SERIKATNEWS.COM – Di tengah masih banyaknya gerakan fanatisme antar golongan dan kelompok di tengah masayarakat kita, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sumenep Komisariat Lancaran menggelar dialog keislaman yang bertajuk “Meneropong sejarah berdirinya Nahdlatul ulama dan Muhammadiyah dalam rangka menepis fanatisme”.
Kegiatan dialog keislaman tersebut berlangsung di Pendopo Kecamatan Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur yang dimulai sejak pukul 08.00 WIB – selesai, Rabu (12/10/2022).
Turut hadir dalam kesempatan tersebut Dua Narasumber, K. Muhammad Affan dan Dr. Moh. Zeinudin, S.H, S.H.I, M.HUM, perwakilan dari masing-masing organisasi kepemudaan (OKP) diantaranya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) komisariat Guluk-guluk, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) serta audien lainnya yang terdiri dari mahasiswa/i dari kampus berbeda seperti STIDAR, STAI Nurud Dhalam, dan UNIBA.
Dalam penyampaiannya, Zain sapaan akrabnya mengurai secara eksplisit dan komprehensif akan sejarah ormas yang merupakan besutan dari KH. Ahmad Dahlan ini, bahwa tokoh tersebut muasalnya tercipta dari sanad satu (tonggel guruh, red, Madura) dengan KH. Hasyim Asy’ari. Bahkan dalam persoalan berguru pun mereka beriringan termasuk dalam menimba ilmu kepada KH. Syaikhona Kholil Bangkalan, KH.Sholeh Darat Semarang.
“Tidak hanya di Indonesia, keduanya bahkan ke Arab Saudi pun masih bergandengan. Kekentalan keduanya terjalin secara harmoni layaknya kakak adik, jadi yang masuk dalam barisannya sekarang tidak perlu riuh dalam hal ini,” paparnya.
Masih kata Zain, dengan berdasar pada ilmu sosial dari Emill Durkheim tentang teori struktural-fungsional bahwa kita memahami kedua tokoh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah harus pada struktur dan fungsi masing-masing. NU identik dengan tradisionalis, sedangkan Muhammadiyah modernis, maka secara antropologis geografis keduanya memiliki iklim yang berbeda dalam mengembangkan pemikiran yakni di pedesaan dan perkotaan.
“Kalau kita mengikuti teori ini maka dapat dipastikan tidak ada permasalahan yang timbul di dalamnya karena sudah jelas ruang dan reaksinya,” jelasnya.
Sementara narasumber kedua K. Muhammad Afffan menjelaskan, bahwa praktik hubungan antara Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama sebenarnya tidak ada masalah dan memang kenyataannya seperti itu. “Kedua organisasi kemasyarakatan (NU dan Muhammadiyah) ini pada intinya tidak ada maslah, itulah kenyataan yang ada,” katanya.
Lebih lanjut pendiri Gusdurian Madura ini menambahkan dengan menghadirkan cerita tentang kesultanan dari Cirebon, Solo dan Banten pada tahun 1500-an yang terancam oleh serangan Belanda hingga kemudian para pangeran mengungsi dan mendirikan lembaga pendidikan dan pondok pesantren.
“Kata kunci dari cerita tersebut adalah penindasan terhadap kemanusiaan diluar itu tidak ada dan semuanya sama” utaranya.
Kembali K. Affan menegaskan, antara dua ormas itu tak perlu lagi diperdebatkan karena dua organ ini berdiri di atas spirit keindonesiaan dan tidak perlu ada yang disangsikan. “Sementara fanatisme itu adalah amarah atau kecenderungan seseorang pada satu hal dan tidak rasional tapi emosional karena menuntut kebenaran secara eksklusif, sementara NU dan Muhammadiyah itu sangat inklusif,” jelasnya.
Diakhir dialog dia menyampaikan, nilai kesetaraan antara NU dan Muhammadiyah itu adalah Izzul islam wal muslimin, keduanya sama-sama menjunjung dua pilar utama, agama sebagai jalan hidup kemudian manusia sebagai aktor dari agama itu sendiri.
“Selanjutnya, dari keretakan yang terjadi di tubuh organisasi hingga kemudian dengan mudahnya menjustifikasi dan mengklaim dengan nada tak berdasar hal itu harus ditindak tegas karena kacamata penglihatan kita masih melihat oknum adalah bagian dari organisasi ibaratnya kalau ada rumah besar yang bocor maka fokus kita adalah pada memperbaiki gentingnya, tidak pada yang lainnya,” pungkasnya.
Menyukai ini:
Suka Memuat...