Pasca pesta demokrasi Pemilihan Presiden dan legislatif yang lalu, Indonesia akan kembali mengadakan pagelaran pesta demokrasi selanjutnya yakni, pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020. Pilkada serentak 2020 nantinya akan diikuti sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 30 kota.
Komisi Pemilihan Umum RI (KPU RI) selaku lembaga penyelenggara umum nasional telah menetapkan jadwal pemungutan suara, tahapan pemungutan suara Pilkada serentak 2020 akan dilaksanakan pada 23 September 2020. Selain jadwal pemungutan suara, KPU RI juga telah membentuk aturan mengenai pencalonan kepala daerah untuk Pilkada serentak 2020, aturan tersebut tertuang pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota.
Dalam PKPU No. 18 Tahun 2019 tersebut akhirnya menjawab sudah teka-teki eks koruptor pada Pilkada serentak 2020. Dalam aturan PKPU No. 18 Tahun 2019, mantan narapidana korupsi boleh ikut mencalonkan diri di Pilkada 2020. Sebelum aturan tersebut terbentuk, terdapat wacana oleh KPU RI untuk melarang mantan narapidana korupsi atau eks Koruptor untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Pilkada 2020.
Pasal 4 PKPU No. 18 Tahun 2019 tentang persyaratan calon kepala daerah, tidak memuat larangan bagi mantan terpidana korupsi untuk maju sebagai calon kepala daerah, dalam Pasal 4 PKPU hanya melarang calon kepala daerah yang berstatus mantan terpidana bandar narkoba, dan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
Selanjutnya, dalam PKPU No. 18 Tahun 2019 hanya memuat tentang “himbaun” saja kepada partai politik (Parpol), dan calon perorangan untuk tidak mencalonkan sebagai kepala Daerah mantan terpidana korupsi. Pasal 3 Ayat (3) dan (4) PKPU menjadi acuan memperbolehkan eks koruptor dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dalam isi pasal tersebut terdapat kata “mengutamakan” (Pasal 3 Ayat (3) PKPU), dan “diutamakan” (Pasal 3 Ayat (4) PKPU), menggunakan frasa “mengutamakan/diutamakan” bukanlah norma persyaratan dan tidak mengikat secara hukum, norma tersebut hanya bersifat himbauan.
Isi Pasal 3 Ayat (3), dan (4) PKPU No. 18 Tahun 2019:
Pasal 3 Ayat (3), “Dalam seleksi bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/ atau Wali Kota dan Wakil Walikota secara demokratis dan terbuka sebagaimana pada ayat (2) mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi.”
Pasal 3 Ayat (4), “Bagi bakal calon perseorangan yang dapat mendaftar sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/ atau Wali Kota dan Wakil Walikota diutamakan mantan terpidana korupsi.”
Wacana dan selalu wacana, misi jihad KPU melawan eks koruptor selalu gagal. Wacana KPU untuk melarang eks koruptor sebagai peserta kontestan Pemilu memang sudah sejak lama. Seperti Pemilu 17 April 2019 lalu KPU juga melarang untuk Caleg eks koruptor mencalonkan diri sebagai anggota DPR/DPD, dan DPRD dengan dasar PKPU No. 20 Tahun 2018, namun misi jihad KPU digagalkan oleh Mahkamah Agung (MA) dengan putusan uji materi mengabulkan gugatan untuk memperbolehkan eks koruptor mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Mungkin ini yang menjadi alasan KPU tidak melarang eks koruptor mencalon diri sebagai kepala daerah, KPU mempunyai pengalaman ketika Pemilu 17 April 2019 ketika membuat larangan dan akhirnya larangan tersebut gagal.
Korupsi tergolong bentuk Extraordinary Crime (kejahatan luar biasa) sama halnya seperti kejahatan narkoba, kejahatan seksual terhadap anak yang mana tertuang pada Pasal 4 PKPU No. 18/2019, namun koruptor menjadi berbeda dalam hukum Indonesia seakan-akan koruptor dianakemaskan. Contoh kecilnya saja pada konteks Pemilu/Pilkada, mantan terpidana Extraordianry Crime lainnya tidak diperbolehkan dalam mencalonkan diri sebagai peserta dalam kontestan Pemilu/Pikada atau kegiatan politiknya dibatasi, sedangkan eks narapidana korupsi bebas untuk berpolitik seperti mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Hak dipilih dan memilih adalah hak konstitusional warga negara, tak terkecuali koruptor atau pelaku Extraordinary Crime lainnya. Namun sangat disayangkan jika ada calon kepala daerah yang diusung oleh Parpol dan/atau calon kepala daerah perseorangan eks koruptor dalam suatu daerah. Calon eks koruptor menjadikan mimpi buruk bagi demokrasi, sebab tujuan demokrasi ialah menginginkan dan menjadikan Pemilu/Pilkada yang bersih menghasilkan pemimpin yang memiliki integritas demi kemaslahatan masyarakat.
Aturan sudah terbentuk (PKPU No. 18 Tahun 2019), aturan ini menjadikan angin segar bagi para eks koruptor yang ingin mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah pada Pilkada serentak 2020, tinggal saja para pemilih dalam hal ini masyarakat pada 23 September 2020 nantinya benar-benar memanfaatkan hak suarnya agar tidak salah memilih pemimpin.
Pemerhati Hukum Tata Negara dan alumni FH Universitas Islam Sumatera Utara
Menyukai ini:
Suka Memuat...