Setiap manusia dilahirkan dengan identitas yang berbeda-beda. Dan itu alamiah terjadi, disadari atau tidak sudah mendarah daging di dalam benak setiap manusia—untuk tidak merasa sama. Oleh sebab itu, Indonesia dikenal dengan keberagamannya. Bukan hal baru untuk meyakinkan bahwa negara dengan lambang Garuda ini adalah negara yang kaya raya. Kaya dalam arti luas, bukan hanya bersifat materi belaka. Ragam budaya, ras, suku dan bahasa adalah bagian dari kampanye bahwa Indonesia adalah wilayah yang multikultur. Begitu juga pada sisi pola pikir dan pola sikap setiap personal. Yang perlu dilihat kembali bahwa perbedaan adalah sebuah anugerah Maha Agung dari Tuhan untuk manusia.
Perbedaan bukanlah menjadi masalah sosiologis, karena memang sudah begitu adanya. Dalam Islam dijelaskan bahwa Firman Tuhan tentang perbedaan memiliki tujuan untuk saling mengenal, memahami dan menghormati. Tujuan utamanya adalah berbuat baik dan saling menghormati satu sama lain. Tetapi ada kepengapan dalam kontestasi politik praktis yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap perubahan pola pikir dan etika masyarakat. Apa yang tidak diulik kemudian dijadikan sorotan, dijadikan fokus pembahasan, bahkan menggali keberpihakan?
Jika agama terlalu suci untuk dijadikan medan tanding sebuah perbedaan, maka ras atau suku. Di mana anggapan yang dibangun adalah suku A lebih baik dari pada suku B, suku A harus menjadi pemimpin di negara ini, karena suku A adalah pribumi, dan lain sebagainya. Pertanyaan sederhananya, mengapa isu-isu perbedaan selalu menjadi tolak ukur baik dan buruk, enak dan tidak enak, atau layak dan tidak layak?
Fico Della Mirandola (1463-1494) berasumsi dari hasil kerja intelektualnya untuk mencari akar kebenaran agama yang turun melalui aspek historis dan sosiologis. Berbeda dengan Aristotelian proyek yang digarapnya adalah menyapa keberagaman sebagai bentuk satu kesatuan atau “unitarium”. Plural dalam kondisi pertumbuhan kehidupan adalah wajah dari setiap kesadaran untuk saling menghargai dan menghormati. Dalam Hindu dikenal dengan sanatana dharma yang lebih menekankan primordialisme atau fokus kajiannya adalah menuju kepada asal kehidupan manusia. Maka bukan sebuah permasalahan yang pelik ketika menyadari bahwa perbedaan dalam aspek apa pun adalah satu gerak alami kehidupan. Dalam Islam dikenal dengan—bahwa perbedaan dalam berdekatan dengan spiritual—intelektual adalah rahmat bagi umat manusia.
Ibnu Miskawih (932-1030) mempertegas dalam al Hikmah al Khalidah bahwa perbedaan memiliki dialektika intelektual untuk menyadari asal kehidupan manusia. Tidak terpaku kepada apa yang tampak dari luar, label agama, ras dan suku yang melekat dalam diri manusia. Tetapi kehidupan yang beriringan saling mengisi satu sama lain menjadi proyeksi keluhuran meta-etika kehidupan. Baik secara personal maupun secara luas kehidupan masyarakat. Sejalan dengan itu, Gus Dur berusaha meyakinkan bahwa perbedaan bukan menjadikan setiap orang berpecah belah, melainkan saling menghormati satu sama lain, memanusiakan manusia (humanisme) dan sebagainya.
Berbeda dengan itu semua, yang berkembang hari ini adalah membangun sikap eksklusif atas segala perbedaan yang ada pada masing-masing personal atau komunitas masyarakat. Diakui atau tidak untuk mendapatkan apa yang dianggap sebagai tujuan maka membangun satu pemahaman bahwa perbedaan adalah batas. Dari kelas favorit di lembaga pendidikan, sampai isu Arab dan Cina di kontestasi politik. Krisis apresiasi bahkan etika saling menghormati satu sama lain adalah akibat jurus ampuh untuk mendapatkan apa yang diinginkan baik kepentingan personal atau personal dengan kelompok. Prinsip kompetitif menjadi dasar atas munculnya politik identitas. Di lembaga pendidikan misalnya, banyak sekali kualifikasi masyarakat kelas, sehingga ada yang merasa dibedakan dengan alasan kurang pintar atau nakal dan lain sebagainya. Sedangkan dalam kontestasi politik, kita sudah bisa menerka bagaimana strategi untuk saling membunuh karakter masing-masing pelaku politik. Dengan isu yang dibenturkan dengan konteks agama, ras, suku dan lain sebagainya.
Nasionalisme adalah keniscayaan, ini menjadi harapan dan tujuan mulia bahwa yang terpenting adalah sikap saling menghargai satu sama lain. Memberi ruang pada siapa pun untuk berekspresi dan menyerahkan hasil sepenuhnya kepada khalayak luas. Kalau saja bukan berebut siapa yang paling benar dan paling layak maka sikap untuk berjalan beriringan membangun dan memajukan kehidupan bangsa adalah keniscayaan.
Untuk saling menghargai perbedaan masing-masing personal, agaknya perlu pembiasaan diri untuk tidak memandang diri sendiri lebih baik daripada orang lain atau bangsa lain. Dalam spektrum Jawa dikenal dengan mulat sarira atau mawas diri. Pada dasarnya bukan perbedaan yang menyebabkan adanya pecah belah, melainkan memaksa untuk sama dan menganggap keberpihakan sebagai langkah aman.
Sedang Nyantri di Bayt Al-Karim Gondanglegi dan Bayt Al-Hikmah Kepanjen Malang