Muhasabah Kebangsaan: Merobek Bendera Membelah Bangsa
Penulis: Serikat News
Rabu, 18 Oktober 2017 - 23:14 WIB
Foto: Dokumen Pribadi
Oleh: Zastrouw Al-Ngatawi
Dalam pidato politik di depan publik pasca pelantikannya sebagai Gubernur DKI, Anis Rasyid Baswedan menyatakan bahwa kini saatnya pribumi menjadi tuan rumah di negeri sendiri karena dulu pribumi ditindas dan dikalahkan.
Pidato politik Gubernur DKI yang menggunakan istilah pribumi dan non pribumi ini dapat membahayakan keutuhan bangsa karena bisa memancing tumbuhnya sikap rasis dan sektarian serta menebalkan sikap saling curiga antar sesama warga bangsa.
Mengangkat issu pribumi dan non pribumi ini sebenarnya bertentangan dengan konteks historis, yuridis dan ideologis bangsa Indonesia yang beragam.
Secara historis pemilahan pribumi dan non pribumi merupakan konstruksi sosial yang dibangun oleh kaum penjajah sebagai upaya untuk memecah belah masyarakat negeri jajahan. Kaum pribumi ditekan dan direndahkan sedangkan kaum non pribumi dimuliakan dengan berbagai fasilitas untuk dijadikan alat menekan kaum pribumi.
Kondisi ini yg ingin dilawan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Mereka bersatu padu menghancurkan sekat-sekat sosial yg membelah masyarakat menjadi pribumi dan non pribumi. Semangat kebangsaan dan kesadaran bersama untuk merebut kemerdekaan telah meruntuhkan sekat primordial dan sektarian yang memisahkan antara pribumi dan non pribumi
Semangat melebur sekat pribumi dan non pribumi ini bisa dilihat dari anggota BPUPKI yang melibatkan kelompok peranakan (Cina dan Arab) yg dianggap sebagai golongan non pribumi. Diantara anggota BPUPKI ada empat orang Cina, satu orang Arab dan satu orang Belanda. Selain itu juga bisa dilihat dari pemikiran dan perdebatan dalam sidang BPUPKI yg sama sekali tidak mempersoalkan masalah pribumi dan non pribumi. Bukti sejarah ini menunjukkan issu pemilahan pribumi dan non pribumi tidak memiliki dasar historis.
Secara yuridis, ketika merumuskan pasal “presiden orang Indonesia asli” yang ada dalam UUD 45 konteksnya bukan sektarian dan rasis, tetapi semua warga negara yang berada dalam satu ikatan kesatuan historis dan kesatuan tempat tinggal (geografis) bumi Indonesia (Leo Suryadinata; 2002)
Meleburnya sekat pribumi dan non pribumi dalam kalimat “presiden orang Indonesia asli” juga bisa dilihat dari pernyataan bung Hatta: “seorang Indonesia tulen haruslah menghilangkan penyakit provinsialisme, seorang Indonesia tulen tak perlu curiga atau menutup diri terhadap kehadiran manusia Indonesia lain yang mungkin berbeda suku, agama, keyakinan politik dan lain-lain”
Issu pribumi dan non pribumi yang sektarian dan rasis semakin kehilangan pijakan yuridis ketika UUD 45 diamandemen dan pasal “presiden orang Indonesia asli” dihapuskan. Kemudian muncul pasal 27 ayat 1 UU Amandemen yang intinya menyatakan semua warga negara memiliki kedudukan dan kewajiban yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Dari sini lahir UU no. 40 th. 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Jelas di sini terlihat pemilahan pribumi dan non pribumi di Indonesia tidak memiliki landasan yuridis.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia juga tidak mengenal pemilahan pribumi dan non pribumi. Sila kemanusiaan yang ada dalam Pancasila merujuk pada keseluruhan manusia, tidak terbatas pada enis, golongan atau agama tertentu apalagi batasan pribumi dan non pribumi. Keadilan sosial yang terkandung dalam sila Pancasila juga untul seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Tak ada perbedaan pribumi atau non pribumi dalam nilai keadilan sosial yg ada dalam Pancasila. Dengan demikian pemilahan warga bangsa menjadi pribumi dan non pribumi jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia.
Jika dicermati lebih dalam, upaya merebut kemerdekaan sebenarnya merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan sebagai cermin dari penindasan dan kedhaliman yg tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan (lih. Pembukaan UUD 45). Ini artinya bangsa Indonesia harus melawan penindasan dan kedhaliman untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran.
Melawan kedhaliman dan mewujudkan kemakmuran tidak bisa ditransformasikan dengan issu pribumi dan non pribumi, karena ini terkait dengan perilaku individu yang tidak bisa digeneralisir secara kelompok. Banyak orang-orang pribumi yang bersikap tidak adil, menindas dan serakah demikian sebaliknya. Mengangkat issu pribumi dan non pribumi sebagai upaya mewujudkan kemakmuran dan melawan kedhaliman justru akan memancing timbulnya masalah baru dan mengalihkan dari persoalan yang sebenarnya.
Mengangkat issu pribumi dan non pribumi sama saja dengan merobek bendera dan membelah bangsa. Menghadapi issu yg rentan konflik dan perpecahan seperti ini kehadiran Pancasila menjadi semakin dibutuhkan. Karena Pancasila tidak mengebal diskriminasi berdasarkan ras, golongan dan keyakinan. Diperlukan adanya upaya aktualisasi Pancasila dalam laku hidup yg nyata untuk bisa menangkal sikap rasis dan sektarian yg bisa merobek keutuhan bangsa.
Semoga bangsa ini masih punya kekuatan untuk bertahan agar tidak mudah terkoyak ketika dirobek dan memiliki kesabaran untuk terus merajut keberagaman agar tidak mudah dibelah. Semoga.
*Penulis Budayawan dan Tim Ahli UKP Pancasila, Dosen Pasca Sarjana UNUSIA Jakarta.
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada