Saya bertemu perempuan-perempuan korban perdagangan manusia di pelosok desa di Jawa Tengah tiga tahun silam. Seorang perempuan asal Temanggung mengingat peristiwa memilukan bersama butir-butir air yang keluar dari dua bola matanya. Dia korban pemerkosaan mafia perdagangan manusia. Perempuan lugu dari keluarga miskin petani, yang mengadu nasib ke Malaysia demi menghidupi anaknya yang masih bayi. Dia mengalami kekerasan rumah tangga, dipukuli suaminya.
Demi bertahan hidup, dia kemudian mengadu nasib dan merantau. Dia tak pernah dibayar, dipukuli, dan diperkosa ketika bekerja sebagai buruh migran. Kekejaman yang ia terima tak cukup itu saja. Bos perbudakan modern itu menjual dia sebagai pekerja seks.
Di pelosok desa lainnya, Magelang dan Temanggung, saya menemui calo-calo Tenaga Kerja Indonesia. Mereka perempuan yang merekrut buruh migran di desa-desa atas suruhan bos-bos Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia. Perempuan-perempuan ini juga korban dari sindikat perdagangan manusia.
Di desa-desa, mereka gencar merayu perempuan, bahkan yang masih di bawah 18 tahun dengan iming-iming yang menjanjikan. Janjinya dapat pekerjaan di negara tujuan buruh migran. Beberapa pekerja perempuan bahkan bisa berangkat tanpa dokumen resmi. Mereka berangkat tanpa kemampuan bahasa yang cukup, tanpa persiapan yang cukup bila terjadi kekerasan selama bekerja harus melakukan apa, dan kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan.
Cerita tersebut hanya sekelumit persoalan yang membelit perempuan. Eksploitasi terjadi di banyak tempat, tak mengenal batas negara. Selain itu, saya banyak menemukan persoalan yang menimpa perempuan, misalnya kekerasan seksual, diskriminasi, dan seksisme.
Saya tergelitik sewaktu membaca sejumlah pemberitaan tentang gerakan Indonesia Tanpa Feminis di sejumlah media massa, di antaranya diterbitkan Jakarta Post dan Kumparan. Gerakan yang diikuti 3 ribuan orang di media sosialnya, Instagram ini aktif mengampanyekan penolakan terhadap feminis. Argumentasi yang mereka bawa adalah dogma-dogma agama dan feminisme buat mereka tak sesuai dengan ajaran agama.
Lantas apa hubungan gerakan anti-feminis dengan cerita saya tentang buruh migran perempuan yang diperdagangkan tadi? Saya ingin menantang gerakan Indonesia Tanpa Feminis untuk memberikan solusi atas persoalan-persoalan yang tadi saya ceritakan? Tentu saja, tolong sampaikan secara lengkap dengan pisau analisisnya. Apa saja solusi Anda-Anda yang menolak feminisme? Lalu apa teori yang Anda gunakan untuk memecahkan persoalan tersebut? Tolong beri saya pencerahan.
Sebagai orang yang setuju dengan feminisme, tentu saja saya mengakui feminisme sebagai pemikiran dan gerakan yang memberikan sumbangan penting untuk kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan. Beragam aliran feminisme yang saya baca punya pesan melawan segala bentuk penindasan terhadap perempuan.
Saya ingin menyodorkan pisau analisis feminisme untuk melihat persoalan buruh migran perempuan yang diperdagangkan tadi berdasarkan pengetahuan yang saya miliki. Kebetulan skripsi saya bicara tentang pandangan feminisme liberal dan feminisme sosialis tentang partisipasi politik.
Lewat feminisme sosialis, orang bisa memetakan akar masalahnya. Penindasan terhadap buruh migran yang diperdagangkan tak lepas dari budaya patriarki yang masih tumbuh subur di Indonesia. Bagaimana menghubungkannya dengan perempuan asal Temanggung tadi? Dia menjadi korban suaminya yang superior dan berhak melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Laki-laki itu meninggalkannya tanpa tanggung jawab sedikit pun. Perempuan ini pun pontang-panting sendiri bekerja keras membesarkan anaknya di tengah stigma-stigma buruk masyarakat atas nama kegagalan berumah tangga. Perempuan yang ditinggalkan laki-laki dalam rumah tangga itu aib. Dia mengalami serangkaian tekanan dalam masyarakat yang patriarkis. Untuk tetap bertahan hidup, dia terpaksa menjadi buruh migran saat dia berumur 17 tahun.
Saya tentu saja berterima kasih dengan feminisme sosialis dan Marxis yang menggugat penindasan karena faktor patriarki tadi. Feminisme sosialis berkembang mulai tahun 1960-an. Salah satu pemikirnya adalah Sylvia Walby. Sylvia menyebut patriarki sebagai sistem struktur sosial dan praktik yang memosisikan laki-laki mendominasi, menindas dan mengeksploitasi perempuan. Patriarki menjadi sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat, melanggengkan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Lalu apa hubungan dengan kapitalisme sebagai penindas? Sebagai buruh migran perempuan yang saya kisahkan dieksploitasi oleh PJTKI yang mengirimnya. Dia tak punya jaminan perlindungan, ditelantarkan tanpa tanggung jawab PJTKI yang hanya sekadar mencari keuntungan semata agar bos-bos PJTKI meraih keuntungan sebesar-besarnya. Tentu saja dengan cara yang jahat.
Di negara dia bekerja, perempuan itu kembali menerima perlakuan tak adil. Dia diperkosa dan dijual sebagai pekerja seks. Patriarki dan kapitalisme kembali bekerja lewat laki-laki yang mempekerjakan dia.
Feminisme Marxis menyebut persoalan utama penindasan adalah ketimpangan kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan. Tentu saja tokohnya adalah Friedrich Engels dan Karl Marx.
Lalu bagaimana peran negara? Tentu saja negara wajib bertanggung jawab karena dari kasus perempuan buruh migran yang saya ceritakan tadi, negara terlihat mengabaikan penindasan-penindasan terhadap buruh-buruh migran perempuan. Negara di sini bisa menjadi penindas. Pengawasan yang lemah menjadikan mereka sebagai korban kejahatan perbudakan modern. Negara lalai menjalankan pengawasan terhadap kejahatan itu dan memberikan hukuman terhadap PJTKI yang menelantarkan buruh migran. Negara seharusnya punya mekanisme yang baik, memastikan agar buruh migran bekerja secara aman dan mendapatkan jaminan perlindungan.
Lalu apa lagi solusi persoalan tadi? Kekuatan dan solidaritas organisasi-organisasi atau jaringan buruh migran berguna untuk membantu buruh migran yang diperdagangkan, mengalami kekerasan, dan berbagai eksploitasi. Saya melihat peran penting organisasi-organisasi yang mengadvokasi buruh migran. Organisasi itu di antaranya Jaringan Buruh Migran Indonesia, Migran Care, dan lainnya. Perempuan buruh migran harus berdaya, tahu haknya, bergabung dengan organisasi buruh migran, dan melawan segala bentuk ketidakadilan terhadap mereka.
Rujukan tulisan:
https://nasional.tempo.co/read/822296/derita-buruh-migran-indonesia-dilacurkan-di-luar-negeri/full?view=ok
Aktif menulis di Tempo, AJI Yogyakarta, Vice, dan ragam isu lainnya. Meliput pemilu di Myanmar (2015), Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Peru, Amerika Latin (2014).
Menyukai ini:
Suka Memuat...