PERISTIWA keikutsertaan Israel dalam piala dunia FIFA U20 yang rencananya digelar di enam kota di Indonesia pada Mei 2023 menjadi isu panas dalam dua pekan belakangan. Setidaknya dua gubernur menolak keikutsertaan Israel dalam ajang internasional itu: Ganjar Pranowo (Gubernur Provinsi Jawa Tengah) dan I Wayan Koster (Gubernur Provinsi Bali). Gelaran olahraga yang seharusnya dapat membuat Indonesia dipandang di mata dunia dikacaukan oleh politik. Para politisi dan publik bersilang pendapat hingga membuat kisruh. Pada akhirnya, FIFA membatalkan hak tuan rumah Indonesia untuk menyelenggarakan piala dunia U20. Peristiwa ini tentu membuat presiden buruk dan berdampak pada kapabilitas Indonesia dalam menyelenggarakan gelaran internasional di masa mendatang.
Pada dasarnya, sikap Indonesia terhadap konflik Israel-Palestina sudah jelas. Jauh sebelum Deklarasi Bandung 1955, konstitusi republik dengan tegas menyatakan segala bentuk penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan. Solusi dua negara (two-state solution) menjadi pilihan pemerintah dalam menengahi konflik yang terjadi. Namun, terdapat ketidaksesuaian antara solusi yang diberikan dengan kebijakan yang dimunculkan. Selama ini, Indonesia hanya mendukung kemerdekaan Palestina tanpa pernah berusaha untuk berbicara dengan Israel. Keengganan pemerintah untuk berdiplomasi dengan pihak Israel membuat reaksi publik beragam, kapan saja persoalan menyangkut Israel-Palestina meruak ke permukaan. Termasuk dalam kisruh yang terjadi terkait keikutsertaan Israel dalam piala dunia U20 di mana Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah. Ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi kendala yang mungkin muncul pada gelaran piala dunia U20 ini menjadi penyebab dibatalkannya Indonesia sebagai tuan rumah. Dalam perspektif kebijakan publik, perencanaan yang kurang matang ini menjadi kesalahan yang tidak termaafkan.
Pidato Jokowi
Menanggapi batalnya Indonesia menjadi tuan rumah piala dunia U20, Presiden Jokowi memberikan pidato klarifikasi. Dalam pidato tersebut, Jokowi meminta semua pihak untuk tidak saling menyalahkan dan tidak mencampuradukkan olahraga dengan politik. Ia kemudian menerangkan bahwa pada saat penawaran (bidding) tuan rumah piala dunia U20, Indonesia belum mengetahui Israel akan lolos ke babak final. Diketahui bahwa Israel lolos ke piala dunia U20 pada Juli 2022. Pidato ini, meski pun baik untuk meredakan kekisruhan, menjadi sama sekali tidak berarti sebab semuanya terasa sudah terlambat. Hal ini malah menunjukkan ketidakmatangan perencanaan kebijakan dari pemerintah.
Ketika merumuskan kebijakan, faktor risiko seharusnya menjadi pertimbangan kuat. Segala faktor terkait politik domestik, manfaat dan mudharat suatu kebijakan diimplementasikan, seharusnya dipertimbangkan. Werner Pfennigstorf, seorang ahli manajemen risiko dalam kebijakan publik menyatakan, salah satu karakteristik manajemen pemerintahan dipengaruhi oleh iklim politik domestik. Jika persoalan politik domestik tidak dapat diselesaikan dengan baik, maka kebijakan yang dikeluarkan akan memiliki risiko tinggi. Dalam kasus piala dunia FIFA U20, pemerintah Indonesia tidak mempertimbangkan dampak dari keputusan penawaran menjadi tuan rumah. Pemerintah abai bahwa iklim politik di Indonesia sedang memanas jelang pemilu 2024. Hal ini membuat isu apa pun akan menjadi makanan empuk bagi agen provokator untuk digoreng.
Membuang Waktu dan Uang
Saat Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah piala dunia U20, segala persiapan harus dimatangkan, baik dari segi perbaikan infrastruktur hingga pengamanan. Namun, ketika kisruh terjadi, disebabkan lolosnya tim nasional Israel, segala persiapan itu menjadi tidak ada artinya. Ia menjadi tidak bernilai dihadapkan dengan isu-isu sosial-politik domestik. Waktu dan uang menjadi terbuang percuma.
Melihat ketidaksiapan menghadapi sikap publik, pemerintah seharusnya tidak melakukan bidding untuk menjadi tuan rumah piala dunia U20 sejak awal. Tanpa membereskan urusan dengan Israel, masalah akan tetap muncul dan menghambat kesempatan Indonesia untuk menyelenggarakan gelaran internasional apa pun. Jika hanya respons yang diberikan ketika kisruh sudah terjadi, maka hal itu terlambat dan menunjukkan kurangnya persiapan untuk mengatasi setiap risiko yang akan bermunculan. Jangan berharap pula ambisi menjadi tuan rumah piala dunia 2034 atau olimpiade 2036 terwujud selama persoalan terkait urusan Israel-Palestina tidak diselesaikan dengan tuntas.
Rembuk Nasional
Keterlibatan publik dalam kebijakan sangat penting. Hal ini untuk membuat segala kebijakan tidak mentah di tengah jalan, pun sikap Indonesia terhadap Israel jelas. Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina dan jalan terbaik untuk mewujudkannya adalah dengan two-state solution, meski pun hal ini tentu dengan konsekuensi mengakui Israel sebagai negara berdaulat. Namun, untuk urusan yang membangkitkan sentimen seperti ini, pemerintah harus peka dan mempertimbangkan segala kemungkinan.
Terlepas dari piala dunia U20, pada bulan Agustus 2023, Bali akan menjadi tuan rumah Anoc World Beach Games (AWBG), yang akan menyelenggarakan berbagai cabang olahraga pantai seperti, basket 3-on-3, sepakbola pantai dan voli pantai. AWBG merupakan gelaran kedua menyusul kesuksesan Qatar menjadi tuan rumah AWBG pada 2019. Tim basket putra 3-on-3 dan renang 5 kilometer putri Israel lolos kualifikasi dan mengabsahkan diri untuk ikut serta dalam turnamen AWBG ke-2. Penolakan terhadap kehadiran tim nasional sepakbola Israel pada piala dunia U20 tentu menjadi presiden dan bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali dibatalkan menjadi tuan rumah AWBG ini. Kendati demikian, pernyataan terbaru gubernur Bali, I Wayan Koster justru cenderung datar dan membiarkan event AWBG ini berjalan sebagaimana mestinya, mengingat persiapannya yang hampir rampung dan hanya menyisakan masalah teknis saja.
Di sinilah diperlukan rembuk nasional, dengan mengundang semua unsur anak bangsa, terkait persoalan-persoalan sensitif. Jika dalam rembuk nasional telah diputuskan berbagai perkara, maka pemerintah beserta segenap anak bangsa harus konsisten menjalankan setiap keputusan yang dibuat, termasuk jika nantinya Indonesia menjadi tuan rumah gelaran internasional yang melibatkan Israel di dalamnya.
Hari ini, ketangguhan dan konsistensi kita sedang diuji. Jika persoalan seperti menjadi tuan rumah piala dunia saja kita tidak mampu selesaikan, bagaimana kita bisa menjalankan politik luar negeri kita yang bebas-aktif. Bagaimana pula kita dapat menjadi fasilitator untuk mendamaikan dunia?
Graduate Student Politic and Public Policy Deakin University
Menyukai ini:
Suka Memuat...