Belakangan ini, bangsa Indonesia dilanda krisis sosial yang cukup akut. Hal tersebut berangkat dari persoalan agama yang dijadikan pisau tusuk dalam masyarakat. Bahasa provokatif dari oknum tertentu hadir bagai air mengalir. Propaganda-propaganda pun melesat bagai rudal squad. Sehingga, ketenangan perasaan terganggu dan kejernihan dalam berpikir pun terbelenggu. Keadaan jika sudah demikian, emosi mudah tersulut dan terbakar seperti gunung Kelud. Bangsa Indonesia satu dengan yang lain saling menyalahkan dan saling tikam dengan firman-firman Tuhan. Fenomena demikian bisa kita lihat sendiri seiring iklim politik berada di tiga puluh dua derajat celcius dan kepentingan orang munafik masih belum menemukan arus.
Menghadapi fenomena demikian di lingkungan masyarakat Indonesia, perlu kiranya sebuah wacana yang mampu mengembalikan iklim tersebut agar sejuk. Menyegarkan kembali pikiran dan menenteramkan lagi perasaan membutuhkan sebuah media agar iklim tersebut bisa normal, seperti diskusi yang rutin dilaksanakan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Pada 28 Januari 2017 yang lalu TBY memberikan contoh rembuk-urun tentang kebangsaan dengan tema Yogya Berhati Tawa. Perhelatan diskusi dengan beberapa penyair tersebut bertujuan menemukan ketenangan dan ketenteraman bagi masyarakat. Acara tersebut dipandu oleh Asef Saeful Anwar dengan menghadirkan Joko Pinurbo, Mustofa W. Hasyim, dan Andy Sri Wahyudi.
Dalam pagelaran diskusi budaya-kesusastraan tersebut, para pembicara tidak hanya fokus pada budaya dan sastra yang berkembang di Yogyakarta. Lebih dari itu, mereka mampu meretas rahasia sastra bagi lingkungan sosial, khususnya puisi bagi perkembangan masyarakat secara nasional. Joko Pinurbo (Jokpin) mengutarakan bahwa masyarakat Indonesia masih kekurangan humor, khususnya di Jakarta sebagai ibu kota Indonesia. Selain itu, masyarakat kurang cerdas dalam menyikapi persoalan agama. Sehingga, agama menjadi sumber ketegangan dan konflik, tak ada atau jarang orang yang memperlakukan agama dengan rileks.
Tertawa dengan Puisi, Menari Bersama Literasi
Dengan memberikan dua contoh masyarakat yang kontradiktif antara Yogyakarta dan Jakarta, Jokpin menyatakan bahwa substansi dan spirit orang Jogja menyukai humor. Sehingga perilakunya tidak kaku dalam menyikapi berbagai persoalan hidup. Selain memang Jokpin mengingatkan urgensitas humor dalam kehidupan sehari-hari, dia dengan lihai menyulap puisi-puisinya penuh humor. Bukan hal mudah, mencipta puisi-humor memerlukan latihan keras dan istiqamah. Substansinya, puisi sebagai teman agama dan sumber hiburan. Puisi humor sebagai penangkal racun hedonisme dan radikalisme kehidupan. Kata Jokpin, demi bertahan hidup kita harus menumbuhkan jiwa kanak-kanak, termasuk unsur intrinsik dalam puisi.
Kanak-kanak menjadi simbol kebahagiaan dan keluasan imajinasi. Imajinasi menjadi pintu masuk pada dunia yang tak pernah kita temukan. Mustofa W. Hasyim juga mengamini bahwa Nabi Muhammad mencintai anak kecil. Cucunya digendong saat melaksanakan salat dari saking beliau mencintai anak-anak. Sementara anak-anak, memiliki dunia humor dan hal itu menjadi media yang selalu membuat bahagia. Puisi sebagai media penyerap peristiwa riil dimasukkan ke dunia sastra merupakan hal yang wajar. Fiksi kadang lebih nyata dari yang dunia riil, begitu juga sebaliknya. Masuk Jogja tidak akan radikal. Jadinya Jogja tetap istimewa. Itu beberapa pendapat Jokpin atas pengalaman hidup selama 30 tahun menjalani dunia kepenyairan di Yogyakarta.
