabar berbahasa Melayu yang terbit sejak 1910 ini adalah koran pertama yang mengganti sebutan “Hindia Belanda” dengan kata “Indonesia” pada setiap penerbitannya. Selain itu, Sin Po juga merupakan surat kabar pertama yang memuat teks lagu “Indonesia Raya” ciptaan WR Supratman.
Demikianlah tinjauan selintas sejarah terbentuknya bangsa Indonesia. Melihat sejarah terbentuknya bangsa tersebut, yang ternyata orang-orang Tionghoa juga memiliki peran penting di dalamnya, maka tentu tidak bijak jika kemudian hingga saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa orang Tionghoa adalah bukan bangsa Indonesia pribumi. Karena sejatinya mereka adalah bangsa pribumi Indonesia, bahkan merupakan salah satu kelompok yang berjasa dalam pembentukan identitas nasional. Jadi, ayo hentikan kebencian rasialis terhadap orang Tionghoa dan wujudkan Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Dosen Prodi Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pembina The al-Falah Institute Yogyakarta.
Menyukai ini:
Suka Memuat...