Pemberontakan Sudan
Sebelum terjadinya referendum pada tahun 2011, Sudan merupakan salah satu negara terbesar yang berada di wilayah Timur Laut Benua Afrika. Negara yang berbatasan dengan Mesir, Kongo dan Libya ini telah mengalami masa krisis pemerintahan yang tak bisa lepas dari peperangan saudara dan sampai akhirnya terpisah menjadi dua bagian, Republik Sudan beribukota Khartoum dan Republik Sudan Selatan beribukota Jiba.
Sebagai bekas negara terluas kesepuluh di dunia, Sudan pernah mengalami rezim pemerintahan militer selama tiga dekade yang kemudian memantik apa yang sedang terjadi di Sudan saat ini, yakni aksi protes demonstran oleh warga sipil. Selama 30 tahun, Sudan dipimpin oleh seorang Presiden yang terkenal otoriter, Omar Al-Bashir.
Pemberontakan yang terjadi di Sudan mulanya berawal dari krisis ekonomi yang menyebabkan aksi protes masyarakat mengenai kenaikan biaya pangan dan krisis bahan bakar di bulan Desember hingga berujung pada penggulingan kediktatoran Presiden Bashir yang dianggap sudah tidak mampu menangani krisis Sudan.
Aksi tersebut dilakukan atas bentuk perlawanan masyarakat untuk segera mengakhiri masa krisis. Sebagian para demonstran merupakan anak muda Sudan yang menghendaki kestabilan politik Sudan yang selalu dibayangi dengan perang saudara.
Berawal dari krisis ekonomi, aksi protes kemudian mengarah ke situasi krisis politik nasional. Para demonstran menuntut supaya Presiden Bashir lengser dari jabatan kekuasaannya.
Seperti diketahui, Omar Al-Bashir telah menjabat sebagai Presiden Sudan sejak pengambilalihan pemerintahan berupa kudeta yang ia pimpin sendiri. Selanjutnya, dalam masa pemilihan berikutnya ia selalu terpilih kembali namun dengan kekuatan militer yang ia kendalikan dan sangat jauh dari proses demokrasi.
Kejahatan HAM
Para demonstran menilai kediktatoran Bashir harus segera diakhiri. Mereka menganggap apa yang dilakukan pemimpinnya selama berkuasa telah banyak menyakiti perasaan rakyat Sudan dan mengorbankan banyak nyawa demi kelanggengan kekuasaan dirinya semata.
Namun apa lacur, pelanggaran HAM terhadap warga sipil tak juga berhenti pasca penggulingan rezim Bashir. Kesepakatan yang awalnya akan diberikan jalan mengenai pemilu yang demokratis untuk menyelenggarakan pemerintahan sipil rupanya menjadi babak baru krisis politik yang terjadi di Sudan.
Sebelumnya, antara pihak oposisi Bashir dengan Dewan Militer telah bersepakat adanya transisi menuju pemerintahan Sudan yang lebih demokratis serta tidak menggunakan kembali orang-orang di masa rezim Bashir.
Para demonstran yang menuntut kepastian adanya pembentukan badan pemerintahan sementara oleh sipil, namun secara sepihak dibatalkan oleh Dewan Militer Transisi dan menyerang balik para pengunjuk rasa pada 3 Juni lalu.
Dewan Militer Transisi menyatakan pembatalan kesepakatan dengan pihak oposisi Bashir untuk mempercepat pemilu pasca lengsernya Omar Al-Bashir. Para pengunjuk rasa semakin tidak bisa dibendung. Keadaan pun semakin rusuh terjadi penembakan, pembatasan akses komunikasi dan internet, serta pengambilalihan kekuasaan secara militeristik.
Akibat kerusuhan tersebut, disebutkan telah banyak korban jiwa yang dilakukan oleh dewan militer, kekerasan secara fisik dan banyak sekolah dan universitas terpaksa harus tutup untuk sementara.
Harapan Pemerintahan Sipil
Dengan kejadian ini, secara cepat pemberitaan situasi darurat yang terjadi di Sudan mendadak viral melalui berbagai media sosial. Gerakan protes yang awalnya menuntut Omar Al-Bashir lengser, berganti harapan masyarakat Sudan untuk memiliki pemerintahan yang lebih demokratis.
Pemerintahan demokratis tersebut ditafsirkan bahwa adanya pemilihan umum yang dilaksanakan oleh kekuatan sipil dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Maka, para demonstran yang tergabung dalam Asosiasi Pekerja Profesional Sudan (SPA) semakin gencar menyebarkan perlawanan atas bentuk kemanusiaan untuk mengakhiri kekerasan yang dilakukan dewan militer.
Bahkan, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebenarnya telah memberikan pernyataan untuk mendukung segala upaya demokratisasi sebagai penyelesaian krisis politik yang terjadi di Sudan.
Sehingga, apa yang menjadi keharusan untuk menata masa depan Sudan sebaiknya kedua pihak antara oposisi dan dewan militer transisi segera mengagendakan penyusunan proses pemilihan umum yang dimenangkan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Indonesia Controlling Community
Menyukai ini:
Suka Memuat...