Hari-hari ini kebhinekaan kita dibenamkan oleh rangkaian peristiwa aksi kerusuhan di Jakarta. Kerusuhan sebagai ujung dari penolakan Pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno terhadap penetapan hasil Pemilihan Umum 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kerusuhan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan kerusakan yang berakibat kerugian yang besar nilainya. Kerusuhan yang diharapkan dapat memecah Indonesia ke dalam perkubuan dan sentimen yang tak perlu. Kerusuhan yang hanya menjadi permainan elite politik, tanpa pernah memikirkan akibatnya bagi nilai-nilai demokrasi, kebersamaan, dan bagi kehidupan rakyat secara umum.
Kerusuhan adalah aksi-aksi, yang berupaya menebar rasa takut dan mengoyak kebersamaan kita sebagai bangsa. Apa yang terjadi sungguh melukai dan menyayat nilai-nilai kebersamaan yang sudah dibangun dan dikembangkan semenjak Pancasila dicetuskan 73 tahun silam. Kebersamaan dalam keberagaman yang terpahat dalam “Bhinneka Tunggal Ika” sedang diuji secara terus-menerus oleh beragam aksi terorisme dan kerusuhan dalam dua dekade terakhir.
Dalam hal ini kita kembali pada nilai-nilai Pancasila yang dicetuskan pertama kali oleh Bung Karno dalam pidato di depan sidang BPUPK pada 1 Juni 1945. Bung Karno membayangkan Pancasila sebagai philosophische grondslag atau falsafah dasar sekaligus weltanschauung yakni pegangan kita dalam memandang dunia yang kita hidupi. “Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari suatu ‘Weltanschauung’ yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju!”, ujar Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPK. Dasar falsafah yang kemudian dimaksud Bung Karno adalah Pancasila, sebuah sistem filsafat, dasar negara, sekaligus pengikat seluruh perbedaan yang menyeruak dari ujung Barat sampai Timur Indonesia, yang bisa diterima oleh semua pihak.
Pancasila yang digagas Bung Karno bisa dikatakan sebagai hasil refleksi dan ikhtiarnya, jauh sebelum Indonesia merdeka, dalam merumuskan suatu landasan bersama yang mampu mewadahi keragaman nusantara. Landasan tempat berpijak bagi keberagaman tersebut adalah kebangsaan. Rasa kebangsaan merupakan identitas kolektif yang diyakini Bung Karno mampu mengikis dan mengatasi perbedaan ras, agama, kelas, suku, etnis, dan golongan. Ini ditegaskan oleh pendirian Bung Karno yang mengacu secara terang-terangan pada pemahaman Ernest Renan bahwa identitas nasional ditentukan oleh sejauh mana individu meresapi rasa senasib, kesejarahan dan solidaritas kebersamaan. Kebangsaan sebagai landasan mesti dirumuskan kembali secara lebih jelas dalam ujud nyata yakni di dalam Pancasila.
Maka, kebangsaan Indonesia yang kemudian terbentuk memang benar-benar didasarkan pada suatu rumusan politik yang sedemikian rupa sebagai rasa senasib dan sepenanggungan dalam sejarah. Jadi pertanggungjawaban tertinggi atas sejauh mana dan sedalam apa warga “meng-Indonesia” atau tidak, bergantung pada rasa solidaritasnya dan keterlibatannya dalam perasaan tersebut. Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya, kemudian memberikan sebuah pengukuhan terhadap dasar identitas nasional yang terbentuk itu dengan memancangkan sebuah prinsip politik yang melengkapi rasa kebangsaan: yakni Pancasila.
Dengan weltanschauung (pandangan hidup) maka Sukarno meletakkan Pancasila sebagai semacam perspektif, yakni cara kita melihat dan memandang dunia. Sebagai perspektif, maka Pancasila berfungsi secara positif yakni memberikan instrumen untuk memahami realitas, semacam obor penerang atau peta yang memberi arah dan orientasi, semacam jendela di mana dari bidangnya yang terbatas kita mampu menjangkau cakrawala atau horizon yang jauh lebih luas.
Pancasila sebagai perspektif ini secara positif diperkuat dan dipertegas dengan konsepsi keduanya yakni sebagai filsafat dasar bernegara. Dengan demikian ia memiliki setidaknya tiga sifat yakni: pertama, memberikan orientasi; kedua, wacana yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional dan dialogis; dan yang ketiga berfungsi kritis. Dengan menyebut Pancasila sebagai falsafah dasar, maka Bung Karno sekaligus hendak meletakkan Pancasila tidak hanya sebagai nilai-nilai yang memberikan orientasi tetapi juga pijakan untuk memandang dan mentransformasi dunia luar.
Dengan dasar itu, Bung Karno memahami Pancasila sebagai ide penuntun atau dalam bahasa Bung Karno sebagai Leitstar, yakni bintang penuntun sekaligus penunjuk arah. Sebagai ide penuntun, maka dalam kehidupan kebangsaan kita, kebebasan berpikir, berpendapat, berpolitik, berekonomi, dan aktualisasi kebudayaan mestilah merujuk pada Pancasila sebagai pedoman. Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh kebebasan itu dijamin di dalam konstitusi UUD 1945, yang merujuk pada nilai-nilai berpedoman pada nilai-nilai Pancasila. Ketuhanan, Kemanusiaan, Kesatuan dalam Keberagaman, Kebersamaan dan Demokrasi serta Keadilan Sosial, merupakan nilai-nilai yang menjadi penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ide penuntun berarti memberikan ruang bagi dinamisnya kehidupan politik dan kebangsaan.
Dalam kerangka itu kita meletakkan Pancasila sebagai gagasan rujukan dalam membangun politik kebangsaan dan kewargaan kita. Pancasila menjaga nilai-nilai publik sebagai wadah bersama yang menampung keberagaman. Pancasila adalah pedoman untuk menuntun yang “beragam” atau yang bhinneka. Bhinneka ini adalah representasi dari wajah negara-bangsa yang didasarkan pada keragaman dan perbedaan politik, sosial dan budaya. Pancasila merupakan titik-temu dari perbedaan dan keberagaman. Titik temu yang memayungi, bukan menyubordinasi. Relasi subordinasi bukanlah relasi yang ditampilkan oleh prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila, melainkan relasi mutualisme, yang saling memperkaya, bukan saling meniadakan.
Projo mengajak seluruh komponen bangsa untuk kembali mengikhtiarkan diri kepada Pancasila sebagai pedoman, sebagai leitstar, sebagai ide penuntun, yang akan memperkukuh fondasi dan peradaban kita sebagai bangsa yang besar dan berdaulat. Dengan berpedoman pada Pancasila, Projo meyakini bahwa bangsa Indonesia akan berkembang dan maju, serta memberikan sumbangan besar bagi peradaban dunia sekaligus peradaban kemanusiaan, karena dalam keragaman, kita secara bersama-sama bisa memajukan kehidupan rakyat menuju masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, dan berkepribadian.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PROJO
Menyukai ini:
Suka Memuat...