Akhir-akhir ini muncul gerakan bela-bela tuhan dikalangan umat muslim Indonesia. sebuah gerakan moral yang kadang menunjukkan ekspresi marah-marah. Dengan mudah menggoblok-goblokkan atau menuduh kafir antara satu dengan yang lain. Siapapun yang menghina ulama yang mereka anggap alim itu, dibangun logika bahwa itu melanggar atau menghina tuhan. Logika dan akal sehat kadang tidak berarti pula jika kita mendebati mereka ini.
Masih teringat gerakan aksi 212 yang muncul atas tuduhan penghinaan terhadap agama Islam yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Gerakan massa aksi ini, tidak segan-segan menyuguhkan perdebatan hitam-putih seperti yang tidak membela gerakan 212 adalah orang-orang yang mendukung Ahok dan kadang dianggap kafir pula dan begitupun sebaliknya. Tidak ada celah dalam meperdebatkan gerakan 212, yang ada hanya terjebak pada logika hitam-putih yang sedari awal telah dibangun.
Dalam diri mereka bahwa tuhan perlu dibela, dan siapapun yang mereka anggap ‘menghina’ tuhan adalah kafir, darahnya halal untuk dibunuh. Perdebatan berkepanjangan ini seperti tidak berujung, tidak ada pangkal penyelesaiannya dari persoalan penistaan agama sampai pada perdebatan bendera Rasul juga perdebatan Khalifah dan Khilafah. Dan terakhir perdebatan tentang penyelenggaraan reuni alumni 212 yang ditayangkan oleh program ILC pada tanggal 5 Desember 2017.
Perdebatan bahwa gerakan ini sedang membela agama atau tuhan adalah hal yang perlu kita apresiasi bersama sekaligus kekecewaan. Sebelumnya perdebatan tentang bela-membela tuhan yang sedang dipikirkan oleh siapapun dan agama manapun di Indonesia oleh para pengikutnya, mengingatkan saya pada statemen menarik yang disampaikan oleh Sujiwotejo di acara ILC yang membahas reuni 212, dengan memulai cerita tentang Anoman yang ingin berguru kepada Sunan Kalijaga dan kemudian diterimalah si Anoman itu menjadi murid Sunan Kalijaga, bersamaan dengan itu ada delegasi atau prajurit kerajaan yang memaksa Sunan Kalijaga yang menolak, kemudian prajurit itu memanah kearah Sunan dan ditepis oleh Anoman, Sunan Kalijaga kemudian mengusir Anoman. Cerita singkat yang disampaikan Sujiwotejo ini kemudian pula menceritakan bahwa ia juga menyepakati argumen yang dibangun Gus Dur dalam buku “Tuhan Tak Perlu Dibela”.
Argumentasi diatas pada perdebatan acara ILC mengingatkan pula penulis kepada salah satu film yang dibintangi oleh Aamir Khan yang berjudul PK, film ini menceritakan seorang alien luar angkasa yang diberi tugas untuk mempelajari kehidupan dibumi. Sesaat setelah alien ini turun ke bumi, remotecall miliknya dicuri oleh seorang yang tak dikenal, sampai singkat cerita bahwa remotecall miliknya dijual kepada salah satu pemuka agama paling sohor, namanya terkenal dengan ribuan atau bahkan jutaan pengikut seperti jumlah massa aksi 212. Ada satu hal yang menarik yang dipelajari oleh si PK nama Aamir Khan di film PK yaitu perbedaan tradisi agama antara Islam, Kristen, Hindu, Budha yang berbeda-beda.
Selanjutnya, film Aamir Khan ini menceritakan sisi lain yang sering kita lihat dan ditunjukkan oleh umat beragama yaitu ketaatan kita kepada agama dan tuhan hanya berdasarkan kepada rasa takut, seperti adegan PK yang datang ke salah satu kuil dengan mengambil uang sumbangan, salah satu orang yang melihat langsung meneriakinya maling dan puluhan orang mendatangi untuk memukulnya, akan tetapi dengan cerdas dan memanfaatkan ketakutan umat beragama itu, stiker dewa krisna ditempelkannya keseluruh badan sehingga massa mengurungkan niat memukulnya disebabkan takut kepada dewa krisna yang ada dibadan PK. Sebuah ironi yang ditunjukkan oleh umat beragama dalam menjalankan syariat-syariat agama lebih kepada rasa takut dari pada rasa ikhlas menjalankan seluruh perintah agama dan menjauhi larangan-Nya.
Pada adegan terakhir sebagai puncak menariknya film PK ini adalah perdebatan PK dengan seorang agamawan, yang mengatakan apa agamamu, apa mahzabmu. Agawan menuduhnya Atheis, dan memprovokasi masyarakat bahwa tuhan telah dihina oleh PK, dan mengajak untuk membela tuhan. Dengan nada sedih PK mengajukan pertanyaan, “apakah ada tanda pada setiap orang bahwa yang menunjukkan agamanya apa dan bagaimana bisa kalian dengan congkaknya membela tuhan yang menciptakan alam semesta yang luas ini, dan didalamnya ada sekelompok manusia ciptaannya dengan sombong ingin membela tuhan yang telah menciptakan kita semua”. Tanpa dalil agama, seorang alien dari luar angkasa mengajukan pertanyaan melalui logika kepada si agamawan yang dianggap Imam besar itu.
Film ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam film ini memberikan gambaran yang jelas mengenai makna-makna dalam agama, ritual agama yang selama ini kita yakini. Sekaligus mengkritik tradisi agama yang kita jalani dengan penuh rasa takut menjalankannya, juga memberi isyarat bahwa seorang yang taat beragama tidak bisa dinilai dari pakaiannya saja. Dan hal terakhir yang disampaikan dalam film ini adalah kita tak perlu sombong berteriak membela tuhan yang maha besar, menciptakan kita dan alam semesta yang luas ini. menyoal penghinaan agama yang selama ini marak terjadi sampai memecahbelakan umat, penulis juga teringkat dengan statemen Sujiwotejo bahwa “menghina agama bukan saja dengan menginjak-injak Al-Qur’an sebagai kitab suci, memikirkan besok akan makan apa juga bagian menghina agama, bahkan menghina tuhan”. Mari kita perbaiki diri sendiri, sebelum membicarakan keburukan orang lain.
Wakil Ketua Lakspesdam NU Kota Yogyakarta, Kader PMII Jogja
Menyukai ini:
Suka Memuat...