Usai pemilu 2019, wacana pemindahan ibu kota negara kembali digaungkan. Sejak era Presiden Soekarno, Soeharto, sampai dengan Susilo Bambang Yudhoyono wacana tersebut tak pernah berujung dengan realisasi.
Beberapa pekan terakhir, Presiden Joko Widodo mengeluarkan sinyal kuat bahwa pemerintah kali ini bersungguh-sungguh untuk mengeksekusi rencana ini, mulai dari pembahasan dalam rapat kabinet hingga kunjungan ke beberapa wilayah yang dianggap potensial menggantikan Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Ibu kota baru yang diusulkan oleh menteri PPN/Kepala Bappenas memang hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan, sedangkan pusat bisnis akan tetap berada di Jakarta.
Beban Jakarta sebagai episentrum aktivitas politik dan ekonomi memang sudah terlalu berat. Ini berimbas pada kualitas hidup warga yang terimpit kemacetan lalu lintas, banjir, terbatasnya akses hunian yang layak, dan berbagai permasalahan sosial lainnya. Belum lagi kerugian ekonomi yang ditimbulkan sebagai dampak kemacetan lalu lintas di Jakarta dan kota satelit di sekitarnya, seperti Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Kerugian ekonomi tersebut bahkan ditaksir mencapai 100 triliun rupiah per tahun. Guna mencegah persoalan menjadi semakin pelik dan kompleks, usulan perlunya memindahkan ibu kota ini dinilai sudah sangat tepat.
Pemindahan ibu kota tentunya tidak hanya membangun kota baru sebagai pusat pemerintahan saja, namun juga migrasi aparatur negara dari Jakarta yang mencakup para pegawai di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif pusat, TNI-Polri, serta kedutaan besar dan perwakilan organisasi internasional di Indonesia.
Menurut buku statistik PNS yang diterbitkan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) per Desember 2018, total PNS pemerintah pusat berjumlah 939.236 orang. Bappenas menyebut tidak semua PNS akan diboyong ke ibu kota baru. Rencananya sekitar 100-200 ribu PNS beserta keluarganya yang akan dipindahkan.
Meski demikian, aktivitas dan interaksi para calon pendatang, yang terdiri dari aparatur negara beserta keluarga serta perangkat pendukungnya, dengan masyarakat lokal hendaknya tidak menimbulkan, atau sekurang-kurangnya meminimalisasi permasalahan sosio-kultural dan sosio-psikologis baru. Untuk itu, wilayah yang dipilih idealnya memiliki masyarakat dengan karakteristik inklusif dan terbuka terhadap pendatang baru.
Sampai saat ini, gestur yang ditunjukkan Presiden Jokowi mengisyaratkan pemerintah mengincar wilayah di luar pulau Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi sebagai lokasi ibu kota baru. Tentunya hal ini telah melalui kajian dan pertimbangan mendalam oleh pemerintah dan patut kita apresiasi. Namun, alangkah bijak jika terdapat sejumlah opsi alternatif lain yang mungkin dapat dijadikan bahan pertimbangan.
Salah satu alasan gagal terealisasinya pemindahan ibu kota pada era pemerintah sebelumnya diduga karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memindahkan ibu kota. Makin jauh lokasi pemindahan, tentu makin besar upaya dan biaya yang dikeluarkan. Sebagai gambaran, Malaysia memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya pada tahun 1999. Kendati hanya berjarak 30 km, proses pemindahan tersebut menelan biaya sekitar US$8,1 miliar atau sekitar 107 triliun rupiah.
Mega proyek pemindahan ibu kota hendaknya tidak mengganggu sirkulasi anggaran negara yang berdampak pada perencanaan pembangunan strategis lain yang tak kalah penting. Efisiensi biaya dapat terwujud jika daerah yang dituju sekurang-kurangnya sudah memiliki lahan dan infrastruktur dasar seperti jalan, bandara, pelabuhan laut, sumber daya air, dan energi.
Jika merujuk pada efisiensi biaya dan segi jarak, kawasan Jawa Barat bagian utara seperti Indramayu, Majalengka, atau Cirebon dapat dijadikan opsi alternatif. Di Indramayu misalnya, terdapat kawasan Cikamurang, Haurgeulis yang memiliki lahan seluas 32.000 hektar milik negara, sehingga tidak perlu lagi dilakukan pembebasan tanah sekaligus menghindari terjadinya sengketa lahan.
Selain itu, akses transportasi darat telah tersedia lengkap karena dekat dengan Tol Cipali, dan jalur kereta api. Akses laut dapat ditunjang oleh pelabuhan Patimban di Subang yang akan menjadi pelabuhan besar tercanggih di Indonesia. Akses udara telah ditopang Bandara Internasional Kertajati di Majalengka dengan kapasitas penumpang terbesar setelah Bandara Soekarno-Hatta.
Untuk sumber air baku sudah tersedia Bendungan Jatigede dan Waduk Cipanas yang segera dibangun. Dari segi infrastruktur energi, Indramayu juga memiliki PLTU Sumuradem dan Pertamina RU-VI Balongan. Bayangkan, berapa triliun anggaran yang dapat dihemat jika kesediaan infrastruktur dasar telah dipenuhi, alih-alih membangun total sarana dan prasarana baru.
Dari segi perekonomian, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Indramayu menurut data BPS 2017 mencapai 66 triliun rupiah. Dengan jumlah penduduk 1,7 juta jiwa, pendapatan per kapita warganya sebesar 40,5 juta rupiah per tahun dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di angka 2,1 juta rupiah. Data Ini menunjukkan angka moderat yang tentunya berpengaruh terhadap biaya ketenagakerjaan yang masih belum terlampau tinggi.
Dari aspek politik dan hukum, pemindahan ibu kota juga memerlukan perubahan undang-undang yang melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat. Secara legislasi pemerintah akan melalui tahap konsultasi dengan DPR untuk menghasilkan produk hukum baru pengganti UU nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pada kenyataannya, realisasi pemindahan ibu kota tidak semudah yang kita bayangkan. Dibutuhkan perencanaan matang, kalkulasi yang cermat, dan eksekusi yang kompleks. Sinkronisasi lintas sektoral, mulai dari masyarakat serta pemerintahan setempat, dari segala aspek mutlak diperlukan. Pemerintah perlu mendengar masukan dari para pakar lintas disiplin ilmu dan segenap pemangku kepentingan lain, menimbang dengan bijak segala skenario dan dampaknya. Prinsip kehati-hatian harus diterapkan agar proses yang ditempuh berjalan dengan mulus dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru yang akan membebani masa depan bangsa.
Penulis Anggota Komisi Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI )
Menyukai ini:
Suka Memuat...