Humor memang selalu menjadikan hati dan pikiran tenang. Gus Dur yang dikenal dengan humornya, saat dituduh kafir oleh kelompok yang kontra dengannya, dia menjawab dengan rileks bahwa dirinya sudah baca dua syahadat sebagai takrir. Seseorang yang bisa berhumor, khususnya dalam karya sastra puisi merupakan orang yang memiliki kejeniusan logika yang kuat. Selain itu, seseorang agar bisa berhumor, harus rileks dan emosi rendah, tidak dalam keadaan marah. Kata Andy Sri Wahyudi, sebenarnya humor sangat relatif. Suatu objek bagi seseorang bisa lucu, tapi bagi orang lain bisa tidak lucu. Kadang ada orang tertawa melihat suatu hal, tapi ada pula yang tidak tertawa pada saat bersamaan melihatnya.
Puisi Jokpin yang berjudul Celana Ibu – dicipta pada tahun 2004 – jika dibaca sekilas akan dianggap sebagai penista agama. Puisi tersebut membawa nama Ibunda Maria dan Yesus sebagai bahan imajinasinya yang secara harfiah tampak konyol. Tapi, Jokpin tidak pernah dituduh atas penodaan agama. Jokpin ditanyakan soal agama, dia tidak banyak memberikan komentar. Berhumor memang sulit. Di dalam Alkitab, Yesus tidak bercanda, beliau selalu tampak serius kata Jokpin. Sebagai seorang Katolik, dia memberikan sekelumit pandangan tentang keimanan umat Kristiani, bahwa keimanan mereka akan menjadi lebih kuat ketika Yesus bangkit.
Secara mendalam, puisi Jokpin yang berjudul Celana Ibu merupakan permenungan tentang peran ibu dalam penyelamatan hidup manusia. Bukan hanya Bunda Maria bagi Yesus, tapi juga Widji Tukul yang paling menderita adalah istrinya, juga seorang perempuan. Memang ada banyak hal yang sebenarnya tidak lucu, tapi jika logika kuat, maka akan menjadi lucu dan tidak kaku. Humor bukan semata dimaknai sebagai hiburan, tapi juga demi menjaga rasa syukur dan empati bagi orang lain karena hidup bisa bahagia. Bahkan, terorisme berangkat dari retorika bahasa.
Jika humor menjadi komunikasi, maka tidak akan menghadirkan kelucuan. Menjadi penulis harus istiqamah, namun yang tersulit mengontrol emosi. Humor yang tak kendali karena emosi, sehingga tidak bisa lucu. Humor yang dipaksakan tidak akan lucu. Ada orang memang berbakat humor, tanpa niat humor akan mendatangkan rasa lucu. Bahasa memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Seperti pada masa rezim Orde Baru (Orba) juga menggunakan konstruksi bahasa. Maka dari itu, humor puisi lahir setelah Orba tumbang.
Hakikatnya, puisi bisa menangkal terorisme. Penelitian di Kanada yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terhadap anak yang suka membaca sastra. Mereka bisa berpikir kreatif, menemukan inspirasi, dan memudahkan cara pikir yang toleran dan empati yang tinggi serta membangun mentalitas yang tinggi. Jangan jadi pembaca yang tergesa untuk menyimpulkan suatu bahan bacaan, karena substansi yang dibaca bisa hadir di kemudian hari. Puisi tidak jauh berbeda seperti telur yang dierami, lalu menetas pada masanya. Menulis juga sama halnya dengan menghamili pengalaman agar melahirkan anak kehidupan. Tugas penyair menyesuaikan-menciptakan kreativitas yang berbeda dengan tujuan yang sama, yaitu menginspirasi masyarakat pembaca.
Akademisi asal Sumenep, lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya. Sekarang Menempuh Pendidikan di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.