SERIKATNEWS.COM – Tingginya misinformasi terkait krisis iklim, nyatanya tidak berbanding lurus dengan perhatian masyarakat. Padahal penanganan misinformasi krisis iklim menjadi penting agar tidak menghambat upaya mitigasi dari dampak krisis iklim, khususnya di Indonesia. Posisi Indonesia dengan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia dinilai memiliki peran signifikan terhadap ketahanan iklim dunia.
Center for Digital Society (CfDS) dengan dukungan dari APNIC Foundation melalui The Information Society Foundation (ISIF ASIA) melakukan riset berjudul “Menangkal Misinformasi Krisis Iklim di Indonesia”. Riset dilakukan untuk menjawab dua pertanyaan penting, 1) bagaimana pemahaman pola konsumsi dan kemampuan literasi digital pengguna internet di Indonesia terkait misinformasi krisis iklim, dan 2) bagaimana ragam misinformasi krisis iklim yang ditemukan dan diverifikasi oleh berbagai sumber cek fakta terpercaya di Indonesia.
CfDS melakukan survei kepada 2.401 responden dengan komposisi mayoritas perempuan (63,2%), lajang (56,9%), lulusan sarjana (34,7%), dan Gen Z (51,6%). Dari survei tersebu ditemukan 24,2% responden percaya bahwa krisis iklim adalah rekayasa buatan yang diciptakan oleh penguasa global.
“Hal ini artinya mereka, masyarakat masih banyak yang percaya pada teori konspirasi global. Mengejutkan juga bahwa sepertiga (21,5% setuju dan 11% sangat setuju) memiliki persepsi bahwa krisis iklim disebabkan oleh semakin banyak manusia melakukan maksiat dan tidak mematuhi agamanya” papar peneliti CfDS, Novi Kurnia, dalam diskusi hybrid belum lama ini yang turut mengundang perwakilan organisasi gerakan peduli lingkungan hidup, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), dan pemberantasan konten berita palsu dan menyesatkan, MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia).
Biasanya, misinformasi iklim ditemukan pada konten yang dibuat dengan menggabungkan informasi atau gambar dari sumber yang berwenang, dan informasi palsu berupa keterangan/teks penjelasan gambar. “Tipe-tipe konten seperti ini berpotensi untuk menghasilkan bacaan yang menyesatkan, membuat asumsi yang lahir dari konten palsu, hingga mengakibatkan informasi derivatif yang terunggah dianggap sebagai informasi yang salah,” imbuh Novi.
Septiaji Eko Nugroho (Ketua Presidium MAFINDO) menerangkan adanya ketidakimbangan antara konten misinformasi dan disinformasi dengan fakta yang beredar di media Indonesia. “Hubungan pengguna atau masyarakat dengan informasi di media sosial erat memengaruhi dan dikaitkan secara emosional. Banyak di antara pengguna masyarakat Indonesia yang lebih cepat menyebarkan berita misinformasi dibandingkan dengan fakta secara yang alami dan diperbincangkan,” katanya.
Tren persebaran misinformasi iklim di Indonesia semakin meningkat, dengan adanya jumlah climate-change deniers atau penyangkal krisis iklim tertinggi di dunia yakni sebesar 18%. Para penentang krisis iklim menggunakan strategi retorika untuk memengaruhi opini publik, khususnya dengan bantuan misinformasi melalui internet.
“Misinformasi bisa terjadi karena dua hal. Perubahan iklim yang menjadi kepentingan pihak global, dan adanya substansi informasi mengenai perubahan iklim yang sering dirancang dan dimanipulasi dulu sebelum disebarkan. Penyangkalan informasi krisis iklim disebabkan oleh cara orang Indonesia dalam menerima informasi, dan kepercayaan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh tindakan maksiat,” tutur Zenzi Suhadi selaku Direktur Eksekutif WALHI.
Kepercayaan terhadap misinformasi krisis iklim juga berkorelasi dengan kecenderungan teori atau pola pikir konspirasi. Sehingga menyajikan informasi benar tidak selalu mengubah pandangan penyangkal atau penentang krisis iklim. Diperlukan upaya mencocokan informasi dan cara penyampaian pesan dan informasi yang tepat kepada kelompok penentang untuk dapat menanggulangi misinformasi krisis iklim.
Upaya Pencegahan dan Penanganan Misinformasi Krisis Iklim di Media Indonesia
Sebagai upaya pencegahan dan penanganan misinformasi krisis iklim, aspek literasi digital dan kemampuan berpikir kritis dinilai penting dalam upaya pencegahan misinformasi iklim di Indonesia. Temuan menarik lainnya, bagaimana tema politik dalam konten misinformasi krisis iklim menjadi tema dengan jumlah konten terbanyak, selain tema agama dan climate-alarmism (alarmisme iklim). Terdapat tingginya jumlah konten yang masuk dalam kategori koneksi yang salah (71%) di mana adanya tendensi menggunakan judul dan caption bersifat clickbait.
Informasi keliru dan salah yang beredar di media sosial Indonesia lebih banyak menarik perhatian masyarakat, dibuktikan dengan peta penyebaran hoaks yang dilakukan di media sosial paling banyak diakses seperti, YouTube, Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp.
“Menyikapi hoaks krisis iklim seharusnya sama sigapnya dengan hoaks Pandemi Covid-19. Di era post truth pencegahan atau prebunking selalu lebih baik daripada hanya penanganan seperti fact checking dan content moderation,” terang Septiaji.
Diperlukan tindakan proaktif (prebunking) dengan pencegahan atau antisipasi sebelum mis dan disinformasi menyebar. Kemudian tindakan reaktif cepat (debunking), untuk pengecekan fakta dan pengungkapan hasil cek fakta terhadap mis dan disinformasi yang menyebar.
Zenzi menegaskan perlunya menyebarkan lebih masif isu krisis iklim untuk internalisasi terkait istilah-istilah tentang perubahan iklim dan dampaknya supaya isu bisa menjadi familiar bagi masyarakat luas. “Salah satu cara menangani misinformasi, validasi dan otorisasi informasi terkait krisis iklim. Kalau kita mendapatkan informasi yang salah berkaitan dengan cuaca katakanlah, maka kita akan menyiapkan mitigasi yang salah juga,” imbuh Zenzi.
Rekomendasi secara akademis yang perlu ditindaklanjuti dapat berupa mengamati dan meneliti terkait pemetaan kebijakan pencegahan dan penanganan misinformasi lingkungan yang tidak hanya meliputi misinformasi dan disinformasi krisis iklim, namun juga mengenai informasi iklim secara umum, kebencanaan, maupun pemanasan global.
“Secara praktis, pelibatan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, institusi pendidikan, beragam komunitas terkait (Lingkungan Hidup, Cek Fakta, dan Literasi Digital, dan komunitas lain yang relevan), tokoh agama dan masyarakat, social influencer, serta pengguna internet juga patut diinisiasi untuk membantu memfasilitasi ruang pertukaran informasi yang akurat dan mendukung program menangkal krisis iklim. Perlu diketahui bahwa isu krisis iklim bukan persoalan negara maju saja, tapi kita semua,” tutup Novi. (*)
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...