Ada hal paling mengesankan dari masa kecil saya dan itu adalah adanya beberapa keluarga Tionghoa yang berada di kota kecil, Jeuram, kampung saya sendiri, di Aceh. Apa yang saya pelajari dari mereka adalah tidak banyak bicara, tapi paling jeli dalam bekerja. Mereka tidak menutup diri, tapi tetap membaur, dan bahkan fasih berbahasa Aceh selayaknya masyarakat setempat umumnya.
Satu persatu dari mereka meninggal dunia, sebagian lagi pindah ke kota lain—seringnya ke Sumatra Utara—dan ada juga yang tetap bertahan di sana. Dari yang saya ketahui, bahkan ada beberapa orang dari keturunan mereka kemudian berpindah agama, menjadi Muslim. Namun saya pribadi bukannya bangga karena mereka berganti agama, karena mengingat bahwa bagaimanapun orang tua mereka juga pastilah lebih bangga jika anak-anak mereka dapat mempertahankan keyakinan mereka sendiri dan yang telah menjadi identitas mereka.
Entah mungkin karena mereka merasa dapat lebih menyatu karena pilihan berpindah agama, entahlah. Toh, sepanjang mereka memilih itu bukan karena desakan siapa-siapa, itu hak mereka. Menariknya adalah beberapa dari mereka yang berpindah agama itu tetap diterima oleh keluarga besar mereka. Walaupun ada juga yang baru berganti agama setelah orang tua mereka meninggal dunia, yang dapat saja karena mereka merasa itu sebagai cara mereka agar tetap bisa menunjukkan sikap hormat kepada orang tua.
Apa yang dapat saya banggakan dari kampung saya itu adalah sikap penduduk setempat yang tetap menghormati para keluarga Tionghoa itu bahkan saat mereka tetap memilih keyakinan sendiri. Tak ada dari mereka yang terusik atau terzalimi. Hak-hak mereka sebagai warga tetap dipenuhi, dan tetap dilibatkan dalam berbagai aktivitas desa. Bayangan masa kecil, melihat mereka membaur bergotong royong membersihkan desa, atau ketika bercengkrama bebas tanpa mempersoalkan perbedaan suku dan agama, terasakan sebagai salah satu kenangan terindah.
Belakangan ada perasaan masygul yang saya rasakan. Sebab di banyak tempat lain di negeri ini, masih banyak masyarakat Tionghoa tak seleluasa itu untuk dapat berbaur. Ada banyak catatan yang menunjukkan bagaimana mereka terdiskriminasi, dan acap diposisikan sebagai “orang luar” walaupun mereka lahir dan bahkan mati di tempat mereka tinggal.
Terlepas catatan buruk memang masih banyak mengotori wajah negeri ini, dengan adanya diskriminasi karena perbedaan latar belakang kepercayaan, suku, dan semacamnya, namun saya masih berusaha menikmati sebuah harapan. Ya, harapan itu adalah agar kelak semangat kebersamaan tanpa tersekat oleh perbedaan itu, dapat terbangun lebih baik. Agar kelak perbedaan itu dapat terlihat sebagai sebuah kekuatan.
Dalam banyak obrolan, saya acap mengumpamakan dengan bangunan. Satu rumah berdiri tak hanya karena adanya pasir saja, karena adanya batu saja, atau karena adanya besi saja, atau air saja. Rumah itu dapat berdiri karena elemen-elemen yang berbeda tersebut saling menyatu, merekatkan diri, dan tetap menerima satu dengan lainnya.
Tiap kali berada di gedung-gedung megah yang besar dan “wah”, pikiran yang acap melintas di kepala saya adalah betapa hebatnya perbedaan itu ketika telah menyatu. Bayangkan jika pasir-pasir yang dianggap kecil, atau bahkan terlalu kecil, dihilangkan dari sana, bukan tak mungkin bangunan itu akan ambruk. Adanya besi atau batu yang lebih besar dan lebih kuat, takkan bisa begitu saja mencegah bangunan megah itu runtuh, jika saja pasir-pasir yang dianggap terlalu kecil tadi dihilangkan dari sana.
Saya pikir, seperti itulah cara melihat perbedaan, tanpa merasa kitalah paling layak berada di bangunan itu dan dalam menegakkan bangunan itu sendiri karena paling besar dan paling kuat. Sebab perasaan besar dan kuat itu cenderung membuat kita lengah, angkuh, sampai meremehkan hal-hal yang dianggap “lebih kecil” sampai bangunan besar yang kita banggakan justru rubuh dan hancur.
Betapa banyak yang merasa dirinya berasal dari kalangan mayoritas, berjumlah besar, paling berpengaruh, lalu enggan belajar dari mereka yang berbeda atau yang dipandang lebih kecil. Ketika keangkuhan ini dipelihara, yang muncul hanya kebodohan karena hanya berkutat dengan “tempurung” sendiri.
Ketika masyarakat di negara-negara lain sudah melangkah maju jauh ke depan karena dapat merekatkan diri dan merangkul perbedaan sebagai kekuatan, kita masih larut dengan saling cerca dan menghina yang berbeda.
Bahkan yang seagama, hanya karena berbeda sudut pandang saja, sudah membuat kita saling menghina atau bahkan membunuh; bagaimana kita bisa berjalan sampai berlari kencang jika kita cenderung terpana di satu tempat saja dan memilih ribut di sana? Uhm, itu bukan pertanyaan saya, tapi pertanyaan kita bersama untuk kita jawab lewat sudut pandang dan perilaku kita sendiri dalam menghadapi perbedaan.
Menyukai ini:
Suka Memuat...