Ini soal ibukota. Ya, ibukota! Mau dibawa ke mana masyarakatnya?
Setuju, bahwa Pilkada DKI sudah selesai, dan kita harus move on. Memang demikianlah seharusnya kalau ingin maju.
Mari kita selesaikan. Dan mari mulai bekerja dan membangun.
Namun, dia yang memulai dengan cara-cara yang tidak etis sehingga merusak sendi-sendi bermasyarakat yang sehat, waras, dan benar: akankah mampu meluruskan apa yang salah; apalagi jika yang digoyang adalah pondasi dan pilar-pilar utamanya?
Dapat, jika dia menyadari di mana kesalahan yang ikut dimainkannya dan dia belajar mengakui kekeliruan itu.
Tidak mungkin dapat jika dia melulu menutup dalih dengan dalih, menjawab fakta dengan teori, membuktikan asumsi dengan asumsi.
Sekalipun kita bisa sekolah dari kehidupan, hidup itu sendiri tidak bisa dikelola seperti sekolahan.
Ada banyak hal yang perlu dipelajari kembali, agar kata selaras karya. Jiwa legawa nan amanah seyogyanya mampu meneruskan dan memelihara apa yang baik.
Pemimpin amanah itu dicintai, bukan menghadirkan kontroversi. Pemimpin amanah itu, sekalipun dihujat dicaci oleh pembenci, tahu membawakan diri dalam fokus kerja yang benar, bukan sibuk melakukan pembenaran diri atau pembuktian teori.
Pemimpin amanah tidak sibuk dengan klarifikasi citra diri, sebab dia tidak membutuhkan jargon-jargon pemasaran.
Pemimpin amanah tidak butuh pencitraan atau memerintahkan peliputan, sebab para peliput pasti mencarinya, oleh karena dia bekerja, bukan sekadar berbicara.
Saat ini, cukup banyak penggembira pilkada DKI, khususnya yang kurang tahu seluk beluk dan dinamika hidup kota Jakarta, yang begitu mudah berkata, Pilkada sudah lewat. Bersosial media dengan narasi, “Ayo, move on. Pilkada sudah lewat, bro!”
Ya, kasih komentar itu memang enak. Lha, tidak hidup di ibukota, kok. Tidak paham beda ibu kota sepuluh, lima, atau tiga tahun yang lalu dengan yang sekarang.
Realitas saat ini, banyak sudut Jakarta kembali ke masa sepuluh tahun ke belakang. Alih-alih progresif, malah regresif. Alih-alih tertata rapi malah jadi semrawut. Pergilah ke pasar-pasar atau stasiun-stasiun. Tengoklah kali, sungai-sungai, atau got.
Kelihatannya sang pemimpin itu amanah dan rendah hati karena berkali-kali berkata mengajak partisipasi masyarakat. Faktanya, dia lemah dalam keberanian untuk tegas pada komitmen dan integritas melayani di dalam totalitas. Sungguh menjadi sebuah tanda tanya atas keteladanan kepemimpinan dalam sikap dan perilaku.
Apa yang akan terjadi kemudian, selalu tercermin dari hasil hari ini. Jika hari ini masih tanda tanya, akankah ada kepastian di hari depan?
Indah dan sejahteranya masyarakat suatu kota memang sangat bergantung dari seberapa serius seorang pemimpin kota mau belajar dari interaksi sosial yang dibawanya ke dalam koridor hukum dan undang-undang yang benar.
Buatlah undang-undang baru jika perlu, namun apakah sebelumnya melakukan pendalaman atas apa yang sudah efektif dan yang belum?
Membongkar habis dan membangun baru sebuah rumah saja mengharuskan penghuninya mengungsi dulu. Pun jika hanya melakukan renovasi kecil saja, seseorang harus memperhatikan struktur dasar bangunan asalnya.
Ini kota lho. Interaksi jutaan orang terjadi di dalamnya setiap hari.
Siapakah pemimpin amanah itu? Bagaimana seharusnya dia berkiprah?
Sepantasnya itu dikaji sebelum terpilih, bukan dipelajari sesudah dipilih.
Jika sang pemimpin memiliki nilai-nilai amanah di dalam hidupnya sebagai pelayan publik, tentunya dia akan memulai dengan ketulusan dalam bersikap dan berperilaku, bukan mencari-cari kesalahan untuk membenarkan diri. Melainkan, belajar mendengarkan dengan hati dan melayani dengan empati. Melanjutkan apa yang baik, mengembangkan yang sudah baik, dan memperbaiki hal-hal yang keliru. Bukan menyerahkan kepada siapa pun untuk melakukan apa pun atas dalih berpihak kepada rakyat.
Berpihaklah kepada rakyat, dan wujudkan dengan mampu mengelola rakyat: mengajar, menegur untuk memperbaiki kelakuan, mengubah paradigma berpikir yang keliru tentang hidup bermasyarakat.
Visi besar hanya akan terwujud ketika kerja itu nyata bukan asal perintah.
*Penulis adalah konsultan manajemen dan penulis lepas.
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada